Doa, Media Perlawanan Terhadap Setiap Cobaan
(oleh: M.Haidar)
Jika doa telah dianggap merupakan opium, maka berdoa, apa bedanya dengan aktivitas kesenangan seperti bagi perokok bila ingin merokok maka menyalakan rokok dan mengisapnya; atau bila ingin minum maka mengambil gelas dan menuang minuman, dan kebiasaan lainnya seperti “ngemil”?
Dua macam aktivitas dalam hidup yang disebut oleh Syahid Mutahari; pertama, aktivitas kesenangan yang juga dilakukan oleh yang se-genus manusia. Kedua, aktivitas kemaslahatan yang hanya dilakukan oleh manusia. Aktivitas yang pertama terdorong oleh kecenderungan alami, insting dan kebiasaan yang adalah kecenderungan kedua. Sedangkan aktivitas yang kedua dilakukan atas pengukuhan akal yang berpandangan demi kemaslahatan.
Pandangan yang mengganggap doa itu opium, karena melihat orang-orang yang berdoa adalah fenomena ketidak berdayaan, pelarian dari kenyataan dan bentuk kekerdilan lainnya. Menjadi candu yang menimbulkan kecenderungan melepas tugas bekerja, mengabaikan tanggung jawab dan rasa enggan berfikir, terlebih bagi para penganggur.
Memang, fenomena semacam itu berlaku sampai kini, dari sejak awal sejarah keberagamaan sebagian pemeluk agama, yang membentuk mentalitas dalam kemunduran, dan pesimisitas, melupakan cita-cita yang diharapkan Islam, mengubur ideologinya, dan melahirkan rasa takut hadapi realitas kehidupan.
Doa, Bagian dari Sikap Politis
Doa di dalam Islam merupakan warisan luhur. Para pejuangnya yang mewarisi doa sebagai wadah aktualisasi strukur perlawanan. Seperti perisai yang sigap dalam pertempuran sengit. Kadang seperti pedang penghadang musuh kemanusiaan. Penggunaan doa yang demikianlah efektif dalam menggapai kebahagiaan, kemerdekaan, dan kebebasan. Bukan untuk pelarian dari problem yang dihadapi masyarakat, lalu memutuskan untuk berkelana, “bertapa” dan menjadikan ruang-ruang yang sepi sebagai tempat-tempat meditasi.
Figur agung yang dapat ditampilkan terkait tema ini, seperti Amirul mu`minin Ali bin Abi Thalib, yang dalam sejarahnya di satu peperangan memanjatkan doa: “Ya Allah! Jika kami menang, selamatkan kami dari terpedaya oleh diri, kesewenang-wenangan dan kelaliman.
Ya Allah! Jika kami kalah, jauhkan kami dari kehinaan dan perbudakan bagi kami semua”.
Salah satu pesan yang mungkin dapat dipetik dari doa beliau tersebut ialah tidak menjadikan doa sebagai opium yang melenyapkan sifat-sifat kemuliaan seperti keberanian, keteguhan dan kesadaran. Artinya, kerjakan apa yang menjadi taklif setiap muslim, hadapi setiap problem sebisa mungkin sesuai tuntunan agama. Namun demikian, doa yang pada hakikatnya ialah menjalin hubungan dengan Rabbul alamin, menjadi penawar racun muslihat diri seperti rasa bangga atas sebuah prestasi, atau sebaliknya seperti rasa pesimis atas keadaan kurang dan lemah.
Bila merujuk pada kitab “ash-Shahifah as-Sajjadiyyah”, dan direnungkan isinya, lalu dikaitkan dengan sejarah putra al-Husain yang tersisa dari Peristiwa Karbala, pemilik kumpulan munajat ini, Imam Ali Sajjad, didapati bagaimana kondisi politik yang beliau hadapi. Kondisi masa itu yang tidak memungkinkan beliau untuk melakukan pergerakan atau mobilisasi massa, tak ada celah untuk melakukan perlawanan terhadap tirani yang berkuasa saat itu. Namun, dengan doa, beliau melancarkan serangan terhadap durjana yang mencoba menghentikan perjuangannya.
Memang doa adalah sesuatu yang tak kasat. Tetapi bila do’a menembus ke dalam hati masyarakat, niscaya membangkitkan jiwa mereka untuk melawan kezaliman yang berbungkus agama. Sehingga tak lama pasca tragedi Karbala, Mukhtar Tsaqafi bangkit mengumumkan perlawanan, memobilisasi massa, hingga mampu menumbangkan penguasa saat itu. Dari sini terbukti, bahwa doa pun bisa merupakan media pamungkas bagi perlawanan, -ketika semua potensi telah dilumpuhkan oleh penguasa yang lalim.
Hakikat Doa
Dengan doa, hamba berkomunikasi dengan Tuhannya, mencurahkan hasrat yang terpendam, dan bahkan menjadi media untuk menuangkan gagasan, struktur pemikiran, meneguhkan pandangan, menyebarkan visi-misi, membingkai intelektualitas, merawat spirit hidup, dan menyelesaikan tugas-tugas besar di saat kondisi dalam terancam.
Terlebih di tengah situasi belakangan ini, Covid-19 merajalela, mengangkangi belahan bumi sampai ke tanah air tercinta ini, dan dampaknya, masyarakat harus mengisolasikan diri di rumah masing-masing, menjaga jarak dalam interaksi sosial untuk antisipasi penularan dan penyebarannya, sampai benar-benar tuntas. Selain itu, tak dipungkiri dampaknya terhadap ekonomi, karena untuk penanganan masalah yang berat ini, pemerintah harus mengeluarkan dana yang cukup besar, dan pusat-pusat aktifitas umum harus ditutup untuk sementara waktu.
Oleh karena itu, tidaklah patut mengabaikan doa. Karena dengan berdoa, setiap tindakan kita dibingkai oleh rahmat-Nya. Salah satu hikmah dari situasi yang darurat ini, ialah memalingkan hamba kepada Tuhannya, dan berdoa, memperkuat tali hubungan dengan-Nya. Di dalam QS.Al-Baqarah 186, Allah berfirman: ..bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku...”