Kritik Disertasi “Kesatuan Mistis Dalam Filsafat Illuminasi”(Bagian Akhir)
Critical Review
Secara umum, pada Bab ini sudah memenuhi standar pengenalan tentang pemikiran Hikmah al-Isyrâq Suhrawardi dan biografi dari sang pengarang, metode penulisannya pun sangat sistematis. Namun dalam biografi perlu dilengkapi tanggal kelahiran Suhrawardi dalam tahun Hijriah, yakni Suhrawardi lahir pada 549 H dan meninggal pada tahun 587 H.
Di samping itu, Suhrawardi perlu diperkenalkan sebagai filosof reformis yang mengubah tradisi filsafat dan seorang pemikir yang memiliki pandangan-pandangan yang inovatif. Dengan mengkritisi filsafat Ibn Sina dan filsafat Masyâ’i (Peripatetik), Suhrawardi menunjukkan hikmah atau filsafat yang telah direformasi. Tidak cukup sampai di situ, Suhrawardi kemudian, mendirikan Hikmah al-Isyrâq. Filsafat yang digagasnya bersumber dari kedalaman sejarah pemikiran Barat dan Timur dan tersirat pandangan dunia para nabi. Kadang Suhrawardi menamakan hikmah dengan sebutan “khamirah muqaddasah”, terkadang “khutab ‘azhîm” dan dalam tempat yang lain ia menyebutnya “Isyrâq”.[1]
Saat menjelaskan suasana pemikiran pra-Suhrawardi, Ahmad Asmuni menggunakan istilah Islam Sunni (ketika menguraikan stagnasi pemikiran filosofis di masyarakat Sunni) dan Islam Sy’iah (takkala menjelaskan tradisi filsafat yang telah mengakar dan membudaya di masyarakat Syi’ah). Yang perlu penulis kritisi adalah Ahmad Asmuni tidak menjelaskan alasan naqli dan ‘aqli terhadap istilah Islam Sunni[2] dan Islam Syi’ah.[3]
- Critical Review Bab III (Filsafat Illuminasi Hikmah al-Isyrâq Suhrawardi)
Ahmad Asmuni membuka bab tiga dengan menjelaskan sumber ajaran Suhrawardi. Dan yang mempengaruhi ajaran Suhrawardi adalah:
- Pemikiran Hermes (Nabi Idris)
- Ajaran Persia Kuno (Zoroaster)
- Filosof Yunani
- Filosof Islam
- Para Mistikus Islam
Tidak ada yang salah atas uraian dan analisa Ahmad Asmuni tentang sumber-sumber yang mempengaruhi ajaran Suhrawardi di atas, tapi perlu ditambahkan bahwa selain itu, al-Qur’an al-Karim dan Sunah Nabi saw serta ilhâmat dan mukâsyafat bâtini Suhrawardi—sebagaimana ditegaskannya sendiri—juga termasuk sumber-sumber utama ajarannya.[4]
- VI. Critical Review Bab IV (Kesatuan Mistis dan Pengalaman Uniter)
- Landasan Ontologis Kesatuan MIstis: Ilmu Hudhȗri
- Tingkatan-tingkatan Kesatuan Mistis
- Tercapainya Kesatuan Mistis dan Realitas Pengalaman Uniter
Ahmad Asmuni memulai bab keempat dengan membahas landasan ontologis kesatuan mistis, yaitu ilmu hudhȗri. Meskipun ilmu hudhȗri dibahas secara agak bertele-tele (lebih dari lima belas halaman), namun sesuatu yang luput dari pembahasan ilmu hudhȗri di sini adalah tidak adanya penjelasan secara jelas tentang (Ahmad Asmuni hanya mengisyaratkan sebagian kriterianya saja) karakter atau kreteria ilmu hudhȗri dan anonimnya, ilmu hushȗli.
Adapun ilmu hudhȗri memiliki karakter/kriteria sebagai berikut:
- Dalam ilmu hudhȗri, kita berhadapan dengan dua pilar: yang memahami dan yang dipahami, sedangkan dalam ilmu hushȗli kita bertemu dengan tiga pokok: yang memahami dan yang dipahami serta perantara (mediasi), yaitu mafhȗm atau shȗrah (rupa).
