Kedudukan Ahlulbait dan Akal dalam Ijtihad
Oleh : Dr. Muhsin Labib ?
Akal dan Ahlulabait dalam mazhab Syiah Imamiah menempati posisi istimewa terutama dalam juresprudensi. Ahlulbait dipandang sebagai representasi dari supremasi teks suci (al-Qur’an dan hadis Nabi).
Sedangkan akal dipandang sebagai alat sekaligus sumber dalam juresprudensi. Dengan kata lain, sumber ijtihad dalam prespektif Syiah adalah al-Qur’an, Sunnah dan akal. Karena al-Qur’an merupakan titik temu yang tidak diperselisihkan kedudukannya dalam semua kelompok Islam, maka makalah ini hanya menyoroti peran Ahlulbait dan akal dalam ijtihad perspektif Syiah Imamiyah.
Satu Umat, Dua Cara Pandang
Ada dua golongan besar yang mengiringi kelahiran Islam. Salah satu golongan beranggapan bahwa periode nash (teks hukum yang absolut) berakhir dengan wafatnya Rasulullah saw. Mereka hanya mengakui Al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai sumber hukum yang mutlak, sedangkan sumber hukum setelahnya adalah pandangan-pandangan dan sikap para sahabat Nabi yang secara bertahap diberi legitimasi “sunnah para sahabat” (sunnah al-shahabah), yang harus diterima, sebagaimana yang ditegaskan oleh Syathibi.
Setiap sahabat melahirkan “ijtihad” yang berbeda-beda dan saling menggugurkan. Sejarah menjadi saksi, ketika para sahabat besar terlibat dalam konflik intelektual dan militer yang menelan banyak korban secara berkesinambungan, misalnya konflik Khalifah Abubakar dengan Malik bin Nuwairah al-Tamimi (yang berujung dengan penumpasan yang dikenal dengan Harb al-Riddah), Khalifah Umar dengan Khalid bin al-Walid, Khalifah Utsman bin Affan dengan Abu Zar dan konflik-konflik lainnya yang terlalu besar untuk ditutup-tutupi.
Peristiwa-peristiwa tersebut, tanpa memandang para pelakunya, merupakan skandal-skandal yang kelak pada generasi-generasi selanjutnya menjadi objek pertanyaan yang menggoyahkan kredibilitas dan kedudukan para pelakunya sebagai “sumber hukum” setelah Sunnah Nabi.
Karenanya, para ulama dari golongan pertama memberikan predikat “adil” kepada semua sahabat yang terlibat dalam kontroversi tersebut demi mempertahankan status keagamaan dan kredibilitas mereka selaku sumber hukum setelah Al-Quran dan Sunnah. Dengan demikian, usaha apapun untuk mempertahankan (apalagi mengoreksi) kasus mereka harus dicegah. Stigma negatif telanjur diberikan kepada siapa saja yang mengungkit dan mempertanyakan posisi benar dan salah mereka dalam konflik-konflik berdarah itu. Ibnu Ruslan dalam al-Zubad mempertegas hal itu dengan anjuran untuk diam dan tidak membicarakannya lagi, dan sebaliknya memastikan bahwa semuanya akan meraih pahala ijtihad.
Ada dua macam legitimasi yang diberikan untuk para sahabat. Legitimasi pertama berupa penyematan predikat ”pelaku ijtihad”, Legitimasi kedua berupa pemberian predikat ”adil” (udul, dalam bentuk pluralnya), bahwa semua sahabat adalah ’udul.
Karena wilayah kekuasaan umat Islam kian lebar, skup pergaulan dan komunikasi mereka makin luas, maka muncullah kasus-kasus dan masalah baru yang mesti diberi hukum yang jelas. Fenomena ini tampak dengan jelas pada akhir periode dinasti Umayah dan awal periode dinasti Abbasiyah (masa perebutan kekuasaan). Selain itu, kegelisahan mereka juga disebabkan oleh kenyataan tidak (belum) dibukukannya Sunnah Rasulullah.
Melihat situasi yang demikian itu, Umar bin Abdul Aziz mencabut kembali larangan pembukuan hadis. Dia memerintahkan seorang cendekiawan bernama al-Zuhri agar segera mendata dan menginventarisasi setiap riwayat dari Rasulullah saw yang masih tersisa. Zuhri pun melaksanakan perintah itu. Namun, mungkin karena tergesa-gesa dan tidak ada kesepakatan tentangnya, maka, sebagai pelengkap dan penambal, dibagikanlah wewenang berijtihad kepada setiap orang yang pernah hidup pada zaman sahabat.
Tidak terhindarkan lagi, periode tabi’in pun usai. Pada periode inilah para pelaku ijtihad dan sumber hukum terpecah menjadi dua kubu pemikiran yang bersaing ketat meraih pengikut.
Selanjutnya, muncullah empat aliran hukum besar yaitu: Al-Hanafiyah (aliran Abu Hanifah); Al-Malikiyah (aliran Malik bin Anas); Al-Syafi’yah (aliran Syafi’iy) dan Al-Hanbaliyah (aliran Ahmad bin Hanbal).
Boleh jadi, karena pada mulanya kriteria-kriteria mujtahid (bahkan konsep ijtihad sendiri) tidak jelas, maka muncullah kekhawatiran akan semakin membengkaknya jumlah mujtahid dengan berbagai penyelesaian dan fatwa. Kelak para murid empat tokoh aliran golongan pertama ini mengambil keputusan untuk menutup rapat-rapat pintu ijtihad bagi siapapun.
Namun, seiring dengan perjalanan daur zaman, penutupan pintu ijtihad ini pun ditentang. Munculnya gerakan Tajdid yang dipelopori oleh Muhammad Abduh hingga menyebar ke Indonesia yang memunculkan gerakan Muhammadiyah, makin semaraknya forum-forum bahts al-masa’il di sentra-sentra Islam tradisional, NU dan mencuatnya Jaringan Islam Liberal dapat dianggap sebagai bukti betapa ijtihad mesti dihidupkan kembali dan pintunya harus dibuka lebar guna menjawab tantangan zaman dan problematika kontemporer yang melahirkan ribuan kasus hukum.
Sedangkan golongan kedua beranggapan bahwa periode nash (teks hukum absolut) tidaklah berakhir dengan wafatnya Rasulullah saw. Bagi mereka sunnah bukanlah ucapan, tindakan dan sikap setuju yang hanya dilakukan Rasulullah saw saja, melainkan juga tiga belas figur maksum lainnya setelah beliau, yang diawali dari Ali bin Abi Thalib, dan berakhir dengan Muhammad bin Al-Hasan Al-Mahdi (termasuk Fatimah Az-Zahra putri Rasulullah saw).
Setiap sahabat melahirkan “ijtihad” yang berbeda-beda dan saling menggugurkan. Sejarah menjadi saksi, ketika para sahabat besar terlibat dalam konflik intelektual dan militer yang menelan banyak korban secara berkesinambungan, misalnya konflik Khalifah Abubakar dengan Malik bin Nuwairah al-Tamimi (yang berujung dengan penumpasan yang dikenal dengan Harb al-Riddah), Khalifah Umar dengan Khalid bin al-Walid, Khalifah Utsman bin Affan dengan Abu Zar dan konflik-konflik lainnya yang terlalu besar untuk ditutup-tutupi.
