Ghadir dan Wilayatul Fakih
Kontekstualisasi Ghadir dan Wilayatul Fakih
Idul Ghadir sebagai hari raya terbesar, hari dimana dengan kejadian itu agama islam dinyatakan sebagai agama resmi. Dalam konteks jaman ini selain terejawantah dalam konsep dan diterapkan dalam keimamahan seorang Imam, hal ini secara nyata sebagaimana dijelaskan alim ulama dapat dipahami bahwa Ghadir memiliki kaitan erat dengan Wilayatul Fakih. Sebuah konsep yang sekarang diteraplakukan di Republik Islam Iran.
Hakikat Ghadir
Sisi yang dipamerkan dalam Ghadir adalah kemutlakan mutlak dan kemutlakan nisbi, kemutlakan mutlak Allah Swt, dan kemutlakan nisbi dari Nabi Muhammad saw, Imam pimpinan seluruh umat manusia.
Kekuasaan tertinggi dalam wacana teologis jelas yaitu Allah Swt, kekuasaan yang tidak bisa dan tidak mungkin ditawar oleh pihak manapun, oleh siapapun. Kuasa Allah adalah mutlak tanpa tanding tanpa penyama. La syarikalah, tidak ada syarik dan sekutu bagi Allah Swt.
Terkait kekuasaan, sebenarnya kekuasaan memang mutlak milik Allah Swt. Kemudian Allah memberikan kekuasaan itu kepada sebagian makhluknya, kekuasaan berian, kekuasaan ikhtiari. Dengan modal kekuasaan ini manusia memiliki kuasa ikhtiari, memilih untuk taat atau membangkang atas tatanan dan aturan Allah Swt. Masing masing manusia akan terlihat nilainya dari keseriusan dalam menanggapi.
Kekuasaan dan Kepatuhan
Pasangan dari kekuasaan adalah kepatuhan, setelah mengakui kehambaan diri dihadapan Allah, bahwa dia adalah ciptaan, disini sebagai pengakuan kepada Dzat yang Maha Mutlak maka manusia harus patuh total. Patuh kepada Allah itu jelas, patuh kepada Nabi juga jelas. Nabi sendiri sampai kepada kedudukannya setelah berhasil menempatkan diri sebagai hamba, beliau paling pintar dalam menghamba kepada Allah. Hal ini yang membuat kedudukan beliau paling tinggi.
Allah dipatuhi Nabi, Rasul, Malaikat. Manusia secara umum mematuhi Nabi dan Rasul sesuai perintah Allah. Begitu juga para wakil Nabi yang ditunjuk oleh Allah. Jadi kepatuhan manusia kepada wakil Nabi dan kepada Nabi adalah bentuk kepatuhan kepada Allah Swt. Sebagaimana ketika malaikat bersujud (menghormati) kepada Nabi Adam AS.
Dalam kejadian Ghadir Kekuasaan yang diamanatkan Allah Swt kepada Nabi Saw secara resmi akan berpindah kepada menantu beliau, seorang pemuda yang dari kecil berada dibawah kondisi edukatif yang Nabi canangkan. Pemuda alumni madrasah Muhammad sang Nabi.
Keberadaan seseorang seperti Nabi sebagai pemegang puncak kepemimpinan dengan sifat tawadhu dan sangat bertaqwa kepada Allah Swt adalah keharusan. Pemimpin yang tidak hanya ahli agama tapi juga paling tinggi dalam keilmuan, ana madinatul ilmi wa aliyun babuha, saya adalah kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya. Pengangkatan seseorang yang memang layak dalam keilmuan, sosok yang digelari Nabi dengan pintu Ilmu Nabi. Layak dalam keberanian, layak dalam kewara’an, layak sebagai filsuf dijamannya, sebagai arif, sebagai sufi, sebagai ahli bahasa, sebagai ahli Quran. Laki-laki pertama yang masuk Islam, tidak pernah menyekutukan Allah sejak kecil.
Kepemimpinan Nabi yang suci, ahli ilmu, paling bertaqwa akan dipindahkan sepeninggal beliau kepada orang yang memiliki kriteria yang sama, walau tentu kadarnya berbeda.
Keimamahan dan Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah keperluan mutlak, suatu kaum dibanding keadaan chaos lebih baik ketika mereka memiliki pemimpin walaupun zalim. Imam Ali as berkata, “ Masyarakat, apa pun itu, membutuhkan pemimpin, baik atau buruk, sementara Imamah adalah sistem umat”.[1]
Imam Ali as walau dalam struktur pemerintahan akibat kejadian Saqifah tidak memimpin. Yakni kurang lebih 25 tahun. Tapi sebagai imam tetap menjadi pemimpin wakil dan penerus Nabi Muhammad saw. Semua orang mengakui ketangguhan beliau dalam ilmu dan amal. Semua orang secara keimanan mengakui beliau walau ada yang mengingkarinya, tertipu oleh hawa nafsunya. Demi memenuhi hawa nafsu kekuasaan dan kerakusan pada harta baitul mal.
Tapi semua merujuk kepada Ali as secara keilmuan, beliau secara pribadi tetap memberikan bantuan, walau tidak bisa maksimal Imam Ali juga memeriksa teks Quran terbitan pemerintah. Sebab mushaf yang beliau kumpulkan tidak diterima pemerintah waktu itu. Memutarbalik arti hasbuna bikitabillah, bagi kami cukup kitab Allah Al-Quran.
Memang benar bagi manusia Al Quran adalah segala-galanya sudah mencukup sebagai petunjuk, tapi Quran tidak dipahami secara utuh dan benar kecuali oleh manusia Quran (Quran Nathiq, Nabi saw dan maksumin as), orang yang mendapat amanat langsung dari Nabi. Quran tidak dapat dipahami secara utuh kecuali melalui pintu ilmu kenabian yaitu Ali bin Abi Thalib as.
Wilayatul Fakih dan satu salah paham
Bentuk Kepemimpinan yang berakar dari Ghadir pada jaman ini adalah konsep wilayatul fakih. Ada kekeliruan terkait wilayatul fakih, menilai bahwa ketika mengikuti dan mentaati wilayatul fakih maka sedang melanggar aturan kewarganegaraan. Mentaati fatwa Marja’ taqlid dan mentaati Wali fakih adalah ketaatan keagamaan, seperti halnya mentaati fatwa grand mufti Mesir, Grand Mufti Arab Saudi. Dapat juga digambarkan mentaati wali Fakih sama halnya dengan mentaati fatwa Imam lima Madzhab, baik Imam Syafi’I, Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Ja’far, atau Imam Hanafi.
Wilayatul Fakih adalah ketaatan lintas geografi. Lebih kepada ketaatan ubudiyah, taat yang didasari atas ketaatan kepada Allah, Rasulullah dan Ulil Amri. Karena itu seorang Wali Fakih harus memenuhi kriteria yang ditetapkan Allah seperti dijelaskan oleh Ulil Amri.
Jadi walau kita berkewarganegaraan Indonesia tidak ada masalah ketika tetap mentaati wali fakih. Wilayatul fakih sendiri sangat mendukung konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, juga kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan dan perwakilan.
[1] Kisah Teladan Abadi, Amirul mukminin Ali KW, hal 384.