Keseimbangan dalam Bertindak adalah Akhlak Hasanah
Imam Ja`far ash-Shadiq berkata: “Orang berakal adalah orang yang memiliki agama. Dan barangsiapa yang mempunyai agama maka ia akan masuk surga.”
Naluri merupakan kekuatan yang fitri yang akan menuntun kehendak hewan untuk bekerja. Naluri tampak pada diri manusia dalam bentuk berbagai kecenderungan dan keinginan. Oleh karena itu, akhlak psikologis dalam wujudnya berhutang dalam wujudnya pada naluri sebelum ia berhutang pada tradisi (kebiasaan). Sebab, naluri merupakan faktor pertama yang mendorong terbentuknya perbuatan (tindakan), sedangkan tradisi merupakan faktor kedua dalam pengulangan perbuatan tersebut. Naluri menaburkan benih etika (akhlak) dalam jiwa untuk menumbuhkan tradisi, sedangkan naluri membantu tujuan yang akan dicapai oleh kehendak yang kemudian disertai oleh tradisi sehingga terbentuklah akhlak.
Adalah hal yang jelas bahwa manusia berbeda-beda dalam mengikuti kecenderungan naluri. Sebagian mereka mengikutinya melalui perbuatan-perbutannya dengan cara berlebih-lebihan (ifroth) dan sebagian lain kurang menempatkannya sebagaimana semestinya (tafrith). Kemudian bila perbuatan mereka sering diulang, maka akan menumbuhkan kebiasaan yang menyimpang (salah) dimana kebiasaan itu akan membentuk akhlak yang tidak baik.
Ada sekelompok manusia yang bersikap seimbang dalam mengikuti kecenderungan-kecenderungan ini sehingga tercipta pada diri mereka suatu kebiasaan yang seimbang, dimana mereka mencari darinya akhlak yang lurus. Adalah hal yang jelas bahwa naluri ini tidak menjadikan manusia patuh sepenuhnya terhadap apa yang diperintahkannya atau apa yang dilarangnya. Sekiranya demikian, maka derajat manusia tidak lebih tinggi dari binatang. Jadi, perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang melampaui batas keseimbangan atau kewajaran adalah perbuatan yang tidak baik, dan akhlak yang mereka bangun karena pengulangan perbuatan ini adalah akhlak yang tercela. Kalau begitu, penyakit akhlak ini adalah penyimpangan dan kesehatannya adalah keseimbangan dan kebenaran.
Para pakar akhlak ortodok berpendapat bahwa manusia mempunyai empat kekuatan yang mereka namakan dengan gambaran batin manusia. Keempat kekuatan tersebut ialah kekuatan akal (quwwatul `aqli), kekuatan amal (quwwatul `amal), kekuatan hawa nafsu (quwwatus syahwah) dan kekuatan emosional (quwwatul ghadhab). Mereka mengatakan bahwa empat kekuatan ini merupakan sendi-sendi akhlak dimana darinya-lah cabang-cabang lainnya disandarkan. Melalui keseimbangan dari setiap kekuatan ini akan menghasilkan salah satu dari keutamaan yang empat tersebut yang mereka namakan puncak keutamaan (ummah^atul fadh^oil) atau keutamaan yang pokok (al- fadh^oil ar-ra’isiyyah). Sedangkan lawan atau anonim dari setiap keutamaan ini adalah dua sifat tercela yang berasal dari penyimpangan kekuatan sampai pada batas berlebihan (ifrath) atau kurang dari yang semestinya (tafrith). Dan penyimpangan ini tidak akan pernah terjadi kecuali bila dominasi akal terhadap kekuatan-kekuatan tersebut telah melemah dan pengaruhnya dalam mengendalikannya mulai menurun.
Sebagian kekuatan saat itu akan menyimpang dan keserakahan pun ikut memberontak, namun ia tidak akan mencapai tujuannya kecuali jika menggunakan kekuatan amal. Setelah ia tidak mengetahui sebab-sebab keberhasilan, kini ia butuh pada mursyid (pembimbing) yang membentangkan jalan baginya dan mampu menyingkirkan segala kendala yang mencegahnya untuk mencapai tujuan. Kekuatan akal tidak berperan dalam mendukung orang yang lalim atau penguasa dan tidak membantunya untuk mencapai tujuan-tujuannya meskipun ia mengalami kelemahan dan meskipun dengannya penguasa tersebut mencapai kekuatan, kecuali bila akal menjadi bodoh dan ilmu berubah menjadi kebodohan.
Jadi, kekuatan yang ekstrem itu hanyalah kekuatan ilusi (quwwatul wahm) yang mampu menciptakan tipu daya dan merancang berbagai alasan dimana ia memanfaatkannya untuk kekuatan amal, sehingga apa yang diinginkannya akan tercapai.
Akal melihat ketidakstabilan ini dengan pandangan kritis yang jernih dan mendorong yang bersangkutan untuk lompat (lari) dan kelemahannya menghentikannya untuk berbenturan dengan kekuatan yang tak dapat ditandinginya, sehingga memaksanya untuk mengunci mulut alias diam. Oleh karena itu, orang yang lemah harus memelankan suaranya di hadapan kekuatan, lalu terjadilah penyimpangan akhlak dan jiwa pun menurun (melemah) secara drastis dalam sifat-sifatnya.
Lemahnya kekuatan sangat mempengaruhi buruknya akhlak dan penyimpangan malakah yang bahayanya tidak kalah dari ifrath dalam kekuatan. Orang yang lemah akan merasa kurang dan tidak akan mencapai kesempurnaan. Sekiranya kelemahan berhenti pada batas ini—meskipun keadilan tidak dapat diharapkan dari musuh yang licik—maka ini akan berakhir pada batas yang lebih jauh lagi. Sehingga yang bersangkutan merasa kurang dan jiwanya merasa senang dengannya, bahkan ia membayangkan bahwa kelemahan adalah bagian dari kekuatan dan kekurangan sebagai kesempurnaan, dan pada gilirannya keadaan ini akan membentuk berbagai malakah.
Dan kadang-kadang keseimbangan yang positif (adil) dalam kekuatan justru akan melahirkan sikap yang proporsional dalam akhlak dan keadilan jiwa. Hanya saja, keseimbangan ini akan terbentuk bila dominasi akal telah mencakup semua naluri dan kendali kekuatan tunduk kepada kekuasaannya, sehingga ia yang menjadi pengatur dan merdeka (bebas) dalam mengendalikan kekuasaannya. Dan dalam mengatur kerajaan kecil ini, akal mempunyai berbagai sistem yang terkadang disalahkan oleh direktur kerajaan yang luas (mudir mamlakah w^asi`ah). Di balik kekuatan-kekuatan dan naluri-naluri ini, akal tidak mempunyai tentara-tentara lain yang mampu meredam pemberontak dan menundukkan penentang. Namun dengan kekuasaannya, akal dapat mengadu sebagian kekuatan dengan kekuatan yang lain. Misalnya, akal menundukkan kekuatan syahwat dengan kekuatan emosi atau sebaliknya, dan ia pun meminta bantuan aturan syariat dan tradisi masyarakat dalam hal itu.