Konsep Ketuhanan dalam qur’an
Sebelum kami sebutkan ayat-ayat tentang ketuhanan dalam Qur;an, perlu terlebih dahulu dijelaskan bahwa Qur’an tidak pernah melarang manusia menggunakan akal, bahkan Qur’an menganjurkannya untuk menggunakan akal, seperti ayat yang berbunyi,“Sungguh, Kami turunkan Al-Qur’an dengan (berbahasa) Arab, agar kalian berpikir.”
Banyak lagi ayat-ayat lainnya yang diakhiri dengan kalimat “afala ta’qilun, afala ta’lamun, atau afala yafqahun.”Selain itu, Qur’an menganggap orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang, “Mereka memiliki akal, tetapi mereka tidak memahami (berpikir). Mereka mempunyai mata, tapi mereka tidak melihat dan mereka mempunyai telinga, tetapi mereka tidak mendengar. Mereka bagaikan binatang, bahkan lebih rendah dari binatang. Mereka adalah orang-orang yang lengah.”
Al-Qur’an sendiri meminta kepada manusia untuk menguji kebenaran dirinya dengan akal,
“Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an. Sekiranya ia bukan dari Allah, pasti mereka mendapatkan perselisihan yang banyak di dalamnya.”
Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang telah meyakini wujud Allah, namun mereka masih ragu apakah Al-Qur’an itu kalamullah atau bukan. Karenanya Allah berfirman, “Sekiranya Al-Qur’an bukan dari Allah, maka pasti mereka menemukan perselisihan yang banyak di dalamnya.” Oleh karena dalam Qur’an tidak ditemukan perselisihan antara satu dengan yang ayat yang lain, maka ia benar-benar dari Allah swt. Argumentasi semacam ini dalam istilah para ahli mantiq (logika) disebut dengan Qiyas Istitsna’i.
Mari kita perhatikan metode-metode yang digunakan dalam Qur’an untuk membuktikan keberadaan Tuhan yang Maha Kuasa,
A. Ayat-ayat Fitrah
Qur’an meyakini bahwa masalah Tauhid atau ketuhanan merupakan bagian dari fitrah manusia, sehingga tidak perlu lagi dicarikan dalilnya. Ada beberapa ayat Qur’an yang mengajak manusia agar kembali ke fitrah ketuhanan yang berada dalam diri setiap manusia., seperti ayat,
1- “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama sebagai fitrah Allah, yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan (fitrah) Allah.”
Ayat ini menjelaskan bahwa beragama merupakan fitrah manusia atau bagian dari fitrah manusia yang tidak akan pernah berubah. Muhammad Taqi Mishbah, seorang filusuf Islam dalammengomentari ayat ini menyatakan bahwa ada dua penafsiran yang dapat diambil dari ayat ini. Pertama bahwa ayat ini ingin menjelaskan tentang prinsip-prinsip agama, seperti Tauhid dan Hari Akhir, dan hukum-hukum agama secara global, seperti membantu orang-orang miskin dan menegakkan keadilan, sebagai sesuatu yang bersifat fitri. Kedua bahwa tunduk kepada Allah swt itu mempunyai akar yang kuat dalam diri manusia, karena manusia secara fitrah cenderung mencintai sesuatu yang sempurna mutlak. Atau dengan kata lain penafsiran pertama mengatakan bahwa mengenal agama adalah fitrah, sedangkan penafsiran kedua menyatakan bahwa yang fitri itu adalah ketergantungan, kecintaan dan menyembah kepada Yang Sempurna.
2- “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak-anak Adam keturunan mereka dan mengambil kesaksian dari mereka atas diri mereka sendiri, Bukankah Aku ini Tuhan kalian ? Seraya mereka menjawab, Benar (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi. (Hal ini Kami lakukan), agar di hari kiamat nanti kalian tidak mengatakan, Sesungguhnya kami lengah atas ini (wujud Allah).”
