Imam Khomeini dan Palestina
Bila kita menelaah secara obyektif gerakan perjuangan Imam Khomeini maka kita temukan bahwa pembelaan terhadap Palestina begitu mendarah daging dalam pemikiran beliau, bahkan sejatinya revolusi Islam yang beliau pimpin adalah embrio dan cikal bakal pembebasan Palestina.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Imam Khomeini merupakan pelopor perjuangan dan pembelaan terhadap Palestina dan tokoh Muslim kontemporer yang paling banyak memberikan sumbangsih terhadap perjuangan rakyat Palestina, sehingga sepak terjang beliau menginspirasi para pejuang Palestina untuk memperebutkan hak-haknya.
Penetapan hari Jumat terakhir di bulan Ramadhan sebagai hari al-Quds internasional adalah ide brilian pria asal kawasan Khomeini ini yang dalam dirinya mengalir darah Rasulullah saw. Dan hari al-Quds yang ditandai dengan demontrasi dan turun ke jalan pelbagai komunitas Muslim dunia membuktikan kecemerlangan ide Imam Khomeini sehingga umat Islam bersatu—apapun mazhabnya dan dari negara manapun—tidak melupakan perjuangan untuk membebaskan Masjid al-Aqsa dari cengkraman Zionisme.
Imam Khomeini sangat memahami problema internal dunia Islam, di antaranya kelemahan umat Islam dan ketergantungan sebagian pemimpin negara-negara Islam pada kekuatan adi daya. Oleh karena itu, beliau menegaskan perihal peningkatan wawasan dan pengetahuan masyarakat Islam dan berpegang teguh dengan persamaan-persamaan ideologis (keimanan) dan budaya serta menjauhi perselisihan dan perbedaan mazhab (aliran).
Hari ini saat pengumuman penetapan Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh Presiden Amerika, dunia Islam bergejolak. Dan seperti kata Presiden Iran, Hassan Rohani bahwa dengan menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Trump justru mempersatukan umat Islam terkait dengan isu Palestina. Dan sangat tepat bila kita membaca kembali gagasan-gagasan Imam Khomeini yang bertalian dengan isu Palestina supaya wawasan kita meningkat kualitasnya dan memahami dengan baik peta perjuangan pembelaan terhadap Palestina di tengah umat Islam.
Saat Syah berada pada puncak kekuasaannya, Imam Khomeini membongkar hubungan Rezim Syah dan Israel, dan beliau secara serius memperingatkan dunia Islam akan bahaya Israel. Yang menarik, Imam Khomeini merupakan Marja’ Taklid pertama yang mengeluarkan fatwa pembolehan penggunaan wujuhat syar’i (harta yang di dalamnya ada hak syar’i seperti Khumus), zakat dan sedekah untuk pembelaan terhadap para pejuang Palestina.
Sejak kemenangan Revolusi Islam Iran maka perlawanan terhadap Zionisme semakin meningkat dan peta perlawanan rakyat Palestina terhadap Israel banyak berubah. Perlu dicatat bahwa Rezim Syah adalah sekutu dekat dan kuat bagi Israel di kawasan Timur Tengah. Di zaman Rezim Syah, Iran menjadi pasar yang menjanjikan bagi barang-barang Israel sehingga melalui perdagangan dengan Iran maka ekonomi Israel menggeliat.
Di sisi lain, Syah mengeluarkan perintah untuk menjamin pengadaan minyak yang dibutuhkan oleh Israel, sehingga minyak Iran yang digunakan di pelbagai industri Israel kemudian diubah menjadi peluru yang membunuh rakyat Palestina. Alhasil, Iran menjadi markas untuk misi mata-mata Israel dan pusat kendali untuk mengawasi orang-orang Arab di kawasan Timur Tengah.
