Ilmu Sosial Indonesia Berdikari, Mungkinkah ?
MM-Ilmu sosial Indonesia Berdikari dan Menyegarkan Group dan Roadmap. Itulah salah satu judul materi pada workshop singkat penelitian di UIN Mataram. Lombok, 6/6/2023. Group disini maksudnya adalah kolaborasi antara pihak BRIN (Badan Riset Nasional dan Inovasi Nasional) Indonesia dengan pihak kampus, UIN Mataram. Kelompok “episteme”, komunitas intelektual, dan para peneliti. Sementara roadmap adalah syaring dan kolaborasi program antara pihak BRIN dan kampus.
Group dan Roadmap adalah hal tehnis, mengandaikan para peneliti yang sudah relatif profesional dan kepakaranya, sudah teruji ataupun sedang mengupgrade penelitianya untuk kepentingan baik akreditasi kampus, karir pengajar ataupun kepentingan intelektual organik atau non organik yang lebih luas.
Refleksi Kepakaran dan Kemandiri ilmu Sosial
Olehkarena asumsinya sudah pakar, maka pemateri mengajak para peserta mengevaluasi kadar kepakaran, baik dalam kontek teori dan praktek penelitian empiris. Kontek pertama meliputi evaluasi ketepatan fundasi teori dan kedua relevansi objek penelitan empiris, generalisasi dan reduksi pengumpulan data. Lebih dari itu, termasuk evaluasi status ilmu sosial. Jika kontek pertama berkaitan dengan epistemologi dan metodologi. Kontek kedua status ilmu sosial dan relasinya subjek sebagai pengamat. Tepatnya dalam ilmu sosial berkenaan dengan isu subjektifitas dan objektifitas penelitian ilmu sosial.
Penelitian Berdikari
Peneliti Berdikari artinya kemerdekaan subjek-peneliti dari belenggu di luar gagasan pokok dan asli dari peneliti. Misalnya kemerdekaan dalam membuat statemen klaim ilmiah dan relevansinya antara objek dengan teori. Karenanya jika ditemukan situasi kemerdekaan penelti selalu mengalami reduksi olehkarena ada pertalian alamiah antara objektifitas penelitian dan peneliti maka harus dicari pemecahanya. Kemandirian dari belenggu teori-teori ilmu sosial yang berasal dari pusat ilmu sosial dunia pertama, USA, Inggris, dan Prancis.
Tentu dalam kontek ilmu sosial sudah pasti pertalianya karena subjek peneliti dan objek yang di teliti satu entitas, “kompleksitas manusia”. Satu sisi bersifat gejala individu dan disisi lain bersifat fakta sosial sebagai manusia yang unik dan otentik. Asumsi ini menganggap bahwa manusia tidak sekedar produk dan kontruk sosial. Oleh karenanya melihanya dengan pendekataan fugnsional-strukturalis dan teori konflik, lebih dari itu asumsi kedua menganggap hakekat manusia selalu unik, relasi satu dengan lainya harus dicari secara detil dan konstan; pola komunikasi, bahasa, simbol dll.
Asumsi pertama bisanya didekati dengan penelitian kuantitatif, tingkah laku masyarakat (social behavior) yang di konversi kedalam angka dan data. Asumsi kedua, didekati dengan pendekatan kualitatif; wawancara, FGD, dst.
Hubungan Dekat Subjek dan Objek
Sebagaiman sudah dinyatakan sebelumnya, implikasi hubungan subjek dan objek penelitian yang satu, memberi dampak pada aspek epistemologis-metodologis dan ontologis-fenomenologis. Dilihat dari aspek metodologi, apakah aspek fenomenologi itu murni metodologi atau bagian dari sifat ontologis manusia yang tidak bisa dipisahkan dari metodologi. Olehkarena jalinan yang erat sifat fenomenologis manusia sebagai peneliti, maka metodologi fenomenologi berkaitan erat dengan definisi identitas manusia yang tentu saja berpengaruh terhadap status ilmu sosial. Apa bedanya antara dunia sosial manusia dan imu sosial manusia. Sehingga perlu kajian sosiologi pengetahuan, filsafat sosial, sejarah dan ilmu sosial dan juga Peradaban.