Peristiwa-peristiwa tersebut, tanpa memandang para pelakunya, merupakan skandal-skandal yang kelak pada generasi-generasi selanjutnya menjadi objek pertanyaan yang menggoyahkan kredibilitas dan kedudukan para pelakunya sebagai “sumber hukum” setelah Sunnah Nabi.
Karenanya, para ulama dari golongan pertama memberikan predikat “adil” kepada semua sahabat yang terlibat dalam kontroversi tersebut demi mempertahankan status keagamaan dan kredibilitas mereka selaku sumber hukum setelah Al-Quran dan Sunnah. Dengan demikian, usaha apapun untuk mempertahankan (apalagi mengoreksi) kasus mereka harus dicegah. Stigma negatif telanjur diberikan kepada siapa saja yang mengungkit dan mempertanyakan posisi benar dan salah mereka dalam konflik-konflik berdarah itu. Ibnu Ruslan dalam al-Zubad mempertegas hal itu dengan anjuran untuk diam dan tidak membicarakannya lagi, dan sebaliknya memastikan bahwa semuanya akan meraih pahala ijtihad.
Ada dua macam legitimasi yang diberikan untuk para sahabat. Legitimasi pertama berupa penyematan predikat ”pelaku ijtihad”, Legitimasi kedua berupa pemberian predikat ”adil” (udul, dalam bentuk pluralnya), bahwa semua sahabat adalah ’udul.
Karena wilayah kekuasaan umat Islam kian lebar, skup pergaulan dan komunikasi mereka makin luas, maka muncullah kasus-kasus dan masalah baru yang mesti diberi hukum yang jelas. Fenomena ini tampak dengan jelas pada akhir periode dinasti Umayah dan awal periode dinasti Abbasiyah (masa perebutan kekuasaan). Selain itu, kegelisahan mereka juga disebabkan oleh kenyataan tidak (belum) dibukukannya Sunnah Rasulullah.
Melihat situasi yang demikian itu, Umar bin Abdul Aziz mencabut kembali larangan pembukuan hadis. Dia memerintahkan seorang cendekiawan bernama al-Zuhri agar segera mendata dan menginventarisasi setiap riwayat dari Rasulullah saw yang masih tersisa. Zuhri pun melaksanakan perintah itu. Namun, mungkin karena tergesa-gesa dan tidak ada kesepakatan tentangnya, maka, sebagai pelengkap dan penambal, dibagikanlah wewenang berijtihad kepada setiap orang yang pernah hidup pada zaman sahabat.
Tidak terhindarkan lagi, periode tabi’in pun usai. Pada periode inilah para pelaku ijtihad dan sumber hukum terpecah menjadi dua kubu pemikiran yang bersaing ketat meraih pengikut.
Selanjutnya, muncullah empat aliran hukum besar yaitu: Al-Hanafiyah (aliran Abu Hanifah); Al-Malikiyah (aliran Malik bin Anas); Al-Syafi’yah (aliran Syafi’iy) dan Al-Hanbaliyah (aliran Ahmad bin Hanbal).
Boleh jadi, karena pada mulanya kriteria-kriteria mujtahid (bahkan konsep ijtihad sendiri) tidak jelas, maka muncullah kekhawatiran akan semakin membengkaknya jumlah mujtahid dengan berbagai penyelesaian dan fatwa. Kelak para murid empat tokoh aliran golongan pertama ini mengambil keputusan untuk menutup rapat-rapat pintu ijtihad bagi siapapun.
Namun, seiring dengan perjalanan daur zaman, penutupan pintu ijtihad ini pun ditentang. Munculnya gerakan Tajdid yang dipelopori oleh Muhammad Abduh hingga menyebar ke Indonesia yang memunculkan gerakan Muhammadiyah, makin semaraknya forum-forum bahts al-masa’il di sentra-sentra Islam tradisional, NU dan mencuatnya Jaringan Islam Liberal dapat dianggap sebagai bukti betapa ijtihad mesti dihidupkan kembali dan pintunya harus dibuka lebar guna menjawab tantangan zaman dan problematika kontemporer yang melahirkan ribuan kasus hukum.
Sedangkan golongan kedua beranggapan bahwa periode nash (teks hukum absolut) tidaklah berakhir dengan wafatnya Rasulullah saw. Bagi mereka sunnah bukanlah ucapan, tindakan dan sikap setuju yang hanya dilakukan Rasulullah saw saja, melainkan juga tiga belas figur maksum lainnya setelah beliau, yang diawali dari Ali bin Abi Thalib, dan berakhir dengan Muhammad bin Al-Hasan Al-Mahdi (termasuk Fatimah Az-Zahra putri Rasulullah saw).
Mengapa Mesti Ahlulbait?
Berdasarkan hadis-hadis mutawatir yang kesahihannya diakui oleh semua Muslim, Rasulullah saw telah mengabarkan kepada pengikut-pengikut beliau pada berbagai kesempatan bahwa beliau akan meninggalkan dua barang berharga dan bahwa jika kaum Muslim berpegang erat pada keduanya, mereka tidak akan tersesat setelah beliau tiada. Kedua barang berharga tersebut adalah Kitabullah dan Ahlulbait Nabi as.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dan juga dalam sumber-sumber lainnya, bahwa sepulang dari haji Wada’, Rasulullah saw berdiri berkhotbah di samping sebuah telaga yang dikenal sebagai Khum (Ghadir al-Khum) yang terletak antara Makkah dan Madinah. Kemudian beliau memuji Allah dan berzikir kepada-Nya, dan lalu bersabda: “Wahai manusia! Camkanlah! Rasanya sudah dekat waktunya aku hendak dipanggil (oleh Allah Swt), dan aku akan memenuhi panggilan itu. Camkanlah! Aku meninggalkan bagi kalian dua barang berharga. Yang pertama adalah Kitabullah, yang dalamnya terdapat cahaya dan petunjuk… Yang lainnya adalah Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku.
Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku (tiga kali).
Sebagaimana terlihat dalam hadis Shahih Muslim di atas, Ahlulbait tidak hanya ditempatkan berdampingan dengan al-Quran, tetapi juga disebutkan tiga kali oleh Nabi Muhammad saw.
Meskipun ada fakta bahwa penyusun Shahih Muslim dan ahli-ahli hadis Sunni lainnya telah mencatat hadis di atas dalam kitab-kitab Shahih mereka, disayangkan bahwa mayoritas Sunni tidak menyadari keberadaan Ahlulbait tersebut. Bahkan ada yang menolaknya sama sekali. Kontraargumen mereka adalah sebuah hadis yang lebih mereka pegangi yang dicatat oleh Hakim dalam al-Mustadrak-nya berdasarkan riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah berkata: “Aku tinggalkan di antara kalian dua barang yang jika kalian mengikutinya, kalian tidak akan tersesat setelahku: Kitabullah dan Sunnahku.”
Tak diragukan bahwa semua Muslim dituntut untuk mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw. Namun, pertanyaannya adalah Sunnah mana yang asli dan Sunnah mana yang dibuat-buat belakangan, dan Sunnah palsu mana yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw.
