Fikih, Poros Mata Pelajaran Hauzah Ilmiah
Semua ilmu memiliki sejarah. Tak terkecuali ilmu fikih, yang sejarahnya –menurut Syahid Mutahari- di mulai dari sebelas abad yang lalu. Di masa itu, fikih sudah terbukukan dan diajarkan oleh fuqaha atau para guru ilmu fikih kepada murid-murid mereka. Kemudian murid-murid itu pun menjadi guru, mengajarkannya kepada murid-murid yang lain, dan begitu seterusnya sampai sekarang ini.
Kendati keklasikan ilmu fikih tak seklasik filsafat, kedokteran dan lainnya, tetapi tak satupun dari semua ilmu ini yang menyamai ilmu fikih dari segi mata rantai perguruan. Tali perguruan ilmu fikih saat ini bersambung tanpa putus ke atas, masa sejak kelahirannya itu. Kalaupun ada ilmu lain sepertinya, maka hanya ada di dunia Islam. Pengajaran fikih di sepanjang masa itu, sampai kini tak pernah mengalami kefakuman sesaatpun.
Kebersinambungan tersebut adalah berkat usaha keras ulama setiap generasi yang bernaung di bawah hauzah ilmiah. Eksistensi hauzah pun berdiri dengan kokoh di tangan fuqaha di kota-kota Timur Tengah, seperti Najaf, Qom dan lainnya.
Antara Hauzah Ilmiah dan Pondok Pesantren
Dahulu sebelum muncul istilah hauzah, ialah madrasah seperti Madrasah al-Imam ash-Shadiq di Kufah yang memiliki ribuan murid, baik dari kalangan Ahlussunnah maupun Syiah. Kemudian madrasah keilmuan ini seiring perkembangan zaman, di masa belakangan berganti dengan istilah hauzah ilmiah. Memang asing di kalangan Ahlussunnah, dikarenakan istilah hauzah adanya hanya di kalangan Syiah Imamiyah.
Materi-materi ilmu yang diajarkan di dalamnya, tak jauh beda dengan yang ada di pondok pesantren pada umumnya, seperti bahasa Arab, nahwu-sharaf, akidah, fikih, akhlak dan lain sebagainya. Melainkan beberapa poin yang merupakan macam-macam perbedaan antara dua lembaga keilmuan ini, di antaranya yang dapat disebutkan di sini:
Pertama, adanya satu dua materi pelajaran yang mungkin tidak ada di pondok pesantren, tetapi ada di hauzah ilmiah seperti materi filsafat, dan sebaliknya.
Kedua, perbedaan muatan di dalam sebagian pelajaran, misalnya akidah dan fikih, bisa dikarenakan perbedaan mazhab yang dianut.
Ketiga, program pendidikan di semua hauzah ilmiah adalah murni keagamaan. Maka tidak ada sekolahan dengan semua tingkatan di dalamnya, sebagaimana ada di sebagian pesantren.
Keempat, jenjang keilmuan di hauzah ilmiah sampai pada tingkatan ijtihad. Sementara di semua pesantren tidak didapati tingkatan itu.
Fikih Poros Mata Pelajaran Hauzah
Fiqh (fikih) sebelum kini dipahami sebagai ilmu hukum, adalah istilah klasik yang bermakna lebih luas dari ilmu hukum syar’i. Dahulu, ushuluddin disebut dengan al-fiqhul akbar (fikih besar), sedangkan furu’uddin disebut dengan al-fiqhul ashghar (fikih kecil) yang mencakup akhlak juga. Tetapi kemudian intensitas penggunaan kata fiqh membatasi pada satu makna, yaitu khusus pada ilmu hukum saja.
Di mata ulama Syiah, kemampuan beristinbat yang dimiliki seorang faqih memberikan potensi penguasaan akan ilmu pengetahuan Islam lainnya. Melihat di samping fikih, ia pastinya menguasai ilmu ushul sebagai logika fikih. Ialah ilmu aturan -beristinbath yang benar- yang menjaga pikiran si faqih dari kesalahan di dalam berargumen atas hukum syar’i dengan dalil-dalilnya yang terperinci.
Para pelajar hauzah mempelajari berbagai ilmu keagamaan, di antaranya bahasa arab dengan semua bidang ilmu yang terkait dengannya seperti nahwu, sharaf, balaghah dan lainnya. Mereka juga belajar ilmu mantiq, sejarah, dirayah, ilmu rijal, ilmu tafsir, sejarah dan lainnya. Semua ilmu yang diajarkan di hauzah ilmiah ini, dalam sepengetahuan penulis merupakan pengantar untuk mencapai pengetahuan yang dalam dan pemahaman yang detail akan masalah-masalah kefikihan.
Dengan demikian, fikih yang memuat hukum-hukum syar’i bersumber dari Alquran dan Sunnah, menjadi poros mata pelajaran hauzah. Dapat dikatakan sebagaimana yang disampaikan oleh Ayatollah Sayed Khamenei bahwa hauzah ilmiah identik pelajaran fikih. Bukanlah hauzah ilmiah jika sifat kefikihan tidak mendominasinya, terlebih fikih tidak menjadi pelajaran fundamental di dalamnya. Hauzah ilmiah secara historis ditegakkan oleh fikih, dan pemimpinnya adalah seorang faqih, yang dikenal dengan za’im al-hauzah al-‘ilmiyah.
Ijtihad, Satu di Antara Tujuan-tujuan Hauzah Ilmiah
Terkait dengan poin keempat di atas, lebih jelasnya ialah bahwa di dunia hauzah ilmiah, ijtihad merupakan tingkat keilmuan teratas. Setelah melewati tahap mukadimah dan tahap-tahap suthuh (pertengahan), seorang hauzawi melanjutkan studi hauzahnya di tingkat kepakaran, terutama di bidang fikih. Hingga setelah mencapai tingkatan yang terhormat ini, ia mendapat gelar mujtahid dari pihak hauzah.
Namun demikian, menurut penjelasan Ayatollah Sayed Khamenei, yang dipahami penulis ialah bahwa tingkatan ijtihad -yang menjadi impian setiap pelajar hauzah- bukanlah satu-satunya tujuan yang ingin diantarkan oleh hauzah ilmiah pada tingkatan tinggi ini. Karena realitasnya, tidak semua pelajar hauzah bisa sampai pada tingkatan ijtihad, dan mereka secara personal memiliki potensi-potensi yang berbeda-beda dalam bidang-bidang ilmu hauzah.
Terlihat lahir dari hauzah ilmiah ulama yang sebagian mereka adalah seorang mufasir seperti Allamah Thaba`thabai, seorang sejarawan seperti Sayed Murtadha Amili penulis kitab ash-Shahih min Siratun Nabiy al-A’zham, seorang teolog seperti Ayatollah Subhani yang kini menjadi marji’ penulis kitab al-Milal wa an-Nihal, seorang filosof seperti Ayatollah Misbah Yazdi penulis kitab al-Manhajul Jadid fi Ta’lim al-Falsafah dan ulama besar lainnya.
Akan tetapi dengan memperhatikan penjelasan di atas, yang diperkuat oleh penjelasan Ayatollah Sayed Khamenei, dapat dikatakan bahwa semua bidang ilmu yang mereka kuasai berujung pada pengamalan yang diterangkan dalam fikih. Ialah ilmu yang memuat hukum-hukum syar’i dalam ibadah dan muamalah. Maka benarlah bahwa fikih adalah poros ilmu-ilmu hauzah, sebagaimana eksistensi hauzah ilmiah berakar darinya.