Terbongkarnya hubungan tersembunyi dan nyata antara Syah dan Israel dan penolakan Syah untuk membantu umat Islam yang melawan Israel adalah salah satu alasan kebangkitan Imam Khomeini dan beliau sendiri dalam hal ini menyatakan:
“Salah satu alasan mengapa saya berhadapan dengan Syah adalah bantuannya terhadap Israel. Saya selalu katakan bahwa Syah dari awal berdirinya Israel telah melakukan kerja sama. Dan ketika terjadi puncak peperangan antara Israel dan kaum Muslim, Syah merampok minyak kaum Muslim dan diberikannya kepada Israel. Dan hal inilah yang menyebabkan penentanganku terhadap Syah.”[1]
Keterjatuhan Rezim Syah dan berdirinya sistem pemerintahan Islami di Iran merupakan pukulan “mematikan” pertama yang mengancam secara serius tujuan-tujuan ekspansif Zionisme.
Pengaruh pesan Revolusi Islam dan pemimpinnya begitu mendominasi opini umum yang berkembang saat itu, bahkan ketika Anwar Sadat menandatangani perjanjian Camp David, negara Mesir “diusir” dari bangsa Arab dan bahkan dikeluarkan dari rezim-rezim nepotisme Arab di kawasan Timur Tengah, hingga Mesir benar-benar terisolasi.
Amerika dan beberapa negara Eropa yang merupakan pendukung utama Rezim yang menduduki Masjid Aqsha mendapatkan pengalaman pahit saat berhadapan dengan kebangkitan Imam Khomeini, sehingga mereka berupaya untuk meredam Revolusi Islam dan mengubah keadaan, bahkan untuk mencapai tujuan ini, mereka tampak harmonis (satu visi) dengan pesaing Timur mereka, yaitu Uni Soviet kala itu. Dan bukti keharmonisan ini tampak pada provokasi Saddam Hussen untuk mencaplok dan menduduki tanah Iran dan mendukung sepenuhnya Saddam selama peperangan panjang antara Rezim Ba’ts Irak dan sistem Islami Iran.
Akhirnya, dimulailah peperangan yang dipaksakan yang bertujuan untuk menduduki Iran dan supaya terjadi disintegrasi serta kehancuran Revolusi Islam.
Sistem Republik Islam bertekad untuk menghadapi dengan sekuat tenaga segala bentuk makar dan tipu daya musuh dan dengan slogan “hari ini Iran dan esok Palestina”. Rakyat Iran tidak punya pilihan lain selain berupaya untuk mempertahankan eksistensi revolusinya dan mereka terjun ke medan peperangan yang dipaksakan.
Dan sehubungan dengan perang Irak-Iran yang dikobarkan oleh musuh-musuh kaum Muslim, Imam Khomeini berkata:
“Sesuatu yang memprihatinkan adalah kekuatan adi daya, khususnya Amerika, dengan menipu Saddam supaya menyerang negara kita, sehingga negara Iran yang berdaulat terpaksa sibuk mempertahankan negaranya dan memberikan peluang kepada perampok Israel untuk mewujudkan obsesi jahatnya, yaitu membentuk Israel Raya dari sungai Nil sampai Furat.”[2]
Ya, Saddam sudah digilas oleh zaman dan menjadi puing sejarah yang tak bermakna. Sedangkan gagasan dan pemikiran Imam Khomeini, utamanya menyangkut Palestina tetap hidup sampai hari ini. Bahkan ada jutaan orang percaya bahwa hari demi hari pernyataan dan perkataan Imam Khomeini terbukti dan terwujud dan kini mereka sedang berjuang untuk mewujudkan obsesi terbesar sang imam, yaitu kaum Muslim—apapun mazhabnya dan dari negara manapun—bisa dengan bebas dan leluasa melakukan shalat berjamaah di Masjid al-Aqsha. “Bukankah subuh itu sudah dekat?” (QS. Hud: 81).
[1] Sayed Ruhullah Musawi Khomeini, Shahifah Imam, Muassaseh Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, tahun 1394, jilid 5, hal. 187.
[2] Shahifah Imam, Muassaseh Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, tahun 1394, jilid 18, hal. 145.