Menjejaki sumber-sumber laporan Abu Hurairah yang menyatakan hadis versi “Al-Quran dan Sunnah”, terbukti bahwa hadis itu tidak dicatat dalam enam koleksi hadis Sahih Sunni (Shihah as-Sittah). Tidak hanya itu, bahkan Bukhari, Nasa’i, Dzahabi dan masih banyak lainnya, menyatakan bahwa hadis ini adalah lemah karena sanadnya lemah. Mesti dicatat bahwa meskipun kitab milik Hakim adalah sebuah koleksi hadis Sunni yang penting, tetapi kitab ini dipandang lebih rendah dibandingkan dengan enam koleksi utama hadis-hadis Sunni. Sementara itu, Shahih Muslim (yang menyebutkan “Al-Quran dan Ahlulbait”) menempati urutan kedua dalam enam koleksi hadis Sunni tersebut.
Tirmidzi melaporkan bahwa hadis versi “Al-Quran dan Ahlulbait” terujuk pada lebih dari 30 sahabat. Ibnu Hajar Haitsami telah melaporkan bahwa dia mengetahui bahwa lebih dari 20 sahabat juga mempersaksikannya. Sementara versi “Al-Quran dan Sunnah” hanya dilaporkan oleh Hakim melalui hanya satu sumber. Jadi, mesti disimpulkan bahwa versi “Al-Quran dan Ahlulbait” adalah jauh lebih bisa dipegang. Lebih-lebih, Hakim sendiri juga menyebutkan versi “Al-Quran dan Ahlulbait” dalam kitabnya (Al-Mustadrak) melalui beberapa rantai otoritas (isnad), dan menegaskan bahwa versi “Al-Quran dan Ahlulbait” adalah hadis yang sahih sesuai berdasarkan kriteria yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim, hanya saja Bukhari tidak meriwayatkannya.
Lebih jauh, kata “Sunnah” sendiri tidak memberikan landasan pengetahuan. Semua Muslim, tanpa memandang kepercayaan mereka, mengklaim bahwa mereka mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw. Perbedaan di antara kaum Muslim muncul dari perbedaan jalur periwayatan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Sedangkan hadis-hadis tersebut bertindak sebagai penjelas atas makna-makna al-Quran, yang keasliannya disepakati oleh semua Muslim. Maka, perbedaan jalur periwayatan hadis – yang pada gilirannya mengantarkan pada perbedaan interpretasi atas al-Quran dan Sunnah Nabi – telah menciptakan berbagai versi Sunnah. Semua Muslim, jadinya terpecah ke dalam berbagai mazhab, golongan, dan sempalan, yang diyakini berjumlah sampai 73 golongan. Semuanya mengikuti Sunnah versi mereka sendiri yang mereka klaim sebagai Sunnah yang benar. Kalau demikian, kelompok mana yang mengikuti Sunnah Nabi? Golongan manakah dari 73 golongan yang cemerlang, dan akan tetap bertahan? Selain hadis yang disebutkan dalam Shahih Muslim di atas, hadis sahih berikut ini memberikan satu-satunya jawaban detail terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Rasulullah saw telah bersabda:
Aku tinggalkan di antara kalian dua “perlambang” yang berat dan berharga, yang jika kalian berpegang erat pada keduanya kalian tidak akan tersesat setelahku. Mereka adalah Kitabullah dan keturunanku, Ahlulbait-ku. Yang Pemurah telah mengabariku bahwa keduanya tidak akan berpisah satu sama lain hingga mereka datang menjumpaiku di Telaga (Surga).
Tentu saja, setiap Muslim harus mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw. Pengikut Ahlulbait tunduk kepada Sunnah asli yang betul-betul dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw dan meyakininya sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Akan tetapi, hadis yang telah disebutkan di atas memberikan bukti bahwa setiap apa yang disebut sebagai Sunnah, yang bertentangan dengan Ahlulbait, adalah bukan Sunnah yang asli, melainkan Sunnah yang diadakan belakangan oleh beberapa individu bayaran yang menyokong para tiran. Inilah basis pemikiran mazhab Syi’ah (mazhab Ahlulbait). Ahlulbait Nabi, yakni orang-orang yang tumbuh dalam keluarga Nabi, adalah orang yang lebih mengetahui tentang Sunnah Nabi dan pernik-perniknya dibandingkan dengan orang-orang selain mereka; sebagaimana dikatakan oleh pepatah: “Orang Makkah lebih mengetahui gang-gang mereka daripada siapapun selain mereka.”
Secara argumentatif, bila kita menerima kesahihan kedua versi hadis tersebut (Al-Quran-Ahlulbait dan Al-Quran-Sunnah), maka seseorang mesti tunduk kepada interpretasi bahwa kata “Sunnah-ku” yang diberikan oleh Hakim berarti Sunnah yang diturunkan melalui Ahlulbait dan bukan dari sumber selain mereka, sebagaimana yang tampak dari versi Ahlulbait yang diberikan oleh Hakim sendiri dalam Al-Mustadrak-nya dan oleh Muslim dalam Shahih-nya. Kini, marilah melihat hadis yang berikut ini:
Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda: “’Ali bersama al-Quran, dan al-Quran bersama ‘Ali. Mereka tidak akan berpisah satu sama lain hingga kembali kepadaku kelak di Telaga (di Surga).”
Hadis di atas memberikan bukti fakta bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan al-Quran adalah tidak terpisahkan. Jika kita menerima keotentikan versi “Quran dan Sunnah”, maka orang dapat menyimpulkan bahwa yang membawa Sunnah Nabi adalah Imam ‘Ali, sebab dialah orang yang diletakkan berdampingan dengan al-Quran.
Begitu juga dengan beberapa ayat Al Quran berikut:
1. Surah Al Ahzab 33 yang menunjukkan akan kesucian Ahlulbait, ” Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Siapa yang dimaksudkan dengan kata Ahlulbait dalam ayat tersebut? Nabi sendiri dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah menjelaskan, bahwa yang dimaksud adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husein yang diselimuti oleh Nabi dengan sebuah selimut dan kemudian dikenal dengan nama hadits Al Kisa’ yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya juz 6 Hal. 292, Tirmidzi dalam Sunan nya Juz 5 Hal. 30 Hadits No. 3258 dan Hakim dalam Mustadraknya Juz 2 Hal. 416.
2. Surah Al-Nisa’ 59 yang menjelaskan tentang kewajiban untuk taat kepada pemimpin yang diistilahkan dengan ”ulul amri” ” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Siapa mereka Ulul Amri yang ketaatannya disejajarkan dengan Allah dan Rasul? Maka jawabannya tidak mungkin seseorang yang masih mungkin untuk bersalah, namun harus benar atau maksum, dan pada ayat dan hadis sebelumnya telah dijelaskan siapa yang suci tersebut. Sebagaimana sebuah riwayat dalam kitab Yanabi’ul Mawaddah juga menjelaskan hal itu.
3. Al Maidah 55 yang menjelaskan wali (pemimpin) setelah Rasul, ”Sesungguhnya wali kalian adalah Allah, Rasul dan Mukmin yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat dalam keadaan rukuk”
Banyak mufassir yang menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan ayat di atas adalah Ali yang sedang rukuk dan menjulurkan tangannya untuk menyerahkan cincin di tangannya kepada sang peminta-peminta. Diantara yang menegaskan hal itu adalah Ibnu Katsir dalam Tafsir nya Juz 2 Hal. 64, Al Alusi dalam tafsirnya Ruhul Ma’aniy Juz 6 Hal. 168, Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya juz 4 Hal. 1162, Ath Thabariy dalam tafsir nya juz 6 hal 186, Jalaluddin As Suyuthi dalam tafsirnya Ad Durrul Mantsur Juz 3 Hal 105.
