Hendrajit; Para Tokoh Kunci Penyebab Pelestarian Penjajahan Palestina
MM-Ikmal pada sabtu, 30/4/2022, menggelar webinar “Masa Depan Palestina dan Agenda Normalisasi Hubungan dengan Israel”. Hadir empat pembicara; Prof. Dr. Hossein Mottaghi (Direktur Al Mustafa University – Perwakilan Indonesia), Dr. Kholid Al Walid (Ketua STAI Sadra), Hendrajit (Pakar Geopolitik – Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI), dan Musa Al Kadzim, M.Si (Direktur Komite Solidaritas Palestina Yaman (KOSPY).
Hendrajit memaparkan beberapa pokok pikiran geopolitiknya penyebab penjajahan Palestina yang tak kunjung selesai. Menurt Hendrajit, terdapat beberapa kejadian secara kronologis dengan beberapa aktor kunci penyebab terjadinya penjajahan Palestina bersamaan dengan perang dunia 1 dan 2.
Sosok Mark Sykes adalah sosok kunci pertama pengusul pembagian wilayah jajahan timur tengah untuk Prancis dan Inggris dalam sebuah rapat di london.
Mark Sykes (1915)
Meski otak pas-pasan menurut Hendrajit, Sykes saat usianya menjelang menginjak 35 tahun, sudah sempat menulis tiga buku:Through Five Turkish Province, Dar-Ul-Islam, dan The Caliph’s Last Heritage. Sykes tidak kalah hebat pamornya dengan seorang orietatalis lainnya seperti Thomas Edward Lawrence.
Dalam sebuah rapat kabinet yang diselenggarakan pada Desember 1915 diarahkan untuk menjawab pertanyaan kunci pada Sykes: bagaimana membagi wilayah kekuasaan antara Inggris dan Prancis untuk menghindari konflik di antara keduanya di Timur Tengah saat kelak Perang Dunia I usai?
Dalam membagi-bagi kawasan Timur-Tengah pasca Perang Dunia I, Sykes mengusulkan, sebelah Utara adalah Suriah, Lebanon, sebagian wilayah Turki, dan sebagian kecil wilayah Irak, akan diberikan kepada Prancis. Adapun di wilayah Selatan, yang terdiri dari Palestina, Jordan, dan Irak, akan menjadi wilayah kekuasaan Inggris.
Sykes diundang dalam rapat itu menurut Hendrajit bukan karena kecerdasannya, melainkan karena Sykes dihadirkan sekadar sebagai legitimasi atau pembenaran ilmiah atas sebuah rencana atau agenda Inggris pasca Perang Dunia I, yang nampaknya waktu itu masih dirahasiakan. Bahkan Sykes pun bisa jadi juga belum tahu.
Arthur Balfour (1918)
Aktor selanjutnya Arthur Balfour. Menurut Hendrajit, jika kita ingin tahu kenapa Palestina sekarang begitu tragis nasibnya sebagai obyek wilayah jajahan Inggris dan Amerika Serikat melalui Yahudi, maka di rapat inilah segalanya mulai dirancang. Selain Sykes, ada seorang angggota menteri dalam kabinet lainnya yang hadir di rapat tersebut Arthur Balfour.
Balfour saat itu belum menjadi menteri luar negeri Inggris, melainkan Laksamana Angkatan Laut Inggris. Entah karena kagum pada penguasaan ilmunya Sykes, atau sekadar memantik imajinasinya untuk kemudian Balfour membuat gagasan tersendiri yang lebih praktis.
Tapi yang jelas proposal Sykes dianggap serius benar oleh Balfour. Bukan karena usulan Sykes itu bagus, tapi jadi alasan pemerintah Inggris seakan idenya Sykes itu menginspirasi mereka untuk membuat menyiapkan idenya sendiri yang sebenarnya sudah ada di kepala Arthur Balfour dan Herbet Samuel.
Rupanya ide yang waktu itu masih tersembunyi itu berkaitan dengan Palestina dan zionisme Yahudi yang ingin punya negara sendiri. Ketika dua tahun setelah rapat tersebut Balfour diangkat jadi menteri luar negeri. Maka lahir yang namanya DEKLARASI BALFOUR pada 1918. Inti deklarasi itu, membuat janji atau komitmen bahwa pemerintah Inggris kepada warga Yahudi diaspora akan membantu pembentukan negara Yahudi di Palestina pada waktu yang pas. Sayangnya pada 1918 momentum itu belum pas.
