Fatwa Situasi Pandemi
Fikih adalah pengetahuan hukum praktis berdasarkan sumbernya. Di masa ijtihad, memuat fatwa-fatwa seorang mujtahid, yang diikuti oleh para muqallidnya dalam perkara-perkara praktis; apa dan bagaimana yang musti dilakukan. Termasuk dalam hal darurat yang tengah dihadapi belakangan ini, yaitu Covid-19 yang menyebar luas di muka bumi, hukum awwali (yang sejatinya) bagi setiap masalah praktis ditempati oleh hukum tsanawi, yang mungkin dapat penulis sebut dengan hukum cadangan.
Seperti dalam keadaan tiadanya air atau adanya jiwa yang harus diselamatkan, merupakan kondisi eksternal yang dihadapi si mukallaf ketika hendak menunaikan shalat, maka yang musti dia lakukan ialah bertayamum. Sebagaimana demikian dia lakukan dalam keadaan sakit yang jika berwudu, menjadi madharat bagi dirinya.
Fatwa Dua Marji’
Nah, dalam situasi yang telah ditetapkan sebagai pandemi global ini tak luput dari perhatian syariat Islam, didapati -melalui situs-situs resmi- dari Ayatollah Sayed Ali Khamenei dan Ayatollah Sayed Ali Sistani, sejumlah istifta`at (soal-jawab fatwa) yang baru terkait virus corona ini. Setidaknya ada 6 (dari marji’ yang pertama) dan 20 istifta`at (dari marji’ yang kedua), di antaranya yang dapat penulis angkat di ruang yang sempit ini ialah:
Soal 1: Apa tugas kaum mukmin terkait mewabahnya virus Corona ini?
Jawab:
Pertama, berdoa, memohon kepada Allah swt agar Dia mengangkat musibah ini dari kita semua, semoga doa-doa mu`minin diijabah oleh-Nya.
Kedua, menjaga kesehatan dengan segala upaya.
Ketiga, membantu yang lain dalam antisipasi wabah penyakit ini. Jika bisa, menangani orang-orang yang positif Covid-19 dalam penyembuhan mereka. Yang jelas dua poin yang akhir ini (yang kedua dan yang ketiga tersebut) dalam beberapa hal menjadi wajib. (Sistani, istiftaat, no.1)
Soal 2: Apakah cairan desinfektan berbasis alkohol, yang banyak digunakan karena kelaziman virus korona, suci ataukah najis?
Jawab: Alkohol yang tak diketahui apakah dari jenis minuman yang memabukkan, dihukumi suci. Shalat yang dengan penggunaan cairan tersebut pada pakaian, dihukumi sah. Namun jika diketahui bahwa cairan beralkohol itu dari jenis minuman yang memabukkan, maka menurut ihtiyath wajib dihukumi najis. (Khamenei, istiftaat, no.6)
Soal 3: Sahkah shalat dengan mengenakan sarung tangan tebal?
Jawab: Sah. (Khamenei, istiftaat, no.2)
Soal 4: Dalam kasus apa saja pelaksanaan shalat berjamaah tidak menjadi sunnah dan shalat jumat tidak menjadi wajib?
Jawab: Bila perkumpulan semacam itu dilarang dalam rangka antisipasi penyebaran penyakit ini, maka larangan ini harus diperhatikan dengan serius. Tidak masalah jika tak ada larangan itu, dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesehatan. Yang jelas siapapun yang merasa khawatir tertimpa penyakit ini akibat hadir dalam perkumpulan khalayak dan berdampak sangat bahaya atau menyebabkan kematian, maka tindakan (berkumpul) itu harus dijauhi. (Sistani, istiftaat, no.2)
Soal 5: Jika medis menyarankan agar saling jaga jarak satu sampai dua meter, bolehkah melaksanakan shalat berjamaah dengan jarak tersebut?
Jawab: Tiada halangan (shalat berjamaah) dengan jarak satu meter. Adapun (dengan) jarak dua meter atau sepertinya antar jamaah shalat dalam satu shaf, atau antara garis kaki shaf depan dan letak turbah (tempat sujud) shaf belakang, dua meter atau sepertinya, maka shalat berjamaah yang demikian musykil (disangsikan). (Sistani, istiftaat, no.3)
Soal 6: Orang yang tidak memperhatikan pesan kehatian-hatian demi kesehatan, apakah tindakannya ini termasuk dosa? Lalu jika mengakibatkan orang lain jatuh sakit, apakah dia (harus) menanggung biaya pengobatannya? Termasuk (semoga tidak terjadi) sampai menyebabkan kematian, apakah dia akan dikenai denda (diyah)? Atau (karena ulahnya itu) dia harus menjamin pendapatan pekerjaan yang telah ditinggalkan orang yang jatuh sakit itu?
Jawab:
-Tentu dia harus menjaga prinsip-prinsip kesehatan bagi dirinya yang dalam kekhawatiran terjangkit virus dan memungkinkan sekali akan berakibat kematian atau kerugian yang berat.
-Dalam hal tak menjaga itu jika terjadi apa yang dia mungkinkan, maka secara syar’i tidak dapat ditolerir.
-Jika dia terjangkit penyakit wabah ini, lalu tidak mengindahkan prinsip-prinsip kesehatan dalam berinteraksi dengan yang lain, dan (sekalipun dia) tidak tahu (kalau dirinya positif virus,-penerj), maka dia menjadi penanggung kerugian yang dialami orang lain (yang tertular olehnya). Jika sampai menyebabkan kematian, maka akan dikenai denda. Jika (orang lain itu) seorang pegawai yang memperoleh pendapatan dari pekerjaannya, boleh jadi dia harus menanggung biaya masa pengobatan serta keadaan orang itu yang tidak bisa bekerja, sebesar gajinya. (Sistani, istiftaat, no.5)
Soal 7: Bagaimana cara mengurus jenazah orang meninggal dunia akibat Covid-19?
Jawab: Kewajiban memandikan, mengafani dan menyalati mayit yang positif virus ini, tidaklah gugur. Oleh karena itu, dengan memperhatikan poin-poin higienitas dan penggunaan sarana-sarana keselamatan -meskipun dengan biaya- harus dilakukan kewajiban minimal memandikan, tahnith, mengafani, menyalati dan menguburkannya.
Jika tidak mungkin memandikannya secara tartibi (yang bertahap), harus dimandikan dengan cara irtimasi (dimasukkan ke dalam air). Jika tidak memungkinkan, maka sebagai gantinya dilakukan tayamum untuk mayit, kemudian dilakukan tahnith, lalu mengafani dan (sampai pada) menguburkannya meskipun dalam kondisi berpakaian. (Khamenei, no.2)
Referensi:
-ijtihadnet.ir
-leader,ir