Antara Akal dan Teks: Identifikasi “Area Konflik” dalam Ranah Fikih
Perbedaan Syiah dan Sunni tidak hanya berkisar pada sumber teks pasca Nabi, namun juga pada pandangan masing-masing tentang kedudukan akal sebagai sumber ijtihad. Namun, sebagaimana terjadi perbedaan perlakuan terhadap akal dalam Ahlussunnah antara Ahlul-hadits dan Ahlul-ra’yi, kalangan Syiah juga terbelah jadi dua; Akhbariyun dan Ushuliyun dengan isu yang hampir mirip.
Sejarah pemikiran hukum mengungkapkan dua kecenderungan yang sama sekali bertentangan satu sama lain mengenai soal ini. Kecenderungan pertama menuntut adanya penggunaan akal dalam bidangnya yang luas, termasuk pemahaman-pema.haman akal tak sempurna sebagai satu sumber fundamental., untuk menetapkan validitas dalam berbagai bidang yang dipelajari oleh para ahli dalam IImu Ushul dan Ilmu Fiqh. Kecenderungan lainnya dengan tajam mengecam akal serta mencampakkannya dari kedudukannya sebagai satu sarana fundamental untuk membuktikan validitas. Kecenderungan kedua ini memandang al-bayan al-syar’i sebagai satu-satunya sarana yang bisa digunakan dalam proses deduksi.
Di antara kedua kecenderungan ekstrem ini, ada kecenderungan moderat ketiga yang diwakili oleh mayoritas kaum faqih dalam mazhab pemikiran Ahlul Bait. Kecenderungan ini meyakini – berlawanan dengan kecenderungan kedua yang disebutkan di atas – bahwa akal atau pemahaman akal merupakan satu sarana fundamental untuk membuktikan validitas, di samping al-bayan al-syar’i, tetapi bukan dengan cam yang tidak memenuhi syarat seperti yang dikemukakan oleh kecenderungan pertama, dan hanya dalam batas-batas di mana manusia mencapai kepuasan total serta pemahaman akal yang pasti, yang tidak ada kemungkinan untuk salah. Dengan demikian, setiap persepsi akal – yang masuk dalam kategori ini dan memberikan kepastian sempurna – merupakan sarana untuk membuktikan validitas. Hanya saja, pemahaman-pemahaman akal tak-sempurna – yang didasarkan pada kemungkinan dan tidak sanggup memberikan unsur kepastian – tidaklah valid sebagai sarana untuk membuktikan validitas unsur mana pun dalam proses deduksi.
Jadi, akal – menurut kecenderungan ketiga ini – adalah instrumen pengetahuan yang valid dan layak dijadikan pijakan serta mampu menentukan validitas, jika ia memang membuahkan pemahaman yang pasti atas fakta apa pun yang tidak diragukan lagi. Dengan demikian, tidak ada penolakan atas akal sebagai suatu instrumen pengetahuan, tidak pula ada sikap kelewat batas dalam mengandalkan akal manakala ia tidak mampu memberikan pemahaman yang pasti.
Kecenderungan moderat ini, yang diwakili oleh mayoritas para faqih dalam mazhab pemikiran Ahlul Bait, mengharuskan para faqih berjuang memerangi dua kelompok – yang sebagian melawan kecenderungan pertama yang dianut oleh al-Ra’yu (para eksponen pengguna penila.ian individual) di bawah pimpinan sekelompok ulama terkemuka dari masyarakat awam, dan yang lain melawan gerakan internal dalam barisan para fagih Imamiah yang diwakili oleh kaum tradisionis dan kaum Akhbari (para eksponen al-Hadits dan al-Khabar) dari kalangan ulama Syi’ah, yang dengan tajam mengkritik akal dan menyatakan bahwa al-bayan al-syar’i adalah satu-satunya sarana yang bisa digunakan untuk membuktikan validitas. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa perjuangan pertama adala.h melawan penggunaan akal yang tak memenuhi syarat dan yang kedua adalah perjuangan mempertahankan akal dengan cam yang memenuhi syarat.
Selama pertengahan abad kedua Hijriah, muncul satu mazhab pemikiran jurisprudensi (fiqh) yang dikenal sebagai mazhab pemikiran Ra’yu dan Ijtihad. Mazhab ini mengemukakan penggunaan akal (dalam artian luasnya, termasuk kemungkinan, dugaan dan pemikiran individual) sebagai satu instrumen dasar guna membuktikan validitas di samping al-bayan al-syari dan sebagai satu sumber fundamental bagi para faqih dalam proses deduksi hukum. Proses ini disebut ijtihad.
Yang terkemuka di antara mazhab ini atau di antara para pemimpinnya adalah Abu Hanifah (meninggal pada tahun 150 H). Diriwayatkan dari tokoh-tokoh terkemuka mazhab ini bahwa jika mereka tidak menemukan al-Bayan al-Syari apa pun yang menunjukkan hukum syariah tentang suatu masalah khusus, maka mereka akan mempelajari masalah itu dengan bantuan penilaian¬penilaian individual, dan dengan semua yang mereka pahami tentang kesesuaian dan kecocokan dengan pemikiran individual mereka, dan karena itu, mengutamakan satu pandangan atas pandangan lainnya. Kemudian, mereka akan mengeluarkan fatwa sesuai dengan dugaan-dugaan dan preferensi-preferensi (pengutama-an) mereka. Yang demikian ini mereka namakan istihsan atau ijtihad.
Sudah termasyhur bahwa Abu Hanifah adalah pemuka dalam bidang jurisprudensi (fiqh) ini. Dituturkan dari muridnya, Muhammad ibn Hasan, bahwa Abu Hanifah biasa berdebat dengan rekan rekannya dan mereka menuntut keadilan darinya serta menentangnya sampai dia berkata, “Ini adalah istihsan”; dan kemudian tak ada seorang pun menentangnya. Sebuah 1) pernyataan yang dituturkannya, di mana dia menguraikan metodologi deduksinya, berbunyi, “Aku mengikuti Kitab Allah (Al-Quran), jika aku menemukan teks di dalamnya. Jika tidak, aku akan mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. Akan tetapi, bila aku tidak menemukan teks daiam Al-Quran, maka aku akan menelusuri pendapat orang lain. Jika pendapat itu akhirnya berujung pada Sya’bi, Muhammad ibn Hasan atau Ibn Sirrin, maka aku pun berhak melakukan ijtihad seperti halnya mereka.”
Konsep dasar berdirinya mazhab pemikiran ini, dan digunakannya akal tak memenuhi syarat sebagai sarana, dasar untuk membuktikan validitas dari sebagai sumber deduksi hukum-hukum, adala,h gagasan yang lazim dijumpai dalam barisan mazhab itu, yang berbunyi, “al-bayan asy-Syari – sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Quran dan Sunnah – belumlah cukup dan hanya memuat hukum-hukum tentang sejumlah proposisi terbatas saja. Belumlah cukup hanya sekadar menetapkan hukum-hukum syariah mengenai berbagai proposisi dan masala.