Kemunculan Deklarasi Balfour itu ada proses yang jadi prakondisi sebelumnya, seperti begitu kuatnya tekanan dan desakan dari lobi Yahudi seperti yang digagas seorang Yahudi Austria, Theodor Herzl. Menurut Herz, bangsa Yahudi menurutnya tidak akan bisa selamat hingga memiliki negara sendiri. Tak heran ketika Israel menjelma jadi sebuah negara-bangsa pada 1948, Theodor Herzl ini dipandang orang-orang Yahudi sebagai bapak Zionisme Israel.
Herbert Samuel (1920)
Dalam urusan pelik menyangkut kepentingan negara Yahudi, menurut Hendrajit selain Balfour rupanya ada satu tokoh lagi di jajaran kabinet Inggris pada PD I tersebut, yaitu Herbert Samuel. Nah yang satu ini, memang turunan Yahudi tulen meskipun warga negara Inggris. Jadi kalau kita cermati, meski kemudian pada 1918 lahir Deklarasi Balfour, tapi pemain kunci di tingkat praktis dan punya jaringan luas dengan Zionisme Yahudi, Herbert Samuel.
Hendrajit memberi bukti bahwa Herbert Samuel, pada 1920 ditunjuk menjadi High Commissioner (semacam perwakilan pemerintahan Inggris) di Palestina. Inilah kali pertama setelah 2000 tahun, Yahudi berkuasa lagi di Palestina. Meskipun waktu itu Palestina masih merupakan daerah protektorat Inggris yang secara teknis merupakan daerah jajahan Inggris.
Justru karena Palestina bersatus sebagai protektorat Inggris hasil keputusan Liga Bangsa-Bangsa itulah, prakondisi terciptanya kisruh jangka pajang dan pertikaian antara Yahudi versus Arab (Islam, Kristen, Katolik) mulai meletup.
Begitupun, ini baru permulaan menurut Hendrajit. Karena Deklarasi Balfour yang sifatnya baru komitmen dan penetapan janji, belum ada momentum yang pas bagi Inggris menghadiahi Yahudi untuk mendirikan negara Israel.
Adolf Hitler (1941-1945)
Ironisnya, justru terjadinya Holokaus orang-orang Yahudi di Jerman semasa Adolf Hitler pada masa antara 1941-1945, kelak jadi momentum buat mewujudkan janji Inggris dalam Deklarasi Balfour tersebut.
PBB (1947)
Pada 1947, menurut Hendrajit mulai terang benderang siasat licik Inggris dalam politik devide et impera atau politik pecah-belah itu. Pada tahun 1947 PBB memutuskan Palestina untuk dipecah menjadi dua wilayah yang sama-sama masih di bawah protektorat Inggris. Yaitu bangsa Yahudi yang diberi 56 persen wilayah Palestina, padahal warga Yahudi hanya 30 persen—itupun setelah pintu dibuka lebar-lebar bagi imigran Yahudi Eropa—dari keseluruhan penduduk. Jadi dari fakta ini saja jelas sudah, bahwa ujung tombak misi melestarikan kolonialisme Inggris di Palestina adalah Yahudi Diaspora yang tersebar di pelbagai kawasan Eropa.
Namun Inggris yang terkenal pandai membaca pergeseran geopolitik global, menilai saat itu merupakan momentum mewujudkan Deklarasi Balfour. Pada 14 Mei 1948, negara Israel diproklamirkan secara sepihak, padahal bangsa Arab menolak keputusan PBB 1947 dan masih mengajukan banding.
Hendrajit menyimpulkan inti cerita ini adalah, bahwa yang sesungguhnya berperang bukan Arab versus Yahudi. Bukan antara Arab Palestina versus Israel. Melainkan perang antara negara-negara kolonial Inggris yang kemudian dilanjut Amerika Serikat, melawan Arab Palestina yang menolak penjajahan asing. Maka tak heran jika Arab Kristen dan Katolik juga ikut berjuang melawan penjajahan asing. Bahkan beberapa tokohnya tak kalah militan dengan rekan-rekan seperjuangannya dari kalangan Arab Muslim.
Acara ini di dukung IKMAL TV Indonesia, FP FB IKMAL INDONESIA, STAI Sadra dan Sadra International Institute.