Tidak hanya memperhatikan subjek-manusia sebagai fenomena sosial tetapi juga definisi sosial sebagai rumpun ilmu. Apakah metode fenomenologi itu ilmu sosial itu sendiri. Bagaimana cara mengukur jarak dan objektifitas peneliti. Sementara metodologi dan ilmu sosial dua hal yang sulit di pisahkan baik dari sisi subjek dan objeknya.
Relasi Kekuasan dan Pengetahuan
Adanya fenomena relasi yang begitu dekat antara subjek dan objek penelitian sosial dibaca secara gamblang oleh Paul-Michel Foucault. Dengan premis tegas, filsuf plontos Prancis ini mengatakan terdapat relasi yang “genuine” dan ontologis antara kekuasaan dan pengetahuan. Dalam diri manusia “inhern” ada sifat keinginan baik tersembunyi dan terbuka untuk berkuasa (will to power). Sementara isi kekuasan itu selalu mengandaikan eksistensi pengetahun di dalamnya. Perolehan kekuasan tidak hanya menyadari manusia sebagai “zoon politicon”, sehingga terdorong seorang manusia bergabung dengan partai kemudian menjadi bupati, gubernur, presiden, atau rebutan dalam kerangka kompetisi keras untuk jabatan kantoran dengan manuver intrik politik atau dengan berbasis pada integritas dan kinerja. Intinya, sifat kekuasan apapun selalu melekat dalam diri manusia seiring dengan kehendak dan kadar pengetahuanya.
Olehkarena begitu popular gagasan Michel Foucault ini, kemudian diteruskan oleh para ilmuan yang memiliki trauma akibat menjadi objek kekuasaan dan pengetahuan para penguasa dunia. Melalui gagasan orientalisme, hegemoni cara pandang barat terhadap timur, Edward Said mengupas dan membeberkan penderitaan kolonisasi batin dan intelektualanya, koloni geografi memakili bangsanya-Palestina dan wilyah dunia ketiga sebagai objek ekploitasi negara induk barat, USA, Eropa dan Israel.
Gagasan dan diskursus orientalisme ini kemudian berkelindan dengan diskursus Erosentrisme, dan Poskolonial. Said berhasil membuktikan anasir-anasir orentalisme dalam karya-karya sastra terbitan Barat-Kolonial. Menurut Said, Barat tidak hanya melakukan imperialisme dan kolonialisme geografi sumber daya alam, tetapi juga melakukan koloni dan mengendalikan pikiran penduduk jajahan dengan karya-karya akademik. Orientalisme, Erosentrisme, dan Poskolonial pada perkembanganya dijadikan instrumen penelitian berbasis kualitatif, seiring dengan teori kritis, hermeneutik, filsafaf kontinental dll.
BRIN, BPIP dan ilmu Sosial Berdikari
Memperhatikan landskap relasi kekuasaan dan pengetahuan yang begitu dekat dan alamiah seperti yang sudah di uraikan, maka dengan mudah kita menganalisa hubungan organik struktur kekuasaan dan pengetahuan di Indonesia. Antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) dan ilmu sosial Indonesia yang berdikari.
BRIN adalah lembaga pemegang otoritas riset dan inovasi pengetahuan di Indonesia berbasis PERPRES No. 78 Tahun 2021. Sementara BPIP adalah lembaga otoritas pemegang ideologi negara Indonesia berbasis PERPRES No. 7 Tahun 2018. Meskipun kedua lembaga bukan produk hasil legislasi DPR, baik BPIP dan BRIN berbasis legitimasi PERPRES, merupakan manifestasi kekuasaan dan pengetahuan yang legal. Isi PERPRES sendiri penuh dengan sifat pengendalian terhadap pengetahuan masyarakat searah dengan cita-cita ideologi Pancasila yang penuh semangat kemandirian.
