Ilmu Kalam : Sejarah dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Secara bahasa kata “ kalâm” berarti ucapan. Namun kata ini dalam literatur Islam menjadi sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang ketuhanan dan masalah-masalah yang berkaitan dengan keyakinan. Dalam agama Kristen ilmu yang membahas masalah-masalah ini disebut dengan teologi (ilmu ketuhanan). Para ulama menyebutkan beberapa alasan mengapa ilmu tentang ketuhanan dan masalah-masalah keyakinan ini dinamakan dengan ilmu Kalam. Mereka menyebutkan beberapa alasan, antara lain;
- Pembahasan pertama kali yang menyedot perhatian para ulama yang berkaitan dengan ketuhanan adalah masalah kalamullâh ( ucapan Allah ); apakah ia qadîm (maha dahulu) atau hâdist (baru)?. Pembahasan ini tidak terbatas pada kalangan para ulama saja, tapi merabah menjadi isu politik, dan telah memakan korban nyawa seorang ulama besar, yaitu Ahmad bin Hanbal. Dia dibunuh oleh seorang penguasa dari dinasti Abbasiyah karena keyakinan dan pembelaannya bahwa kalamullâh adalah qadîm dan bukan makhluk sementara penguasa waktu meyakini sebaliknya. Semenjak itu, pembahasan tentang ketuhanan dan keyakinan disebut dengan ilmu Kalam.
- Para ulama terdahulu ketika membahas tentang ketuhanan dan keyakinan dalam tulisan dan kitab mereka acapkali memulai dengan mengatakan; al kalâm (pembahasan) tentang sifat-sifat Tuhan, misalnya.
- Para ulama yang terlibat dalam pembahasan ilmu ini dituntut untuk pandai dan handal dalam berdebat dan berbicara, sehingga ilmu ini dikenal ilmu debat atau berbicara. Debat dan bicara membutuhkan kalam
Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu Kalam bukanlah ilmu yang lahir dari rahim agama Islam. Namun meski demikian, muatan-muatan dan dasar-dasarnya dapat ditelusuri dengan mudah dalam teks-teks agama Isla;, Qur’an dan Sunnah, bahkan masalah-masalah kalam disebutkan dalam jumlah yang banyak.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ilmu Kalam
Ada dua faktor yang mempengaruhi ilmu Kalam Islam, faktor internal dan faktor eksternal.
- Pengaruh Internal
- Al Qur’an.
Sebagai Kitab suci kaum Muslim, al Qur’an mempunyai kedudukan yang tinggi di tengah mereka. Ia menjadi referensi awal dalam semua urusan kehidupan mereka, termasuk di dalamnya adalah masalah ketuhanan dan keyakinan. Pengaruh al Qur’an terhadap ilmu Kalam Islam sangat besar, baik menyangkut tema-tema kalam maupun argumentasi-argumentasi yang dibangun untuknya. Pengaruh ini dapat dilihat dengan jelas dalam tulisan-tulisan dan buku-buku para ahli kalam (mutakallimin) maupun para ulama lainnya.
- Sunnah Nabi saw.
Kedudukan Nabi Muhammad saw. berada pada posisi kedua setelah al Qur’an. Sebagaimana al Qur’an, Sunnah juga menjelaskan segala hal yang dibutuhkan dan ditanyakan oleh umat manusia, baik yang menyangkut urusan keyakinan maupun urusan sosial. Dalam menyampaikan ajaran Islam, beliau sering menjelaskna masalah ketuhaan dan keyakinan atau berdialog tentangnya dengan kaum Musyrik di Mekkah dan Ahlul Kitab di Medinah.
Keterangan beliau tentang masalah-masalah kalam telah menjadi bahan dan dalil yang dipegang para mutakallimin untuk memperkuat bukti-bukti tentang keberadaan Allah swt. dan hari akhirat.
- Ucapan Ahlul Bait as.
Bagi para pengikut Ahlul Bait as., para Imam Ahlul Bait merupakan sumber yang sangat penting dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Mereka adalah orang-orang yang paling refresentatif dalam menyampaikan ilmu-ilmu Rasulullah saw., khususnya Imam Ali bin Thalib as.