Penyebaran gagasan di kalangan para faqih kelompok Sunni oleh kecenderungan mereka pada aliran pemikiran Sunni, yang di situ mereka meyakini bahwa al-Bayan al-Syar’i disuguhkan hanya dalam Al-Quran dan Sunnah yang diriwayatkan dari Rasul. Karena kesemuanya ini hanya mencukupi kebutuhan-kebutuhan parsial dalam deduksi, maka mereka pun berusaha memperbaiki situasi itu serta berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya dengan memperluas serta menyatakan prinsip ijtihad. Akan tetapi, para fagih dalam mazhab pemikiran Imamiah lantaran pandangan keagamaan mereka – berpandangan sebaliknya. Mereka meyakini bahwa al-Bayan al-Syar’i itu masih terus berlanjut dengan adanya para Imam. Dengan demikian, mereka tidak menemukan adanya motif moral bagi perluasan tak sah dalam wilayah akal.
Bagaimanapun juga, gagasan tentang tidak memadainya Al¬Quran dan Sunnah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan deduksi sudah menyebar, dan memainkan peran penting dalam pandangan intelektual dari banyak fagih serta dalam pandangan ekstrem mereka tentang akal.
Gagasan ini berkembang dan berangsur-angsur menjadi makin serius, sebab ia telah berubah dari menisbatkan kepada al-Bayan al-Syar’i (yakni, Al-Quran dan Sunnah). kekurangan, ketaksempurnaan serta tiadanya bukti bagi hukum-hukum yang berkaitan dengan banyak proposisi, lantas mulai menisbatkan kepada syariah itu sendiri segala kekurangan dan ketidakmampuan menangani berbagai aspek kehidupan. Jadi, masalahnya bukan lagi satu kekurangan dalam al-Bayan al-Syari dan dalam uraiannya, melainkan dalam syariah Ilahi itu sendiri. Dalil mereka atas kekurangan yang diduga ada dalam syariah ini adalah bahwa syariah belumlah menetapkan hukum bagi masalah lainnya yang belum diketahui kaum Muslim. Syariah telah mengemukakan hukum-hukum dan dalil-dalilnya melalui Al-Quran dan Sunnah agar keduanya ini diikuti dan menjadi undang-undang kehidupan umat Islam. Menurut kalangan umum, teks-teks Al-Quran dan Sunnah tidak memuat hukum-hukum tentang berbagai proposisi dan masalah.
Yang demikian itu menunjukkan kekurangan dan ketidaksempurnaan syariah, dan bahwa Allah menetapkan hanya sejumlah terbatas hukum-hukum dalam Islam. Inilah hukum-hukum yang diuraijelaskan dalam Al-Quran dan Sunnah. Akan halnya penetapan hukum dalam bidang-bidang lainnya, Allah menyerahkannya pada manusia, atau pada faqih khususnya, untuk menemukan hukum¬hukum atas dasar ijtihad dan deduksi, dengan syarat bahwa tak ada satu hukum. pun dari yang disebut terakhir ini boleh bertentangan dengan hukum-hukum terbatas syariah yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Kita telah melihat bahwa kecenderungan ekstrem mengenai akal ini adalah akibat dari penyebaran konsep tentang ketidaksempurnaan (dalam Al-Quran dan Sunnah) serta konotasi-konotasi yang berasal darinya. Ketiga gagasan ketaksempurnaan yang dinisbatkan pada al-Bayan al-Syari ini berkembang menjadi ketaksempurnaan yang dinisbatkan pada syariah itu sendiri, maka perkembangan ini pun terefleksi dalam bidang pemikiran Sunni. Hal ini menyebabkan timbulnya doktrin tentang Tashwib (menisbatkan kebenaran) di mana kecenderungan ekstrem mengenai akal tersebut mencapai batas terjauhnya.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dan juga dalam sumber-sumber lainnya, bahwa sepulang dari haji Wada’, Rasulullah saw berdiri berkhotbah di samping sebuah telaga yang dikenal sebagai Khum (Ghadir al-Khum) yang terletak antara Makkah dan Madinah. Kemudian beliau memuji Allah dan berzikir kepada-Nya, dan lalu bersabda: “Wahai manusia! Camkanlah! Rasanya sudah dekat waktunya aku hendak dipanggil (oleh Allah Swt), dan aku akan memenuhi panggilan itu. Camkanlah! Aku meninggalkan bagi kalian dua barang berharga. Yang pertama adalah Kitabullah, yang dalamnya terdapat cahaya dan petunjuk… Yang lainnya adalah Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku.
Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku (tiga kali).
Sebagaimana terlihat dalam hadis Shahih Muslim di atas, Ahlulbait tidak hanya ditempatkan berdampingan dengan al-Quran, tetapi juga disebutkan tiga kali oleh Nabi Muhammad saw.
Meskipun ada fakta bahwa penyusun Shahih Muslim dan ahli-ahli hadis Sunni lainnya telah mencatat hadis di atas dalam kitab-kitab Shahih mereka, disayangkan bahwa mayoritas Sunni tidak menyadari keberadaan Ahlulbait tersebut. Bahkan ada yang menolaknya sama sekali. Kontraargumen mereka adalah sebuah hadis yang lebih mereka pegangi yang dicatat oleh Hakim dalam al-Mustadrak-nya berdasarkan riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah berkata: “Aku tinggalkan di antara kalian dua barang yang jika kalian mengikutinya, kalian tidak akan tersesat setelahku: Kitabullah dan Sunnahku.”
Tak diragukan bahwa semua Muslim dituntut untuk mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw. Namun, pertanyaannya adalah Sunnah mana yang asli dan Sunnah mana yang dibuat-buat belakangan, dan Sunnah palsu mana yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw.
Menjejaki sumber-sumber laporan Abu Hurairah yang menyatakan hadis versi “Al-Quran dan Sunnah”, terbukti bahwa hadis itu tidak dicatat dalam enam koleksi hadis Sahih Sunni (Shihah as-Sittah). Tidak hanya itu, bahkan Bukhari, Nasa’i, Dzahabi dan masih banyak lainnya, menyatakan bahwa hadis ini adalah lemah karena sanadnya lemah. Mesti dicatat bahwa meskipun kitab milik Hakim adalah sebuah koleksi hadis Sunni yang penting, tetapi kitab ini dipandang lebih rendah dibandingkan dengan enam koleksi utama hadis-hadis Sunni. Sementara itu, Shahih Muslim (yang menyebutkan “Al-Quran dan Ahlulbait”) menempati urutan kedua dalam enam koleksi hadis Sunni tersebut.
Tirmidzi melaporkan bahwa hadis versi “Al-Quran dan Ahlulbait” terujuk pada lebih dari 30 sahabat. Ibnu Hajar Haitsami telah melaporkan bahwa dia mengetahui bahwa lebih dari 20 sahabat juga mempersaksikannya. Sementara versi “Al-Quran dan Sunnah” hanya dilaporkan oleh Hakim melalui hanya satu sumber. Jadi, mesti disimpulkan bahwa versi “Al-Quran dan Ahlulbait” adalah jauh lebih bisa dipegang. Lebih-lebih, Hakim sendiri juga menyebutkan versi “Al-Quran dan Ahlulbait” dalam kitabnya (Al-Mustadrak) melalui beberapa rantai otoritas (isnad), dan menegaskan bahwa versi “Al-Quran dan Ahlulbait” adalah hadis yang sahih sesuai berdasarkan kriteria yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim, hanya saja Bukhari tidak meriwayatkannya.