Dalam ayat tersebut dikatakan, bahwa setiap manusia sebelum lahir ke muka bumi ini pernah dimintai kesaksiannya atas wujud Tuhan, dan mereka menyaksikan atau mengenal-Nya dengan baik. Kemudian, hal itu mereka bawa terus hingga lahir ke dunia. Oleh karena itu, manusia betapapun dia besar, kuat dan kaya, namun dia tetap tidak dapat mengingkari bahwa dirinya tidak memiliki wujud dirinya sendiri dan tidak dapat berdiri sendiri dalam mengurus segala urusannya. Sekiranya dia memiliki dirinya sendiri, niscaya dia dapat mengatasi berbagai kesulitan dan kematian. Dan sekiranya dia pun berdiri sendiri dalam mengurus segala urusannya, maka dia tidak akan membutuhkan fasilitas-fasilitas alam.
Kesadaran akan ketidakberdayaan dan ketergantungan manusia kepada yang lain, merupakan bagian dari fitrah (ciptaan) manusia. Jadi, selamanya manusia membutuhkan dan bergantung kepada yang lain. Dan dia tidak akan mendapatkan tempat bergantung yang sempurna, kecuali Tuhan. Itulah yang dinamakan fitrah bertuhan (fitrah ilahiyah).
Selanjutnya ayat tersebut menyatakan bahwa dengan dibekalinya manusia (dengan) fitrah, maka ia tidak punya alasan untuk mengingkari wujud Tuhan. Menurut Taqi Mishbah bahwa pengetahuan dan pengakuan manusia akan Allah, dalam ayat tersebut merupakan pengetahuan yang sifatnya hudhuri-syuhudi dan bukan hushuli.
3- ’’Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai anak-anak Adam, agar kalian tidak menyembah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata. Dan sembahlah Aku. Itulah jalan yang lurus.”
Sebagian ulama, seperti Muthahhari berpendapat bahwa perintah ini terjadi di alam sebelum alam dunia dan dijadikan sebagai bukti bahwa mengenal Tuhan adalah sebuah fitrah.
4- “Dikala mereka menaiki kapal, mereka berdoa (memanggil) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun, ketika Allah menyelematkan ke daratan, mereka kembali berbuat syirik.”
Ayat ini menjelaskan bahwa fitrah bertuhan (baragama) itu mengalami pasang surut dalam diri manusia. Biasanya fitrah itu muncul saat manusia merasa dirinya tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan. Dalam kitab tafsir Namuneh disebutkan bahwa kesulitan dan bencana dapat menjadikan fitrah tumbuh, karena cahaya tauhid tersimpan dalam jiwa setiap manusia. Namun, fitrah itu sendiri bisa tertutup disebabkan oleh tradisi dan tingkah laku yang menyimpang atau pendidikan yang keliru. Lalu ketika bencana dan kesulitan dari berbagai arah menimpanya, sementara dia tidak berdaya menghadapinya, maka pada saat seperti itu dia berpaling kepada Sang Pencipta.
Oleh karena itu para ahli ma’rifat dan hikmah meyakini bahwa dalam suatu (keberadaan) Tuhan muncul kembali.
B. Ayat-ayat Àfâqî
Selain menegaskan bahwa masalah tauhid adalah fitrah, Al-Qur’an juga berusaha mengajak manusia berpikir dengan akalnya, bahwa di balik terciptanya alam raya dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya terdapat bukti adanya Sang Pencipta. Menurut Allamah al Hilli, para ulama dalam upaya membuktikan wujud Sang Pencipta menggunakan dua pembuktian. Salah satunya adalah pembuktian âfâqî. Pembuktian ini membuktikan wujud Allah melalui fenomena alam yang tidak lepas dari hukum kausalitas, seperti yang diisyaratkan dalam ayat ini,
“Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di alam raya ini (âfâq) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia itu benar (Haq).
Misalnya ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memiliki akal.”
Atau ayat yang berbunyi,
‘’Sesungguhnya pada pergantian malam dan siang dan apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertakwa.”
Kedua, ayat-ayat tentang keunikan berbagai ragam binatang. Diantaranya ayat yang berkenaan dengan kehidupan lebah,
“Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pada pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari berbagai buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan. Lalu dari perut lebah tersebut akan keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Padanya terdapat obat untuk manusia. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir.”
Kemudian selain ayat-ayat fitrah dan ayat-ayat tentang âfâqî, Qur’an juga menjelaskan tentang ketuhanan melalui pendekatan rasional, di antaranya,
1- “Seandainya di langit dan di bumi terdapat beberapa Tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan rusak.”