- Untuk perwujudannya, tidak ada intervensi pada daya/kekuatan khusus, namun seseorang yang memahami akan merasakan realita dirinya atau realita sesuatu yang dipahami.[5]
- Tidak dapat dibagi, berbeda dengan ilmu hushȗli.
- Terjadi kesatuan/kemanunggalan antara ilmu, ‘âlim dan ma’lȗm pada realitas satu wujud.[6]
- Ilmu hudhȗri tidak bisa salah, sebab ia merupakan ejawantah dari realitas yang disaksikan.
- Tidak bisa dipindahkan kepada orang lain.
Sedangkan ilmu hushȗli memiliki kriteria sebagai berikut:
- Ada kesesuaian dengan universalitas
- Dapat dibagi dalam kategori tashawwur dan tashdîq.
- Dapat dihukumi dengan sesuai realitas atau tidak. Dengan kata lain, bisa sehat (utuh) dan juga bisa sakit (rusak).
- Memiliki tiga sendi: yang memahami dan yang dipahami serta perantara (mediasi), yaitu mafhȗm atau shȗrah (rupa).
- Rentan terhadap kesalahan
Suhrawardi dalam pelbagai karyanya menerima klasifikasi dan kriteria ilmi hudhȗri dan ilmu hushȗli ini namun beliau mengubahnya dengan sebutan hikmah bahtsi dan dzauqi. Dan hikmah bahtsi adalah makrifat hushȗli dan hikmah dzauqi adalah ilmu hudhȗri.[7]
Ahmad Asmuni menjabarkan dengan baik berbagai pandangan Syihab ad-Din Yahya al-Suhrawardi seputar kesatuan mistis dalam Filsafat Illuminasi. Sayangnya, Ahmad Asmuni tidak membandingkannya dengan pandangan filosof yang berlawanan, utamanya Filsafat Peripatetik dan Filsafat Hikmah al-Muta’âliyah. Ini mungkin bisa dimaklumi karena dari semula Ahmad Asmuni tidak bermaksud melakukan komparasi antara kesatuan mistis dalam Filsafat Iluminasi dan Filsafat Peripatetik atau Filsafat Hikmah al-Muta’âliyah. Namun menurut hemat penulis, penelitian disertasi ini akan tampak semakin kaya dan lengkap bila dilakukan perbandingan pada trilogi filsafat yang sering diposisikan berhadap-hadapan, yaitu Filsafat Illuminasi, Peripatetik dan Filsafat Hikmah al-Muta’âliyah.
VII. Critical Review Bab V (Penutup)
- Kesimpulan
- Saran.
Esensi yang disampaikan pada bab ini adalah jawaban dari seluruh pertanyaan yang ia ajukan pada pokok permasalahan pada bab I. Ahmad Asmuni juga memberi saran konstruktif di bidang Filsafat Illuminasi bagi peneliti selanjutnya.
Kesimpulan
Filsafat Isyrâq yang memadukan antara rasio (akal) dan tahdzîb nafs (suluk batin) mampu menemukan jati diri manusia yang hilang dan menyatukannya kembali dengan Nur al-Anwâr, Dzat Ahadiyyah Allah. Manusia berasal dari cahaya Ilahiah dan akan kembali dalam haribaan dan pelukan Cahaya Segala Cahaya. Dan setelah manusia melalui dan merasakan tingkatan kesatuan (tawhid), sehingga mencapai jenjang tawhid tertinggi, yaitu jenjang “Wa kull Syay’halik illa wajhahu”, di sinilah ia menikmati tahapan kebisuan yang tak terlukiskan; di sinilah semua hubungan kemanusiaan telah diputuskan dan di sinilah ciri eksistensi temporal di dalam jiwa telah dilenyapkan.
Ahmad Asmuni sebagai peneliti Filsafat Isyrâq, khususnya pada masalah yang berhubungan dengan kesatuan manusia dengan al-Haqq (Allah), dinilai dapat menyelesaikan dan menyampaikan hasil penelitiannya dengan baik. Namun, kekurangan yang didapati dalam disertasi ini, membuka ide baru bagi peneliti sesudahnya untuk lebih melengkapi metodologi yang sudah diterapkan di dalam disertasi ini.
