Imam Ridha a.s. Dalam Literatur Ahlu Sunnah
Syiah meyakini para imam sebagai manusia-manusia paling mulia dan suci di muka bumi. Berdasarkan hadis Nabi saw. (Imam setelahku adalah 12 orang), mereka adalah khalifah Nabi saw. setelah beliau.
Imam Ali bin Musa Ar-Ridha (Imam Ridha) a.s. salah seorang di antara 12 imam tersebut. Apabila kita membuka lembaran kitab sejarah, tarajum, dan rijal yang ditulis oleh ulama Ahlu Sunnah, selalu ada pembahasan tentang Imam Ridha a.s. yang bahkan tidak jarang diagung-agungkan. Kitab Siyar A’lam An-Nubala’[1] menyebut Imam Ridha a.s. sebagai Al-Imam dan As-Sayyid. Ungkapan Al-Imam dalam kitab-kitab rijal dan istilah hadis dimaksudkan dengan perawi yang adil.
Dzahabi menyebut Imam Ridha a.s. lahir pada tahun 148 H. di Madinah. Beliau memiliki kedudukan yang tinggi dalam ilmu, agama, dan keagungan. Beliau bahkan berfatwa saat masih muda pada masa Imam Malik. Berfatwa dalam urusan agama saat masih muda, menurut Ahlu Sunnah merupakan kedudukan tinggi.
Dzahabi kemudian menyebutkan nama-nama perawi yang menukil riwayat dari Imam Ridha a.s. dan menukil riwayat Silsilah Adz-Dzahab dari Syeikh Mufid (meskipun Dzahabi tidak meyakini ke-tsiqah-an Syeikh Mufid). Dalam lanjutan silsilah sanadnya, Dzahabi menukil dari Ahmad bin Hanbal, “Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku mendengar dari Ali bin Musa.”” Meskipun demikian Dzahabi tidak menukil hadisnya.
Ahmad bin Hanbal berkata, “Apabila hadis Silsilah Adz-Dzahab ini dibacakan kepada orang sakit dan orang gila, mereka akan sembuh.”[2]
Dzahabi berkata, “Ali Ar-Ridha memiliki kedudukan tinggi dan layak untuk menjadi khalifah (yang mengatur urusan dunia Islam dan kaum muslimin).”[3]
Kekhususan Periode Imam Ridha a.s. dan Peran Beliau
Periode pemerintahan Harun dan Makmun yang disebut sebagai era keemasan dan perkembangan ilmu, pada hakikatnya adalah sebuah taktik yang digunakan oleh Harun dan Makmun untuk menjaga dan memperluas dominasi dan kekuasaan mereka. Budaya Yunani, Persia, India dan budaya-budaya asing lainnya dimasukkan ke wilayah Islam.
Pemerintah menggelontorkan biaya besar untuk penerjemahan karya-karya Yunani, Persia dan bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, berbagai garis pemikiran, terutama Salafisme dapat disaksikan tersebar di tengah masyarakat Islam. Pembahasan jasmaniah Tuhan dibingkai dalam ayat-ayat seperti “یَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَیْدیهِم”,[4] “الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى”[5] dan lain-lain atau riwayat seperti “إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ”.[6] Pemikiran ini berakar dari pemikiran Ahmad bin Hanbal dan sangat berbahaya serta mengancam akidah kaum muslimin.
Menyikapi hal ini, Imam Ridha a.s. bersabda, ““قاتلهم الله”, kapan Nabi saw. menyabdakan riwayat seperti itu?”
Oleh karena itu, secara umum Imam Ridha a.s. berjuang keras melawan aliran-aliran pemikiran yang menyeleweng, terutama Salafisme dengan cara melakukan berbagai dialog dan pemaparan ajaran-ajaran Islam Muhammadi.