Dalam ilmu mantiq, argumentasi seperti ini disebut dengan Qiyas Istitsnâ’i. ayat ini ingin membuktikan bahwa Tuhan itu tidak berbilang. Dia Esa dab Tunggal. Dalilnya adalah jika Tuhan itu berbilang, maka akan terjadi kehancuran dan kerusakan pada ala mini sejaka awal. Alam ini tidak akan teratur dan tidak mempunyai keseimbangan. Namun, pada kenyataannya alam raya ini teratur dan seimbang, maka Tuhan itu tidak berbilang. Dalil ini disebut oleh para teolog dan filosof Islam dengan dalil tamânu’.
2- “Tidaklah Allah mempunyai anak dan tidak pula ada Tuhan di samping-Nya. (Karena jika mempunyai anak dan ada Tuhan selain-Nya), maka masing-masing Tuhan akan membawa ciptaan-Nya sendiri dan sebagian akan lebih unggul dari sebagian lainnya.”
Ayat ini juga menggunakan jenis argumentasi yang sama dengan ayat sebelumnya. Maksud ayat ini ialah bahwa jika Tuhan itu banyak, maka masing-masing dari mereka mempunyai ciptaan sendiri-sendiri sebagai bukti kekuasaannya, dan mereka akan mengaturnya sesuai dengan kemauan mereka. Tiada yang dapat memaksa dan menghalangi kemauan mereka.
Jika ada satu Tuhan yang mengalah atau dikalahkan kemauannya oleh yang lainnya, maka dia sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan harus Maha Kuat dan Maha Kuasa yang tidak mungkin terkalahkan.
Lebih jelas lagi, jika Tuhan itu banyak maka mampukah sebagian mengalahkan yang lainnya ? Jika dapat mengalahkan, maka yang tuhan kalah bukan tuhan. Tapi jika tidak dapat mengalahka, maka tuhan yang tidak bisa mengalahkan tuhan yang lain sebenarnya bukanlah Tuhan, karena Tuhan adalah Maha Mampu.
3- “Katakanlah, seandainya terdapat beberapa Tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka yakini, niscaya mereka mencari jalan menuju Tuhan, Pemilik Arsy.”
Ayat ini juga menggunakan pendekatan yang sama dengan dua ayat sebelumnya, yaitu qiyas istitsna’i. Thabathaba’i dalam mengomentari ayat ini berkata, “Kesimpulan dalil ini ialah bahwa jika terdapat beberapa Tuhan di samping Allah Ta’ala, sebagaimana yang mereka yakini dan setiap tuhan dapat meraih apa yang dimiliki-Nya, maka setiap tuhan ingin berkuasa dan akan menyingkirkan-Nya, sehingga mereka akan lebih berkuasa. Lantaran keinginan untuk berkuasa merupakan ciri dari segala sesuatu yang wujud. Namun tiada satupun yang dapat melakukan hal itu. .
Dalam ayat tersebut disinggung kata-kata Arsy sebagai tempat yang sangat agung dan tinggi, serta merupakan lambang kebesaran dan kekuasaan yang paling tinggi. Mereka pasti ingin menguasainya sebagai bukti kebesaran mereka.
4- “Katakanlah, Tidakkah kalian perhatikan, jika Allah jadikan untuk kalian malam terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepada kalian ? Maka apakah kalian tidak mendengar ?” “Katakanlah, Tidakkah kalian renungkan, jika Allah jadikan untuk kalian siang terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepada kalian untuk beristirahat ? Tidakkah kalian perhatikan ?”
Kedua ayat ini dengan tegas membantah kaum musyrikin yang menganggap patung-patung sebagai Tuhan. Andaikan patung-patung itu Tuhan, maka mereka harus bisa mengubah hukum alam ini, karena Tuhan adalah Dzat yang Maha Kuasa.
5- “Ibrahim berkata, Sesungguhnya Allah mendatangkan (menerbitkan) matahari dari ufuk timur, maka terbitkanlah ia dari ufuk barat ? Maka terdiamlah orang kafir.”