Penelitian ini dapat membuka wacana baru bagi masyarakat agar dapat lebih memahami tauhid ‘ârif dan sufi secara komprehensif dan dari sumber yang muktabar, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dan tuduhan miring. Tauhid yang dikembangkan dan diajarkan ‘urâfa seperti Suhrawardi bukan hanya tidak bertentangan dengan syariat, bahkan sejatinya—setelah kita pahami dengan baik dan benar—ia adalah manifestasi tauhid yang dalam, agung dan hakiki..
Disertasi ini berhasil menjawab persoalan konsep kesatuan mistis dan landasan ontologisnya, jenjang kesatuan mistis, dan fase-fase yang ditempuh dalam pengalaman uniter menurut Syihab ad-Din Yahya al-Suhrawardi. Di samping itu, permasalahan tentang bagaimana mencapai kesatuan mistis menurut Suhrawardi dan bagaimana pula hakikat kesatuan mistis tersebut dipahami secara ontologis pun mampu dijawab secara apik oleh peneliti.
Dengan hasil penelitian yang dilakukan, masyarakat diharapkan dapat termotivasi untuk memahami gagasan dan pemikiran filosofis, utamanya pemikiran Suhrawardi serta hendaklah mereka tidak tergesa-gesa untuk memberikan stigma negatif terhadap suatu ajaran yang belum mereka pahami dengan baik dan benar.
[1]Sayed Muhammad Ali Debaji, Hekmat va Falsafeh (Wisdom and Philosophy) Vol. 4, No. 4, February 2009, Teheran, Iran, hal.117.
[2] Ada tiga pendapat terkait kemunculan istilah Ahlu Sunnah: 1. Ada yang berpandangan bahwa istilah Ahlu Sunnah/Sunni muncul pada zaman sahabat lalu kemudian populer di kalangan kaum Muslimin. Pendapat ini disarikan dari Ahli Hadis dan Asya’irah. (Ali Rabbani Gulbaigani, Firaq wa Madzâhib Kalâmi, Markaz Jahoni’Ulum Islamy, Teheran, 1377 HS, hal. 67) 2. Pada permulaan abad kedua.Sesuai dengan teori ini, istilah Ahlu Sunnah pertama kali digunakan pada permulaan abad kedua dalam surat Umar bin Abdul Aziz yang menentang pandangan mazhab Qadariyyah. Sebelum masa ini, istilah ini dengan makna yang dikehendaki dalam pembahasan ini tidak digunakan baik di masa sahabat maupun Tabi’in. (Ja’far Subhani, Buhȗts fi al-Milal wa al-Nihal, Hauzah ‘Ilmiyyah Qom, 1372 HS, juz 1, hal. 324). 3. Sebagian sejarawan dan teolog meyakini bahwa istilah Ahlu Sunah atau Sunni muncul pada masa Khalifah Abbasi. (Sayed Muhsin Amin, A’yân as-Syi’ah, Dar al-Ta’âruf li al-Mathbȗ’at, Beirut, 1403 H, juz 1, hal. 19).
[3] Ada empat pendapat terkait kemumculan istilah Syi’ah: 1. Ada yang berpandangan bahwa istilah Syi’ah muncul pada zaman Nabi saw . 2. Zaman Usman melalui seseorang yang bernama Abdullah bin Tsaba’. 3. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. 4. Setelah zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib setelah pelbagai peristiwa dan perubahan sosial-politik (Muhammad Baqir Shadr, Nasy’ah as-Syi’ah wa at-Tasyayyu’, al-Ghadir, Beirut, 1417 H, hal. 14, Muhammad Ali Husaini, Fi Dzhilâl at-Tasyayyu’, Kuwait, Maktabah al-Alfain, 1403 H, hal. 45).
[4]Muhammad Behesyti, Khosgoh wa Pisyeneh Hikmat Isyraq, Philosophical-Theological Research Vol. 15, NO. 1, Donesygoh Qom, t.th. hal. 1.
[5] Husain Zodeh, Ma’rifat Syenosi, Muassasah Omuzesy wa Pozuhesy Imam Khomaini, Qom, 1378 HS, hal. 14.
[6] Khusru Panoh, Nizham Ma’rifat Syenosi Shadro-i, Pozuhesygoh Farhank wa Andisyeh Islamy, Teheran, 1388, hal. 40.
[7] Syekh Syihabuddin Suhrawardi, Majmu’ah Mushannafat Syekh Isyraq, Mukadimah dan Tashih Henry Corbin, Pozohesygoh Ulum Insany, Teheran, 1373 HS, hal .43.