Bani Abbas dengan cara mamasukkan berbagai macam aliran pemikiran dari luar, semula merencanakan untuk menutup pintu rumah dan budaya Islam dari Ahlul Bait a.s. Namun di luar dugaan mereka, justru hal tersebut membuka jalan bagi budaya Islam Muhammadi melalui berbagai penjelasan Imam Ridha a.s. tentang hakikat Islam yang sebenarnya. Dengan keagungan dan keluasan geografisnya, dunia Islam saat itu hanya mengenal Ali Ar-Ridha sebagai satu-satunya ulama Islam dari keluarga Nabi saw.
Ucapan Al-Busti Asy-Syafi’i tentang Imam Ridha a.s.
Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Muadz bin Ma’ba’ At-Tamimi Ad-Darimi Al-Busti Asy-Syafi’i (wafat tahun 354 H.) menulis:
“Ali bin Musa Ar-Ridha pemuka Ahlul Bait dari Bani Hasyim yang mulia dan agung. Hadisnya wajib diamalkan (karena muktabar), namun dengan syarat bahwa hadis yang dinukil dari beliau bukan dari jalur Syiah dan putera-putera beliau atau dari jalur Abu Shalt Harawi.”[7] Artinya, hadis-hadis Imam Ridha a.s. tidak dapat diterima karena semuanya dari jalur-jalur tersebut.
Selanjutnya berkata, “Ali Ar-Ridha wafat di Tus. Aku selalu menziarahinya. Setiapkali aku menghadapi permasalahan, aku pergi berziarah dan berdoa di sana sehingga permasalahanku terpecahkan. Shalawat dan salam atas datuknya dan atasnya. Ya Allah! Karuniakan kematian kepadaku atas kecintaan kepada Muhammad Al-Mustafa dan Ahlul Baitnya.”
Ucapan Juwaini Asy-Syafi’i tentang manaqib Imam Ridha a.s.
Juwaini Asy-Syafi’i (wafat tahun 730 H.) dalam Faraid As-Simthain menukil banyak hal tentang Imam Ridha a.s. Di antaranya dia menjelaskan berbagai karamah dan keutamaan beliau, keutamaan makam beliau. Jilid 2, halaman 104 kitab tersebut menjelaskan sebuah riwayat tentang keutamaan menziarahi Imam Ridha a.s. dan halaman 159 menyebutkan kejadian turunnya hujan dengan doa Imam Ridha a.s.
Juwaini di halaman 158 menjelaskan mimpi seseorang dari Khurasan: “Dalam tidurnya dikatakan bahwa Nabi saw. telah tiba dan masuk ke sebuah masjid. Dia menghadap Nabi saw. Di hadapan Nabi terdapat korma dan dia meminta korma dari beliau saw. Nabi memberikan segenggam kurma yang isinya berjumlah 18 biji.
Kejadian tersebut telah lama berlalu hingga suatu hari saat dia sibuk bekerja, orang-orang memberitahukan bahwa Ali bin Musa Ar-Ridha tiba. Dia pun ikut menyambut. Kemudian dia melihat Imam Ridha a.s. duduk di masjid yang pernah diduduki oleh Nabi saw. Di hadapan beliau terdapat korma. Dia pun meminta korma tersebut dari Imam Ridha a.s. Beliau memberikan segenggam kurma kepadanya yang isinya persis dengan pemberian Nabi saw., yaitu 18 biji. Dia berkata, “Tambahkanlah pemberian Anda.”
Imam Ridha a.s. berkata, “Bila Datukku, Rasulullah saw. dulu memberikan lebih dari itu, kami juga akan memberikan lebih.””[8]
Juwaini juga menukil kisah lain dari karamah Imam Ridha a.s. di halaman 164 tentang orang yang tidak dapat berbicara karena suatu penyakit. Setelah bertawasul kepada Imam Ridha, ia sembuh dan dapat berbicara lancar.
Di halaman lain, Juwaini menukil ziarah yang dilakukan oleh Ibnu Khuzaimah, salah seorang ulama besar Ahlu Sunnah dan guru Imam Bukhari (lahir tahun 225 H, yaitu sekitar 20 tahun lebih setelah syahadah Imam Ridha a.s.).[9] Ibnu Khuzaimah (yang juga merupakan imam Ahlul Hadis) bersama guru-guru dan santri-santrinya pergi berziarah ke Imam Ridha a.s. Ibnu Khuzaimah demikian khusyu’, penuh khudhu’ dan bahkan menangis saat berada di sisi makam Imam Ridha a.s. hingga membuat heran orang-orang yang bersamanya.