Ayat ini menceritakan perdebatan antara Nabi Ibrahim as. dengan Raja Namrud yang mengaku sebagai Tuhan. Beliau ingin mematahkan argumen Namrud, dengan cara menyuruhnya agar memperlihatkan kekuasaan dan keperkasaannya dengan menerbitkan matahari dari ufuk barat bukan dari ufuk timur. Permintaan Nabi Ibrahim as. seperti ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh Raja Namrud, sehingga tampak jelas di mata khalayak banyak bahwa Raja Namrud bukan Tuhan semesta alam.
Nabi Ibrahim as. dikenal sebagai seorang Nabi yang bijak dan cerdas, yang sering memojokkan lawan bicaranya dengan argumentasi yang sederhana namun mematikan, sehingga lawan bicaranya dibuat tidak berkutik.
Qur’an juga mengutip perdebatan Nabi Ibrahim dengan orang-orang musyrik surat
Al-Anbiya ayat 62 sampai ayat 65.
6- “Sungguh telah kafir orang-orang yang meyakini, bahwa Tuhan itu adalah Al-Masih putera Maryam. Katakanlah, Maka siapakah yang dapat menahan Allah, jika hendak mematikan Al-Masih putera Maryam dan ibunya atau seluruh yang hidup di muka bumi ini ?”
Keyakinan trinitas atau menuhankan Nabi Isa as. sudah ada sejak zaman diturunkannya Qur’an, bahkan jauh sebelum turunnya Qur’an. Ayat ini ingin menyatakan bahwa Isa Al-Masih as. bukanlah Tuhan, tapi seorang manusia pilihan Allah, dan ketika Allah swt. hendak mematikan al Masih, adakah yang bisa mencegah kehendakNya?. Kaum Nashrani sendiri meyakini bahwa Al-Masih pernah meninggal lalu bangkit kembali. Kenyataan ini menunjukan bahwa Al-Masih itu tidak lain dari ciptaan Allah semata, karena ciri khas Tuhan adalah kekal dan sejati.
7- “(Tuhan) Pencipta langit dan bumi, bagaimana mungkin Dia mempunyai putera, padahal Dia tidak beristri ? Dia telah menciptakan sesuatu dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
8- “Wahai manusia, kalian adalah faqir (membutuhkan) kepada Allah, sementara Allah adalah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Kata faqir berarti sesuatu atau seorang yang tidak mempunyai apa-apa. Allah swt. ingin menegaskan bahwa manusia itu benar-benar faqir. Artinya ia benar-benar membutuhkan kepada Allah swt. dalam segala perkara dan keadaan. Sedangkan kata al-Ghani berarti yang tidak membutuhkan apapun. Sifat ghani hanya ada pada Allah saja. Jadi hanya Allah sajalah yang tidak membutuhkan apa-apa. Ketidak membutuhkan apa-apa (al-ghina) kepada yang lain, merupakan ciri khas Tuhan semesta alam.
9- “Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Tampak dan Yang Tersembunyi dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Termasuk keMaha Sempurnaan Allah adalah bahwa Dia yang paling pertama dan terdahulu sehingga tiada yang lebih dahulu dari-Nya. Akan tetapi, pada saat yang sama Dia yang paling akhir, sehingga tiada yang lebih akhir dari-Nya.
Demikian pula, Dia yang paling tampak dan jelas, dan tiada yang lebih jelas dari-Nya, akan tetapi pada saat yang sama Dia yang Tersembunyi. Semua itu ada pada-Nya, karena Dialah prima kausa untuk segala sesuatu, dan tidak tergantung kepada selain-Nya (al-ghani), sementara segala sesuatu selain-Nya bergantung kepada-Nya dalam segala keadaan (al-faqir).
10- “Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.”
Ayat ini meski ringkas ingin menjelaskan tentang haqiqat wujud Allah swt.dan bahwa tiada satupun yang menyerupai Allah dalam segala hal, karena andaikan ada sesuatu yang menyerupai Allah, maka Dia bukan lagi Maha Esa. Dia sangat jauh dan berbeda dengan makhluk-Nya. Tetapi pada saat yang sama, Dia sangat dekat dengan makhluk-Nya, karena makhluk merupakan bagian dari wujud-Nya dan dalam liputan-Nya. []