Dalam banyak kesempatan Imam Ali bin Thalib as. sering menjelaskan masalah ketuhanan dan masalah-masalah keyakinan melalui khutbah-khutbannya. Kecuali itu, beliau juga dianggap sebagai orang Islam (Arab) yang pertama kali membahas masalah-masalah kalam secara sistematis dan tersusun. Berkaitan dengan ini, Ibnu Abdul Hadid berkata,
“ Kajian tentang masalah hikmah dan masalah-masalah ketuhanan belum pernah dibahas di tengah bangsa Arab. Orang Arab yang pertama kali mendalami kajian ini adalah Ali bin Abi Thalib as. Oleh karena itu,para ahli ilmu kalam yang mendalami samudra ilmu-ilmu logika selalu dikaitkan dengan beliau saja, tidak yang lainnya. Mereka menyebut beliau sebagai guru dan pemimpin mereka. Setiap golongan dari mereka mengaku bahwa beliau adalah bagian dari mereka “. [1]
Dia juga mengatakan bahwa Muktazilah yang dikenal sebagai kelompok yang pertama kali membahas masalah tawhid dan keadilan, dan dari mereka lah banyak manusia yang belajar. Tokoh utama mereka adalah Washil bin ‘Atha. Dia murid Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin al Hanafiyah, dan Abu Hasyim berguru kepada ayahnya yang merupakan putra Ali bin Abi Thalib. Sedangkan al Asy’ariyah pengikut Abu al Hasan al ‘Asyari murid dari Abu Ali al Juba’i seorang tokoh utama Muktazilah. Ringkasnya semua mutakallim, baik Muktazilah maupun Asy’ariyyah secara tidak langsung berguru kepada Ali bin Thalib as.[2]
- Pengaruh Ekternal
- Akulturasi
Setelah terjadinya pembebasan yang dilakukan oleh kaum Muslim terhadap beberapa wilayah di luar jazirah Arabia hingga wilayah Persia dan beberapa kota kekuasaan Romawi, maka munculah akulturasi antara mereka dengan bangsa-bangsa yang telah mempunyai peradaban dan kebudayaan yang berbeda dalam bidang ontologi, epistomologi dan aksiologi. Sebagai akibat dari akulturasi ini, tidak sedikit ajaran mereka yang masuk ke dunia Islam dan menimbulkan pro dan kontra terhadap pandangan-pandangan mereka, khususnya menyangkut masalah ketuhanan.
Pandangan-pandangan mereka, secara langsung maupun tidak, menjadi bahan perdebatan dalam majlis-majlis ilmu para ulama, dan pada gilirannya, telah memperkaya tema-tema kalam, seperti pembahasan tentang materi (jisim), gerakan dan lainnya.
- Transliterasi
Selain adanya akulturasi setelah pembebasan wilayah-wilayah tersebut, ada upaya dari beberapa pihak yang berkuasa untuk menerjemahkan buku-buku karya para cendikiawan non Muslim ke bahasa Arab. Ibnu Nadim menyebutkan,
“ Adalah Khâlid bin Yazîd bin Muawiyah seorang yang mencintai ilmu pengetahuan telah memerintahkan supaya didatangkan sejumlah filusuf dari Yunani yang berada di kota Mesir. Mereka diminta untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik (Mesir Kuno) ke bahasa Arab. Itu lah pertama kali penerjemahan buku ke bahasa Arab. Kemudian pada masa al Hajjaj muncul juga penerjemahan dari bahasa Persia ke bahasa Arab. Penerjemahan pada saat itu masih dianggap lambat sampai masa kekuasaan al Ma’mun al Abbasi. Dia meminta kepada kaisar Romawi agar diberi akses untuk mempelajari ilmu-ilmu klasik yang tersimpan di perpustakaan wilayah-wilayah Romawi. Akhirnya al Ma’mun mengutus sejumlah cendekiawan untuk pergi seperti, al Hajjaj bin Mathar, Ibnu Petrik, Muhammad bin Ahmad dan Husain Banu Syakir. Kemudian mereka kembali dengan membawa buku-buku tentang filsafat,arsitektur dan lainnya “.[3]
Buku-buku terjemahan itu telah terkadang mengandung pandangan-pandangan yang mengganggu keyakinan kaum Muslim, dan sebagai akibatnya muncul reaksi yang beragam di tengah mereka. Secara umum ada tiga kelompok yang muncul sebagai respon atas buku-buku itu;
Pertama, menolak ajaran-ajaran yang dianggap menyimpang dari Islam karena tidak bersumber dari al Qur’an dan Sunnah. Mereka secara tegas men-sesatkan dan mengkafirkannya demi menjaga kemurnian ajaran Islam.
Kedua, menerima ajaran-ajaran itu karena pemaham mereka yang lemah tentang ajaran Islam. Mereka tidak berdaya dalam membantah ajaran-ajaran itu.
Ketiga, mengkaji dan menelaah secara mendalam serta menakarnya dengan dasar-dasar yang kuat. Mereka menerima ajaran yang sejalan dengan ajaran Islam dan menolak ajaran-ajaran yang menyimpang dari Islam dengan argumentasi yang kuat.
[1] Ibnu Abi Al Hadîd, Syarh Nahj al Balâghah 1/6 Dar Ihya al Kutub al Arabiyyah cet. Pertama 1378
[2] Ibid, 1/17
[3] Ibnu al Nadim, al Fihris 303