Lebih jauh, kata “Sunnah” sendiri tidak memberikan landasan pengetahuan. Semua Muslim, tanpa memandang kepercayaan mereka, mengklaim bahwa mereka mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw. Perbedaan di antara kaum Muslim muncul dari perbedaan jalur periwayatan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Sedangkan hadis-hadis tersebut bertindak sebagai penjelas atas makna-makna al-Quran, yang keasliannya disepakati oleh semua Muslim. Maka, perbedaan jalur periwayatan hadis – yang pada gilirannya mengantarkan pada perbedaan interpretasi atas al-Quran dan Sunnah Nabi – telah menciptakan berbagai versi Sunnah. Semua Muslim, jadinya terpecah ke dalam berbagai mazhab, golongan, dan sempalan, yang diyakini berjumlah sampai 73 golongan. Semuanya mengikuti Sunnah versi mereka sendiri yang mereka klaim sebagai Sunnah yang benar. Kalau demikian, kelompok mana yang mengikuti Sunnah Nabi? Golongan manakah dari 73 golongan yang cemerlang, dan akan tetap bertahan? Selain hadis yang disebutkan dalam Shahih Muslim di atas, hadis sahih berikut ini memberikan satu-satunya jawaban detail terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Rasulullah saw telah bersabda:
Aku tinggalkan di antara kalian dua “perlambang” yang berat dan berharga, yang jika kalian berpegang erat pada keduanya kalian tidak akan tersesat setelahku. Mereka adalah Kitabullah dan keturunanku, Ahlulbait-ku. Yang Pemurah telah mengabariku bahwa keduanya tidak akan berpisah satu sama lain hingga mereka datang menjumpaiku di Telaga (Surga).
Tentu saja, setiap Muslim harus mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw. Pengikut Ahlulbait tunduk kepada Sunnah asli yang betul-betul dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw dan meyakininya sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Akan tetapi, hadis yang telah disebutkan di atas memberikan bukti bahwa setiap apa yang disebut sebagai Sunnah, yang bertentangan dengan Ahlulbait, adalah bukan Sunnah yang asli, melainkan Sunnah yang diadakan belakangan oleh beberapa individu bayaran yang menyokong para tiran. Inilah basis pemikiran mazhab Syi’ah (mazhab Ahlulbait). Ahlulbait Nabi, yakni orang-orang yang tumbuh dalam keluarga Nabi, adalah orang yang lebih mengetahui tentang Sunnah Nabi dan pernik-perniknya dibandingkan dengan orang-orang selain mereka; sebagaimana dikatakan oleh pepatah: “Orang Makkah lebih mengetahui gang-gang mereka daripada siapapun selain mereka.”
Secara argumentatif, bila kita menerima kesahihan kedua versi hadis tersebut (Al-Quran-Ahlulbait dan Al-Quran-Sunnah), maka seseorang mesti tunduk kepada interpretasi bahwa kata “Sunnah-ku” yang diberikan oleh Hakim berarti Sunnah yang diturunkan melalui Ahlulbait dan bukan dari sumber selain mereka, sebagaimana yang tampak dari versi Ahlulbait yang diberikan oleh Hakim sendiri dalam Al-Mustadrak-nya dan oleh Muslim dalam Shahih-nya. Kini, marilah melihat hadis yang berikut ini:
Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda: “’Ali bersama al-Quran, dan al-Quran bersama ‘Ali. Mereka tidak akan berpisah satu sama lain hingga kembali kepadaku kelak di Telaga (di Surga).”
Hadis di atas memberikan bukti fakta bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan al-Quran adalah tidak terpisahkan. Jika kita menerima keotentikan versi “Quran dan Sunnah”, maka orang dapat menyimpulkan bahwa yang membawa Sunnah Nabi adalah Imam ‘Ali, sebab dialah orang yang diletakkan berdampingan dengan al-Quran.
Begitu juga dengan beberapa ayat Al Quran berikut:
1. Surah Al Ahzab 33 yang menunjukkan akan kesucian Ahlulbait, ” Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Siapa yang dimaksudkan dengan kata Ahlulbait dalam ayat tersebut? Nabi sendiri dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah menjelaskan, bahwa yang dimaksud adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husein yang diselimuti oleh Nabi dengan sebuah selimut dan kemudian dikenal dengan nama hadits Al Kisa’ yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya juz 6 Hal. 292, Tirmidzi dalam Sunan nya Juz 5 Hal. 30 Hadits No. 3258 dan Hakim dalam Mustadraknya Juz 2 Hal. 416.
2. Surah Al-Nisa’ 59 yang menjelaskan tentang kewajiban untuk taat kepada pemimpin yang diistilahkan dengan ”ulul amri” ” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Siapa mereka Ulul Amri yang ketaatannya disejajarkan dengan Allah dan Rasul? Maka jawabannya tidak mungkin seseorang yang masih mungkin untuk bersalah, namun harus benar atau maksum, dan pada ayat dan hadis sebelumnya telah dijelaskan siapa yang suci tersebut. Sebagaimana sebuah riwayat dalam kitab Yanabi’ul Mawaddah juga menjelaskan hal itu.
3. Al Maidah 55 yang menjelaskan wali (pemimpin) setelah Rasul, ”Sesungguhnya wali kalian adalah Allah, Rasul dan Mukmin yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat dalam keadaan rukuk”
Banyak mufassir yang menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan ayat di atas adalah Ali yang sedang rukuk dan menjulurkan tangannya untuk menyerahkan cincin di tangannya kepada sang peminta-peminta. Diantara yang menegaskan hal itu adalah Ibnu Katsir dalam Tafsir nya Juz 2 Hal. 64, Al Alusi dalam tafsirnya Ruhul Ma’aniy Juz 6 Hal. 168, Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya juz 4 Hal. 1162, Ath Thabariy dalam tafsir nya juz 6 hal 186, Jalaluddin As Suyuthi dalam tafsirnya Ad Durrul Mantsur Juz 3 Hal 105.
Antara Akal dan Teks: Identifikasi “Area Konflik” dalam Ranah Fikih
Perbedaan Syiah dan Sunni tidak hanya berkisar pada sumber teks pasca Nabi, namun juga pada pandangan masing-masing tentang kedudukan akal sebagai sumber ijtihad. Namun, sebagaimana terjadi perbedaan perlakuan terhadap akal dalam Ahlussunnah antara Ahlul-hadits dan Ahlul-ra’yi, kalangan Syiah juga terbelah jadi dua; Akhbariyun dan Ushuliyun dengan isu yang hampir mirip.
Sejarah pemikiran hukum mengungkapkan dua kecenderungan yang sama sekali bertentangan satu sama lain mengenai soal ini. Kecenderungan pertama menuntut adanya penggunaan akal dalam bidangnya yang luas, termasuk pemahaman-pema.haman akal tak sempurna sebagai satu sumber fundamental., untuk menetapkan validitas dalam berbagai bidang yang dipelajari oleh para ahli dalam IImu Ushul dan Ilmu Fiqh. Kecenderungan lainnya dengan tajam mengecam akal serta mencampakkannya dari kedudukannya sebagai satu sarana fundamental untuk membuktikan validitas. Kecenderungan kedua ini memandang al-bayan al-syar’i sebagai satu-satunya sarana yang bisa digunakan dalam proses deduksi.