Riwayat Imam Ridha a.s. Dalam Literatur Ahlu Sunnah
Menurut Ahlu Sunnah, Imam Ridha a.s. tergolong perawi tingkat ke-10.[10] Namun Ibnu Jauzi menyebut beliau a.s. sebagai perawi tingkat ke-8 dari Madinah.[11] Ulama Rijal Ahlu Sunnah menyebut beliau dengan beberapa pujian seperti shaduq dan menganggap beliau tsiqah.[12]
Meskipun demikian, ulama Ahlu Sunnah dalam 11 literatur mereka hanya menukil beberapa riwayat dari beliau a.s. yang dapat dihitung jari.
Dari 11 literatur Ahlu Sunnah, hanya Muttaqi Hindi, Baihaqi, dan Ibnu Majah membawakan beberapa riwayat dari Imam Ridha a.s. dalam kitab-kitab mereka; Ibnu Majah dan Baihaqi, masing-masing menukil 1 riwayat dari beliau a.s., sedangkan Muttaqi Hindi menukil 7 riwayat dari beliau a.s. yang satu riwayat merupakan pengulangan.
Secara keseluruhan, dalam 11 literatur Ahlu Sunnah[Lihat di sini] hanya terdapat 9 riwayat atau 8 riwayat dengan menghapus pengulangan yang dinukil dari Imam Ridha a.s. Riwayat-riwayat tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
* 3 riwayat dalam topik akidah
* 2 riwayat dalam topik akhlak
* 2 riwayat dalam topik fadhail
* 1 riwayat dalam topik fikih.
Berkenaan dengan aqwal dan af’al tidak terdapat riwayat yang dinukil dari beliau a.s.
======================
[1] Jilid 9, halaman 387 – 393.
[2] Dinukil dari Ash-Shawaiq Al-Muhriqah, halaman 205.
[3] Siyar A’lam An-Nubala’, jilid 9, halaman 392.
[4] “Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka.” QS. Al-Fath [48]: 10.
[5] “(Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas arasy.” QS. Thaha [20]: 5.
[6] “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk-Nya.” Arti ini berdasarkan keyakinan sebagian orang yang mengembalikan dhamir (kata ganti) dalam riwayat kepada Allah.
Adapun riwayat lengkapnya adalah sebagai berikut: “Rasulullah saw. melewati dua orang yang saling mengejek. Beliau saw. mendengar salah seorang mengatakan, “Semoga Allah memburukkan wajahmu dan wajah orang yang serupa denganmu.”
Maka Nabi saw. bersabda, “Jangan engkau katakan hal itu kepada saudaramu, karena sesungguhnya Allah swt menciptakan Adam dalam bentuknya (seperti wajahnya).”
[Lihat: Bihar Al-Anwar, jilid 4, halaman 11; ‘Uyun Akhbar Ar-Ridha a.s.]
Maka dhamir tersebut kembali ke orang yang dihina, sementara sebagian orang mengembalikannya kepada Allah swt.
Riwayat ini juga dijelaskan dalam Al-Kafi, jilid 1, halaman 134 dengan penafsiran yang lain. Kitab-kitab irfan juga membahasnya dengan berbagai macam takwilan.
[7] Ats-Tsiqat, jilid 8, halaman 456. Kitab ini merupakan kitab muktabar di kalangan Ahlu Sunnah.
[8] Lihat: Mustadrak Al-Wasail, jilid 12, halaman 374.
[9] Kisahnya juga disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Tahdzib At-Tahdzib, jilid 7, halaman 339, Cetakan Dar Al-Fikr.
[10] Mu’jam Rijal Al-Kutub At-Tis’ah, jilid 3, halaman 85.
[11] Tadzkirah Al-Khawash, jilid 2, halaman 470.
[12] Mu’jam Rijal Al-Kutub At-Tis’ah, jilid 3, halaman 85.