Haji dalam Tinjauan Budaya
Sejak dahulu kala sampai sekarang haji mendapat tempat yang istimewa di kalangan umat Islam.Tiap tahun jutaan kaum Muslimin melaksanakan manasik haji di kota suci Mekkah dan berziarah ke Maqam suci Nabi Muhammad saw di kota suci Madinah Munawwarah Dengan segala kesulitan, mereka sampai ke Miqat dan mengucapkan “labbaik Allahumma labbaik”(aku datang memenuhi panggilan-Mu,ya Allah).
Imam Ja’far ash-Shadiq berkata:
ما من مَلِکٍ ولاسُوقَةٍ یصل الی الحج الاّ بمشقّة فی تغییر مطعم او مشرب او ریح او شمس لا یستطیع ردّها و ذلک قوله عزّوجلّ: و تحمل اثقالکم الی بَلَدٍ لَمْ تکوُنوُا بالغیه الاّ بِشِقِ الأَ نْفُسِ اِنَّ ربّکم لرؤف رحیم».
“Tidak ada pemimpin (pejabat) atau rakyat biasa yang sampai di Baitullah kecuali dengan pelbagai kesulitan, baik karena ketidakyamanan makanan dan minuman maupun disebabkan angin topan dan menahan sengatan matahari. Dan inilah yang dimaksud oleh firman Allah Swt:
Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,” (an-Nahl: 7)
Dalam riwayat lain, Hisyam bin Hakam mengutip Imam ash-Shadiq yang berkata:
… و ما احد یبلغه حتی تناله المشقه
“Dan tidak seorang pun yang sampai ke kota suci (Mekkah) kecuali dengan penuh kesulitan.” Zaman dahulu, perjalanan haji harus menempuh waktu yang lama karena tidak adanya sarana transportasi yang cepat dan aman. Di samping itu, jamaah haji tidak mempunyai fasilitas yang mendukung dan tidak ada layanan kesehatan yang memadai. Ditambah lagi, perjalanan menuju tanah suci sangat beresiko dan berbahaya karena banyaknya pencuri dan perampok bersenjata. Sehingga banyak calon jamaah haji yang meninggal dunia di tengah jalan dan tidak kembali lagi ke negeri asalnya.
Pada tahun 402 Hijriah, sekelompok jamaah haji diserang oleh angin topan yang dahsyat lalu mereka tersesat dan tidak menemukan jalan untuk mendapatkan air sehingga banyak dari mereka yang wafat. Dan pada tahun 403 Hijriah, para pencuri spesialis padang pasir menguasai sumber-sumber air lalu mereka memalak dan memeras jamaah haji yang ingin mendapatkan air dengan sejumlah uang. Akhirnya, jamaah haji tersebut terserang kehausan dan hampir lima belas ribu (15.000) dari mereka yang meninggal dunia dan hanya sedikit yang selamat.
Sebagian sejarawan menilai bahwa Bani Khaffajah telah melakukan kekejaman dan penyiksaan yang paling keras pada jamaah haji. Sejarah mencatat bahwa mereka menawan jamaah haji dan memaksa mereka untuk menjadi pengembala. Dan setelah dua tahun—melalui lobi-lobi pemerintah kala itu—jamaah haji dapat dibebaskan dari cengkraman para pencuri.
Pada tahun 405 Hijriah, dari duapuluh ribu (20.000) jamaah haji yang selamat hanya enam ribu (6000). Dan mereka yang selamat pun mengalami penderitaan yang luar biasa sehingga mereka terpaksa menyembelih onta yang notabene adalah tunggangan dan kendaraan mereka supaya mereka selamat dari kelaparan.
Terkadang jamaah haji harus berhadapan dengan “amarah” alam seperti yang dialami oleh jamaah haji asal Mesir pada tahun 349 Hijriah. Saat mereka kembali ke negeri mereka, tiba-tiba di malam hari terjadi banjir besar dan banyak dari mereka yang tenggelam, bahkan jenazah-jenazah mereka dan barang bawaan mereka terbawa arus sampai ke laut.
Saking bahayanya perjalanan menuju tanah suci di zaman dan safar haji dianggap sebagai perjalanan yang paling mematikan sehingga bila ada jamaah haji yang pulang dalam keadaan selamat maka ia akan mendapatkan penghormatan yang luar biasa dari penduduk di daerahnya.
Terkait sambutan hangat jamaah haji, Baghdadi menulis: ketika mereka memasuki kawasan Yasiriyah (pinggiran Baghdad), mereka tidur di waktu malam supaya dapat memasuki kota pagi yang cerah sehingga masyarakat bisa menyambut mereka dengan baik.
.
Namun di hadapan semua sanjungan dan apresiasi terhadap jamaah haji، terdapat orang-orang yang belum memahami kedudukan tinggi haji dan mereka bahkan terkesan merendahkannya.
Ibrahim bin Maimun meriwayatkan bahwa aku duduk di sebelah Abu Hanifah lalu ada seseorang yang datang sambil bertanya kepadanya: seseorang yang telah melaksanakan kewajiban haji, apakah masih disunahkannya untuk berangkat lagi ataukah sebaiknya ia menggunakan dana haji kedua tersebut dipakainya untuk membebaskan budak di jalan Allah? Abu Hanifah : tentu memerdekakan budak lebih baik
Setelah mendengar kisah ini, Imam Shadiq berkata: Abu Hanifah tidak benar dan telah menyampaikan fatwa yang tidak tepat. Demi Allah, haji ke tanah suci lebih baik daripada membeli dan memerdekakan satu budak، dua budak, bahkan sepuluh budak.
Kemudian beliau berkata, hai Abu Hanifah, memerdekakan budak yg mana yang lebih baik daripada tawaf di baitullah, sa’i antara Shafa dan marwah, amalan Arafah, memangkas rambut, dan melempar jumrah. Kalau benar apa yang dikatakan oleh Abu Hanifah dan pendapatnya tersebar ( populer) maka masyarakat enggan untuk berangkat ke tanah suci.
Dalam riwayat lain, Umar bin Yazid mengatakan, aku mendengar Sayidina Ja’far ash-Shadiq berkata: haji lebih tinggi kedudukannya daripada memerdekakan 10 budak, bahkan beliau menghitung sampai pembebasan 70 budak (haji tetap lebih baik). Kemudian beliau melanjutkan: sekali tawaf dan shalatnya saja lebih baik daripada memerdekakan seorang budak.