BPIP berfungsi sebagai pengendali dan pengarah agar jalanya kekuasaan termasuk legitimasi dan lalu lintas pengetahuan sesuai dengan norma dasar hukum dan kekuasaan berbasis Pancasila.
Ringkasnya, BPIP adalah terdiri dari para pakar pemegang otoritas ideologi. Merekalah para pakar yang dianggap paling tahu pengetahuan tentang ideologi negara dan bangsa. Mereka adalah para pemegang otoritas yang mengarahkan dan menasehati agar Presiden mengarahkan managemen riset dan inovasi pengetahuan masyarakat ilmiah sesuai konstitusi berbasis Pancasila. Seluruh isi cita-cita masyarakat yang berbasis pengetahuan ilmiah yang terdeteksi oleh struktur kekuasaan semestinya diarahkan oleh BPIP.
Konstitusi RI yang berbasis Pancasila dalam pembukaan UUD memberi pesan tegas. Indonesia berdiri secara eksistensial ingin menjadi bangsa yang merdeka dan aktif mengenyahkan kolonialisme. Arti kolonialisme disini tidak hanya “self determination” mendirikan negara (state), tetapi secara luas dan juga mendalam berarti manusia-manusia merdeka yang meliputi bebas dari kolonialisme geografis akibat pendudukan, kolonialisme berupa ketergantungan cara berpikir dan kolonialisme akademik.
Agar dapat menjadi manusia merdeka seutuhnya sesuai dengan subjek konstitusi RI, maka identitas manusia Indonesia yang merdeka itu harus dapat mendefinisikan dirinya sendiri apa yang dimaksud dengan menjadi manusia Pancasila dan relasinya dengan kekuasan dan pengetahuan yang melingkupinya.
Menjadi manusia berbasis konsep Pancasila, artinya menjadi manusia universal, hasil proyeksi terbaik tentang hakekat manusia lintas agama, ras, suku, bangsa dan benua. Bebas dari keterbelengguan takdir geografi. Manusia Indonesia melalui refleksi-refleksi yang asli tanpa tergantung pada definisi kaum kolonial yang memliki sifat menghegemoni, menguasai; “inhuman, injustice, uncivilized.” Kebinekaan aksidental ras, suku, agama, budaya, bahasa, flora fauna secara esensial harus nyambung dan koheren dengan definisi manusia yang dimaksud Pancasila sebagai pandangan dunia dan ideologinya. Tugas BPIP harus bisa mendeteksi dan menyampaikan ke publik anasir-anasir jahat yang membelenggu kekuasaan dan pengetahuan asing yang menghegemoni, merusak otentitas manusia Pancasila yang merdeka dan mandiri.
Dengan demikian oleh karena hubungan organik antara BPIP dan BRIN, maka BPIP wajib memberi arahan pada BRIN melalui Presiden agar desain ilmu sosial Indonesia bebas dari ketergantungan para ilmuan kolonial barat dari klasik hingga modern sebagai pusat ilmu sosial dunia. Kebergantungan dari belenggu Snouck Hurgronje dan Cornelis Van Vollenhoven sebagai bapak hukum adat Indonesia adalah bukti langgengnya penjajahan atmosfir akademik di Indonesia.
Bebas artinya bukan anti, tetapi memakai secara kritis, menyegarkan, adaptasi termasuk inovasi pembuatan teori baru ilmu sosial. Berani dan meneladani semangat ilmiah dan mandiri dari Mbah Moedjair, sang penemu ikan mujahir dari Blitar.
Amanat ini seyogyanya tidak boleh di baca sebagai propaganda yang dipaksakan dalam lingkup kebebasan ilmiah, tetapi secara harfiah, hal tersebut adalah berani saya katakan “mandat konstitusi tertinggi secara tidak lansung”. Artinya desain ilmu Sosial Indonesia-Berdikari adalah bagian dari mandat Konstitusi RI tertinggi.