Imam Ridha, “Putra Mahkota” yang Dipaksakan dan Diabaikan
Sebelas Dzulqadah 148 hijriah, seorang putra Imam Musa Kazhim lahir. Sang ibu yang bernama Tuktam setelah melahirkan putranya yang mulia ini, mendapatkan penghargaan sebuah nama untuk dirinya dari Sang Imam. Ialah Thahirah, yang artinya wanita suci.
Pada tahun 183, Imam Musa Kazhim syahid di dalam penjara Bagdad. Maka putranya yang bernama Ali bin Musa ini menggantikan sang ayah sebagai imam bagi umat Nabi saw, pada usia 35 tahun. Gelar ar-Ridha disandangnya, dan ia dipanggil dengan nama kuniahnya, Abul Hasan.
Imamahnya berlangsung selama duapuluh tahun. Para khalifah Abbasiah yang semasa dengannya antara lain: Harun Rasyid selama sepuluh tahun; Muhammad Amin selama lima tahun; dan Abdullah Mamun juga dalam waktu lima tahun.
Bagi para perebut kekhalifahan, baik yang dari Umayah maupun yang dari Abbasiyah, orang-orang yang paling mereka takuti adalah yang dipandang layak dan berhak atas kepemimpinan umat. Yaitu, putra-putra dari keluarga Ali bin Abi Thalib. Masyarakat pun mendapati semua keutamaan ada pada mereka ini. Mereka tak luput dari gangguan dan selalu menjadi siksaan dari pihak khalifah-khalifah masa mereka, hingga mereka mencapai kesyahidan.
Adapun Ma`mun, terkadang menampakkan simpati pada kesyiahan. Para pegawai “kantor” pemerintahannya kebanyakan adalah orang-orang Iran, yang cinta keluarga Ali dan para imam Syiah. Oleh karena itu, Ma`mun tidak bisa seperti para pendahulunya; Harun dan Mansur, yang menyakiti seorang imam dan sampai menjebloskannya ke dalam penjara mereka.
Imam Ridha Menangis di Pusara Suci Datuknya saw
Imam Ali Abul Hasan bin Musa ar-Ridha dari sejak lahir sampai masa awal imamahnya menetap di kota suci, Madinah. Ma`mun telah berencana akan membawa Imam Ridha ke Marw (wilayah Khurasan masa dahulu). Maka ia mengundang beliau bersama keluarga besar Ali bin Abi Thalib untuk datang ke pusat pemerintahan itu. Imam menolak undangannya. Namun pihak Ma`mun terus mendesaknya melalui surat kiriman dan balasan berulangkali.
Akhirnya Imam berangkat juga bersama rombongan dari keluarganya menuju Marw. Ma`mun mengutus algojonya -dikatakan ia bernama Raja` bin Abu Dhahak- untuk mengawal mereka. Pesannya, jangan sampai tidak menaruh hormat kepada kafilah ini, khususnya Ali bin Musa. Imam bukannya senang dengan perjalanan ini. Ekspresi yang tampak darinya di mata masyarakat adalah terpaksa.
Pada hari beliau akan berangkat meninggalkan Madinah, beliau mengumpulkan keluarganya dan berkata: “Aku tidak akan pulang kembali ke keluargaku!” Mereka pun menangis.
Imam masuk ke Masjid Nabi untuk berpamitan kepada Rasulullah saw. Tak cuma sekali, beberapa kali beliau berpamitan dengan pengaduan dan tangisan di sisi pusara Sang Datuk Nabi.
Makhul Sistani, seorang perawi hadis menyampaikan: Saat itu saya datang menemui Imam untuk mengucapkan selamat! Beliau berkata kepadanya, Makhul, jangan pikir aku baik-baik saja! Aku akan jauh dari sisi datukku, dalam keterasingan dan akan dikubur di dekat Harun! (Bihar al-Anwar, juz 49, hal 117).
Perjalanan kafilah Imam Ridha dari Madinah atas perintah Ma`mun- lewat Basrah, Ahwaz dan Fars. Mengapa mereka tidak melewati wilayah-wilayah seperti perbukitan (wilayah Barat Iran sampai Hamadan dan Qazwin), Kufah, Kermansyah dan Qom? Semua wilayah ini merupakan pusat-pusat komunitas Syiah. Hal inilah yang mungkin menjadi alasan pihak khalifah.
Posisi Putra Mahkota yang Tiada Guna
Sesampai di Marw, tepatnya tanggal 12 Syawal, Imam disambut hangat oleh Ma`mun sendiri, dan Fadhl bin Sahal serta para elit Abbasiyah. Beberapa hari kemudian, di satu pertemuan khusus dengan beliau, Ma`mun mengatakan akan menyerahkan kekhalifahannya kepadanya. Tetapi beliau dengan tegas menolaknya. Sampai Fadhal bin Sahal heran, Belum pernah aku melihat kekhalifahan tidak berharga di hari itu, bahwa Ma`mun menyerahkannya kepada Ali bin Musa. Tapi beliau menolaknya.
Ma`mun melihat penolakan ini, lalu mengatakan, Jika demikian, terimalah posisi sebagai putra mahkota! Posisi inipun ditolaknya. Ma`mun tidak terima alasan lagi dari Imam, bahkan berbicara keras yang mengandung ancaman terhadap beliau. Ia berdalih bahwa, Umar bin Khatab menjelang wafatnya telah menetapkan enam orang (pilihan), salah satunya adalah Amirul mu`minin Ali, dan pesannya: Siapapun yang melanggar akan dipenggal! Anda pun harus terima usulan saya. Karena saya tidak mendapati selain solusi ini!.
Lebih keras dari itu, Ma`mun berkata: Akan Anda lihat bila Anda menentang kehendak saya! Demi Tuhan, jika Anda menolaknya berarti Anda memaksa saya untuk menggunakan cara itu, dan Anda tak bisa lepas dari hal saya untuk membunuh Anda!”
Imam dengan terpaksa mengatakan: “Dengan syarat; semua urusan kekuasaan dan pemerintahan bukan urusan Saya, dan semua masalah manajeman kekhalifahan seperti pemecatan dan pengangkatan jabatan yudikatif, legislatif dan eksekutif di luar intervensi Saya!.”
Pada hari ketujuh bulan Ramadan, posisi putra mahkota dengan tanda tangan khalifah secara resmi diumumkan. Di balik kertas itu tertulis sebuah mukadimah dari Ali bin Musa, yang sarat dengan isyarat terkait posisi itu baginya. Tetapi dengan catatan dari beliau bahwa kedudukan ini tidak akan efektif baginya!.
Orang pertama -atas perintah khalifah- yang berbait kepadanya adalah Abbas bin Ma`mun, disusul oleh yang lainnya dari para pejabat dan bani Abbas. Posisi kehormatan bagi Imam itu, tentu menggembirakan para pecintanya. Namun Imam merasa sebaliknya, dan beliau mengungkapkan: Janganlah gembira! Jangan merasa senang dengan perkara yang tak kekal ini!.
Referensi:
Sire-e Pisywayan/Mahdi Pisywa`i.