Kebahagiaan: Tujuan Hidup atau Proses dalam Hidup?
Fardiana Fikria Qur’any– Dalam tulisan ini, ada dua hal yang ingin dibahas yaitu, tentang Bahagia itu sendiri dalam hubungannya dengan manusia dan letak kebahagiaan apakah pada apa yang dituju atau menjadi bagian dari proses kehidupan manusia itu sendiri. Dua hal ini adalah sesuatu yang terbesit begitu saja di benak setiap manusia ketika ia memikirkan dirinya dan kehidupannya.
Bahagia: Pengetahuan Langsung Manusia
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan bahagia sebagai suatu keadaan perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan).[1] Secara faktual, orang menunjuk kata bahagia yang berhubungan dengan salah satu dari alat pengetahuan manusia yang hati dan bahagia disebut sebagai perasaan yang berasal dari hati dan bukan merupakan hasil dari kreasi akal/rasional, bahkan tidak bisa direkayasa oleh akal sekalipun.
Falsafah Islam dalam epistemologinya mengklasifikasikan pengetahuan manusia menjadi dua berdasarkan proses pemerolehannya yaitu, pengetahuan hushuli dan pengetahuan hudhuri. pengetahuan hushuli adalah pengetahuan yang diperoleh melalui perantaraan konsep, sementara pengetahuan hudhuri adalah ilmu yang diperoleh tanpa melalui perantaran konsep melainkan pengetahuan langsung dirasakan yang salah-benarnya tidak dapat diberlakukan. Contoh dari pengetahuan hushuli adalah kegelasan yang didapatkan dari konsep gelas yang diperoleh dari pengamatan tentang realitas gelas. Adapun contoh dari pengetahuan hudhuri seperti rasa lapar, haus, ngantuk dan juga bahagia.
Ketika manusia memiliki pengetahuan yang berbeda satu sama lain, dengan demikian meniscayakan perbedaan alat pengetahuan yang berbeda dan sumber pengetahuan yang berbeda. Jika pengetahuan hushuli berhubungan dengan rasio manusia, maka pengetahuan hudhuri berhubungan dengan dzauq atau hati. Dua alat dan sumber berbeda ini memperlihatkan bahwa manusia seutuhnya memiliki semua alat pengetahuan ini. Menafikan salah satunya tetap tidak akan bisa menolak realitas pengetahuan langsung yang diperolehnya.
Perasaan-perasaan seperti bahagia, sedih, lapar dan haus tidak akan pernah lepas dari diri manusia itu sendiri. Perasaan ini tidak bisa diafirmasi secara empirik seperti realitas gelas pada contoh konsep gelas dan kegelasan. Oleh karena itu, dari sini kita bisa melihat bahwa manusia memiliki dua dimensi dalam dirinya yang keduanya jika dioptimalkan dapat menghantarkan manusia menuju tingkat kesempurnaannya sendiri.
Pengetahuan langsung ini yang kita sebut sebagai perasaan-perasaan memiliki andil besar dalam memengaruhi tindakan seseorang. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah kebahagiaan hanya menjadi sebuah tujuan yang tidak berhubungan dengan keseharian hidupnya atau kebahagiaan adalah sebuah proses kehidupan tak henti hingga mencapai puncak dari kebahagiaan itu sendiri.
Kebahagiaan: Teleos atau Proses
Kita harus membedakan antara bahagia dan kebahagiaan. Meski dua istilah ini berasal dari kata yang sama tetapi memiliki makna yang berbeda. Bahagia adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung tanpa perantaraan konsep. Rasa ini dapat dirasakan oleh semua umat manusia di belahan bumi manapun tanpa terkecuali. Sementara itu, kebahagiaan adalah rasa yang didefnisikan dan digambarkan. Ketika bahagia sudah didefinisikan, maka kebahagiaan menjadi pengetahuan hushuli bukan hudhuri lagi, meskipun pijakannya tetap pengetahuan bahagia secara hudhuri.
Bahagia dan kebahagiaan adalah dua hal yang berbeda. Yang satunya dirasa dan lainnya didefinisikan. Mendefinisikan adalah salah satu dari fungsi rasio yang membutuhkan data awal yang bersifat empirik maupun non empirik. Adapun data yang diperoleh setiap orang akan berbeda-beda tergantung pengalaman dan lingkungan di mana dia hidup dan besar, oleh karena itu konstruksi tentang kebahagiaanpun akan berbeda-beda pula.
Jika kita membaca diskursus tentang definisi kebahagiaan itu sudah ada sejak masa filosof Yunani Kuno. Aristoteles mendefinisikan kebahagiaan sebagai tujuan dari tindakan manusia. Istilah yang dikenal dari kebahagiaan Aristoteles adalah Eudamonia. Eudamonia bermakna kesempurnaan. Oleh karena itu, menurut Aristoteles segala upaya yang dilakukan manusia memiliki tujuan tertinggi yang disebutnya sebagai kesempurnaan jiwa atau jiwa yang berbahagia. Titik tekannya adalah bahwa kebahagiaan adalah tujuan dari manusia itu sendiri.[2]
Al-Ghazali mengklasifikasikan tingkatan kebahagiaan dari dua dimensi yaitu, kebahagian jasadi dan kebahagiaan batini (ruhani) dan kebahagiaan tertinggi adalah pada kebahagiaan dalam mengenal Allah SWT.[3]
Dari dua tokoh di atas kita bisa melihat adanya perbedaan kebahagiaan yang diletakkan sebagai tujuan dan ada yang diletakkan sebagai proses kehidupan. Pertanyaan yang muncul ketika kebahagiaan menjadi tujuan, maka apakah dalam proses mencapai tujuan itu manusia juga bahagia atau tidak. Dengan kata lain, apakah dalam proses mencapai kebahagiaan manusia bisa bahagia atau bisa menderita? Berbeda dengan kebahagiaan yang dijadikan sebagai tujuan, kebahagiaan sebagai sebuah proses mengandaikan bahagia itu sendiri ada dalam setiap tahapan dalam memperoleh tujuan tertinggi kebahagiaan itu sendiri.
Kita perlu merefleksikan kebahagiaan dari cermin bahagia yang kita rasakan. Konstruksi kebahagiaan adalah cermin dari perasaan bahagia yang dirasakan setiap orang. Kembali pada potensialitas diri manusia baik yang bersifat inderawi, rasio maupun dzauqi, maka di setiap potensi dan kebutuhan fitrawi manusia di sana ada kebahagiaan. Kebahagiaan inderawi adalah hal yang tidak bisa kita nafikan. Bersatu secara fisik dengan orang yang kita cintai adalah satu kebahagiaan tersendiri. Kebahagiaan rasional, orang yang mendapatkan ilmu juga memiliki kebahagiaan dan terakhir kebahagiaan dzauqi didapatkan jika hati mendapatkan pengetahuan langsung tentang diriNya ini pun satu kebahagiaan spiritual. Di setiap tahapan dalam memperoleh kebahagiaan hakiki juga terdapat kebahagiaan.
Oleh karena itu, kebahagiaan hakiki adalah tujuan, sedangkan dalam setiap proses juga ada kebahagiaan yang menghampiri.
[1] http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Bahagia dikutip pada 03 Juli 2022, pada pukul 10:39 WIB.
[2] Benito Cahyo Nugroho, Eudaimonia: Elaborasi Filosofis Konsep Kebahagiaan Aristoteles dan Yuval Noah Harari. Dikutip dari https://journal.unpar.ac.id pada Senin, 04 Juli 2022, pukul 12.08 WIB.
[3] Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan: Kitab Kimia Kebahagiaan, terj. Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 2014), hal. 9.