Di antara kedua kecenderungan ekstrem ini, ada kecenderungan moderat ketiga yang diwakili oleh mayoritas kaum faqih dalam mazhab pemikiran Ahlul Bait. Kecenderungan ini meyakini – berlawanan dengan kecenderungan kedua yang disebutkan di atas – bahwa akal atau pemahaman akal merupakan satu sarana fundamental untuk membuktikan validitas, di samping al-bayan al-syar’i, tetapi bukan dengan cam yang tidak memenuhi syarat seperti yang dikemukakan oleh kecenderungan pertama, dan hanya dalam batas-batas di mana manusia mencapai kepuasan total serta pemahaman akal yang pasti, yang tidak ada kemungkinan untuk salah. Dengan demikian, setiap persepsi akal – yang masuk dalam kategori ini dan memberikan kepastian sempurna – merupakan sarana untuk membuktikan validitas. Hanya saja, pemahaman-pemahaman akal tak-sempurna – yang didasarkan pada kemungkinan dan tidak sanggup memberikan unsur kepastian – tidaklah valid sebagai sarana untuk membuktikan validitas unsur mana pun dalam proses deduksi.
Jadi, akal – menurut kecenderungan ketiga ini – adalah instrumen pengetahuan yang valid dan layak dijadikan pijakan serta mampu menentukan validitas, jika ia memang membuahkan pemahaman yang pasti atas fakta apa pun yang tidak diragukan lagi. Dengan demikian, tidak ada penolakan atas akal sebagai suatu instrumen pengetahuan, tidak pula ada sikap kelewat batas dalam mengandalkan akal manakala ia tidak mampu memberikan pemahaman yang pasti.
Kecenderungan moderat ini, yang diwakili oleh mayoritas para faqih dalam mazhab pemikiran Ahlul Bait, mengharuskan para faqih berjuang memerangi dua kelompok – yang sebagian melawan kecenderungan pertama yang dianut oleh al-Ra’yu (para eksponen pengguna penila.ian individual) di bawah pimpinan sekelompok ulama terkemuka dari masyarakat awam, dan yang lain melawan gerakan internal dalam barisan para fagih Imamiah yang diwakili oleh kaum tradisionis dan kaum Akhbari (para eksponen al-Hadits dan al-Khabar) dari kalangan ulama Syi’ah, yang dengan tajam mengkritik akal dan menyatakan bahwa al-bayan al-syar’i adalah satu-satunya sarana yang bisa digunakan untuk membuktikan validitas. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa perjuangan pertama adala.h melawan penggunaan akal yang tak memenuhi syarat dan yang kedua adalah perjuangan mempertahankan akal dengan cam yang memenuhi syarat.
Selama pertengahan abad kedua Hijriah, muncul satu mazhab pemikiran jurisprudensi (fiqh) yang dikenal sebagai mazhab pemikiran Ra’yu dan Ijtihad. Mazhab ini mengemukakan penggunaan akal (dalam artian luasnya, termasuk kemungkinan, dugaan dan pemikiran individual) sebagai satu instrumen dasar guna membuktikan validitas di samping al-bayan al-syari dan sebagai satu sumber fundamental bagi para faqih dalam proses deduksi hukum. Proses ini disebut ijtihad.
Yang terkemuka di antara mazhab ini atau di antara para pemimpinnya adalah Abu Hanifah (meninggal pada tahun 150 H). Diriwayatkan dari tokoh-tokoh terkemuka mazhab ini bahwa jika mereka tidak menemukan al-Bayan al-Syari apa pun yang menunjukkan hukum syariah tentang suatu masalah khusus, maka mereka akan mempelajari masalah itu dengan bantuan penilaian¬penilaian individual, dan dengan semua yang mereka pahami tentang kesesuaian dan kecocokan dengan pemikiran individual mereka, dan karena itu, mengutamakan satu pandangan atas pandangan lainnya. Kemudian, mereka akan mengeluarkan fatwa sesuai dengan dugaan-dugaan dan preferensi-preferensi (pengutama-an) mereka. Yang demikian ini mereka namakan istihsan atau ijtihad.
Sudah termasyhur bahwa Abu Hanifah adalah pemuka dalam bidang jurisprudensi (fiqh) ini. Dituturkan dari muridnya, Muhammad ibn Hasan, bahwa Abu Hanifah biasa berdebat dengan rekan rekannya dan mereka menuntut keadilan darinya serta menentangnya sampai dia berkata, “Ini adalah istihsan”; dan kemudian tak ada seorang pun menentangnya. Sebuah 1) pernyataan yang dituturkannya, di mana dia menguraikan metodologi deduksinya, berbunyi, “Aku mengikuti Kitab Allah (Al-Quran), jika aku menemukan teks di dalamnya. Jika tidak, aku akan mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. Akan tetapi, bila aku tidak menemukan teks daiam Al-Quran, maka aku akan menelusuri pendapat orang lain. Jika pendapat itu akhirnya berujung pada Sya’bi, Muhammad ibn Hasan atau Ibn Sirrin, maka aku pun berhak melakukan ijtihad seperti halnya mereka.”
Konsep dasar berdirinya mazhab pemikiran ini, dan digunakannya akal tak memenuhi syarat sebagai sarana, dasar untuk membuktikan validitas dari sebagai sumber deduksi hukum-hukum, adala,h gagasan yang lazim dijumpai dalam barisan mazhab itu, yang berbunyi, “al-bayan asy-Syari – sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Quran dan Sunnah – belumlah cukup dan hanya memuat hukum-hukum tentang sejumlah proposisi terbatas saja. Belumlah cukup hanya sekadar menetapkan hukum-hukum syariah mengenai berbagai proposisi dan masala.
Penyebaran gagasan di kalangan para faqih kelompok Sunni oleh kecenderungan mereka pada aliran pemikiran Sunni, yang di situ mereka meyakini bahwa al-Bayan al-Syar’i disuguhkan hanya dalam Al-Quran dan Sunnah yang diriwayatkan dari Rasul. Karena kesemuanya ini hanya mencukupi kebutuhan-kebutuhan parsial dalam deduksi, maka mereka pun berusaha memperbaiki situasi itu serta berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya dengan memperluas serta menyatakan prinsip ijtihad. Akan tetapi, para fagih dalam mazhab pemikiran Imamiah lantaran pandangan keagamaan mereka – berpandangan sebaliknya. Mereka meyakini bahwa al-Bayan al-Syar’i itu masih terus berlanjut dengan adanya para Imam. Dengan demikian, mereka tidak menemukan adanya motif moral bagi perluasan tak sah dalam wilayah akal.
Bagaimanapun juga, gagasan tentang tidak memadainya Al¬Quran dan Sunnah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan deduksi sudah menyebar, dan memainkan peran penting dalam pandangan intelektual dari banyak fagih serta dalam pandangan ekstrem mereka tentang akal.
Gagasan ini berkembang dan berangsur-angsur menjadi makin serius, sebab ia telah berubah dari menisbatkan kepada al-Bayan al-Syar’i (yakni, Al-Quran dan Sunnah). kekurangan, ketaksempurnaan serta tiadanya bukti bagi hukum-hukum yang berkaitan dengan banyak proposisi, lantas mulai menisbatkan kepada syariah itu sendiri segala kekurangan dan ketidakmampuan menangani berbagai aspek kehidupan. Jadi, masalahnya bukan lagi satu kekurangan dalam al-Bayan al-Syari dan dalam uraiannya, melainkan dalam syariah Ilahi itu sendiri. Dalil mereka atas kekurangan yang diduga ada dalam syariah ini adalah bahwa syariah belumlah menetapkan hukum bagi masalah lainnya yang belum diketahui kaum Muslim. Syariah telah mengemukakan hukum-hukum dan dalil-dalilnya melalui Al-Quran dan Sunnah agar keduanya ini diikuti dan menjadi undang-undang kehidupan umat Islam. Menurut kalangan umum, teks-teks Al-Quran dan Sunnah tidak memuat hukum-hukum tentang berbagai proposisi dan masalah.
Yang demikian itu menunjukkan kekurangan dan ketidaksempurnaan syariah, dan bahwa Allah menetapkan hanya sejumlah terbatas hukum-hukum dalam Islam. Inilah hukum-hukum yang diuraijelaskan dalam Al-Quran dan Sunnah. Akan halnya penetapan hukum dalam bidang-bidang lainnya, Allah menyerahkannya pada manusia, atau pada faqih khususnya, untuk menemukan hukum¬hukum atas dasar ijtihad dan deduksi, dengan syarat bahwa tak ada satu hukum. pun dari yang disebut terakhir ini boleh bertentangan dengan hukum-hukum terbatas syariah yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Kita telah melihat bahwa kecenderungan ekstrem mengenai akal ini adalah akibat dari penyebaran konsep tentang ketidaksempurnaan (dalam Al-Quran dan Sunnah) serta konotasi-konotasi yang berasal darinya. Ketiga gagasan ketaksempurnaan yang dinisbatkan pada al-Bayan al-Syari ini berkembang menjadi ketaksempurnaan yang dinisbatkan pada syariah itu sendiri, maka perkembangan ini pun terefleksi dalam bidang pemikiran Sunni. Hal ini menyebabkan timbulnya doktrin tentang Tashwib (menisbatkan kebenaran) di mana kecenderungan ekstrem mengenai akal tersebut mencapai batas terjauhnya.
Kesimpulan
Betapa perbedaan dalam memahami dan menerima sumber ijtihad meniscayakan perbedaan dalam produk-produk ijtihad, yaitu fatwa dan hukum-hukum fikih, yang meliputi tatacara shalat, puasa dan lainnya. Pebedaan ini mestinya bisa dimaklumi oleh para ulama dan pengkaji dari kedua kelompok besar Islam, Sunni dan Syiah. Namun, di mata masyarakat awam, perbedaan dalam praktik ibadah, (yang sebenarnya hanyalah konsekuensi perbedaan dalam menentukan sumber sumber setelah al-Qur’an dan Sunnah) sering dipandang sebagai alasan untuk bermusuhan dan merawat kebencian. Ironisnya, tidak sedikit orang yang dikenal ulama malah tak lelah memukulkan palu vonis “sesat”, “kafir” dan “syirik” kepada sesama Muslim karena berbeda dalam memilih sumber ijtihadnya. Padahal mestinya, dipahami bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah satu. Hanya saja, ada dua atau lebih cara pandang terhadapnya yang meniscayakan perbedaan dalam sejumlah produk istinbath-nya.
Allah Swt berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia:
· Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku. (QS. al-Anbiya:92).
· Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. (QS. at-Taubah:71).
Dari Ibnu Abbas dari Nabi saw, beliau bersabda, “Kaum Muslim sederajat darahnya, mereka adalah tangan bagi yang lainnya, mereka harus melindungi sesama mereka dan harus menjaga silaturahmi di antara mereka.”
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan tidak beriman kalian hingga kalian saling mengasihi. Serendah-rendahnya sesuatu yang kalian lakukan adalah kalian saling menjauhi. Sebarkanlah salam di antara kalian.”
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. (QS. Al-An’am:159).
Akhirnya, kita mesti deklarasikan bahwa Muslim Syiah dan Muslim Sunni adalah realitas yang determinan. Mazhab Sunni dan mazhab Syiah laksana oksigen dan hidrogen yang membentuk air, bagaikan dua sayap bagi rajawali. Keduanya adalah sebuah prasasti kerja intelektual para pemikir yang harus dicermati, dikritisi dan diapresiasi, dan tidak semestinya didikotomikan.
Usaha-usaha apapun untuk menolaknya baik dengan provokasi, selebaran atau penistaan baik secara akademik (menggunakan dalil sepihak) maupun non akademik (retorika sarkastik) terhadap masing-masing ajaran dan para tokoh-tokohnya hanya akan menguntungkan pihak-pihak eksternal, terutama sentra-sentra hegemoni yang kapitalistik dan sekular.
Lebih dari itu, memaksakan “satu Islam” kepada semua penganut Islam yang terpencar dalam berbagai mazhab dan pandangan tentulah menyalahi watak toleransi Islam. Obsesi seseorang atau suatu kelompok terhadap yang “satu” hanya mungkin dilakukan lewat pemaksaan, seringkali lewat kekuasaan senjata, dan tindakan ini menyalahi konsepsi Islam yang dasar. Dengan kata lain, menginginkan ‘satu pemahaman tentang Islam’ adalah utopia dan anarkisme! Karena itulah, pluralisme sebagai sikap sosial harus didukung. Wallahu a’lam.
Allah Swt berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia:
· Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku. (QS. al-Anbiya:92).
· Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. (QS. at-Taubah:71).
Dari Ibnu Abbas dari Nabi saw, beliau bersabda, “Kaum Muslim sederajat darahnya, mereka adalah tangan bagi yang lainnya, mereka harus melindungi sesama mereka dan harus menjaga silaturahmi di antara mereka.”
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan tidak beriman kalian hingga kalian saling mengasihi. Serendah-rendahnya sesuatu yang kalian lakukan adalah kalian saling menjauhi. Sebarkanlah salam di antara kalian.”
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. (QS. Al-An’am:159).
Akhirnya, kita mesti deklarasikan bahwa Muslim Syiah dan Muslim Sunni adalah realitas yang determinan. Mazhab Sunni dan mazhab Syiah laksana oksigen dan hidrogen yang membentuk air, bagaikan dua sayap bagi rajawali. Keduanya adalah sebuah prasasti kerja intelektual para pemikir yang harus dicermati, dikritisi dan diapresiasi, dan tidak semestinya didikotomikan.
Usaha-usaha apapun untuk menolaknya baik dengan provokasi, selebaran atau penistaan baik secara akademik (menggunakan dalil sepihak) maupun non akademik (retorika sarkastik) terhadap masing-masing ajaran dan para tokoh-tokohnya hanya akan menguntungkan pihak-pihak eksternal, terutama sentra-sentra hegemoni yang kapitalistik dan sekular.
Lebih dari itu, memaksakan “satu Islam” kepada semua penganut Islam yang terpencar dalam berbagai mazhab dan pandangan tentulah menyalahi watak toleransi Islam. Obsesi seseorang atau suatu kelompok terhadap yang “satu” hanya mungkin dilakukan lewat pemaksaan, seringkali lewat kekuasaan senjata, dan tindakan ini menyalahi konsepsi Islam yang dasar. Dengan kata lain, menginginkan ‘satu pemahaman tentang Islam’ adalah utopia dan anarkisme! Karena itulah, pluralisme sebagai sikap sosial harus didukung. Wallahu a’lam.
DISKUSI: