Kritik Disertasi “Kesatuan Mistis Dalam Filsafat Illuminasi”(Bagian V)
Kedua, Ahmad Asmuni baik dalam latar belakang masalah maupun di sini (kerangka teori) menganggap beberapa istilah memiliki konotasi sama atau berdekatan makna semisal ittihâd, hulȗl, tawhid, wahdah al-wujȗdi, dan wahdah al-syuhȗdi. Penulis tidak setuju dengan pendapat ini. Dan berikut ini penulis turunkan tulisan Muthahari yang menyinggung istilah-istilah tersebut dan perbedaannya dengan yang lain.
Wahdah al-wujûd merupakan dasar dan poros pandangan ‘irfân. Namun meskipun menjadi isu sentral dalam pembahasan ‘irfân, wahdah al-wujûd menjadi polemik yang senantiasa hangat dan menjadi pertarungan yang luar biasa di antara pelbagai pendapat. Hakim Mirza Mahdi Osytiyoni mengemukakan sekitar empat puluh delapan teori dan pandangan serta interpretasi terkait dengannya.[1]
Menurut Muthahari, sedikit dari kalangan pemikir yang memahami kedalaman pandangan wahdah al-wujûd Dalam hal ini, Muthahari mengatakan, “Pada prinsipnya, apa wahdah al-wujûd itu? Saya harus tegaskan secara ringkas bahwa Wahdah al-wujûd termasuk dari pandangan-pandangan yang sedikit dari kita yang memahami kedalamannya. Ini harus dikatakan tanpa basa-basi.”[2]
Pandangan wahdah al-wujûd seringkali disalahtafsirkan atau dipahami secara tidak benar dan tidak utuh, baik oleh kalangan Muslim atau non-Muslim (orientalis).
Berkaitan dengan hal ini, Muthahari berkata: Sangat sedikit di antara orang-orang yang mampu memiliki sebuah gambaran yang benar dari wahdah al-wujûd yang disampaikan oleh ‘urâfâ, baik dari kalangan orientalis maupun non-orientalis. Anda perhatikan, selalu kalangan orientalis dan sebagian dari non-orientalis mereka mengungkapkan wahdah al-wujûd dengan sebutan hulûl dan ittihâd. Padahal hulûl dan ittihâd itu bertentangan dengan wahdah al-wujûd Mereka mengatakan, “Bila bukan ittihâd, lalu kenapa dikatakan ana al-Haqq?” Makna anâ al-Haqq adalah penyatuan. Tidak! Anâ al-Haqq maknanya bukan penyatuan dan juga bukan hulȗl.[3]
Untuk memberikan gambaran yang benar tentang wahdah al–wujûd, Muthahari menyampaikan tiga penjelasan atau tiga bentuk pemahaman wahdah al–wujûd:
Pertama, wahdah al-wujûd memiliki banyak ungkapan. Multisplitas (katsrah) itu adalah hal yang nyata dan tidak dapat ditolak. Seseorang mengatakan, terdapat maujud-maujud yang beraneka ragam dan masing-masing saling berbeda. Salah satunya manusia, hewan, dan satu yang lain adalah jin dan malaikat dan yang lain lagi adalah Allah.Maujud-maujud ini secara esensial berbeda satu sama lain. Dan meminjam ungkapan Sayidina Ali dalam kitab Nahj al-Balâghah, perbedaan mereka satu sama lain adalah perbedaan ‘izli, yakni terkecualikan dari yang lain, dan wujud setiap maujud itu berbeda dengan maujud yang lain. Mungkin asumsi kebanyakan para filosof dan selain filosof adalah asumsi ini.
Sebagian ‘urâfâ mengatakan bahwa yang dimaksud wahdah al-wujûd adalah wujud itu terbatas kepada wujud al-Haqq. Tiadalah Penguasa Tunggal selain-Nya di suatu rumah. Maknanya adalah setiap maujud selain Allah, dengan apa pun kebesaran yang dimilikinya, pada akhirnya ia adalah maujud yang terbatas, sedangkan Dzat al-Haqq adalah wujud dan kesempurnaan yang tidak terbatas; keagungan yang tidak terbatas; kekuasaan yang tidak terbatas; keindahan yang tidak terbatas. Bila satu maujud kita analogikan dengan maujud yang lain, maka satu lebih besar dan yang lain lebih kecil. Misalnya ketika kita membandingkan antara sungai dan laut, maka laut itu besar dan sungai itu kecil. Sesuatu yang terbatas dapat dianalogikan dengan sesuatu yang terbatas lainnya. Tetapi sesuatu yang terbatas dengan yang tidak terbatas itu tidak dapat dianalogikan dan tidak memiliki penisbahan/pertalian.
Manusia, ketika memandang sesuatu itu besar dan kecil itu dilakukannya saat ia melihat sesuatu dengan membandingkan. Ketika kita mengatakan “ini kecil” dan “itu besar” maka yang kecil itu dibandingkan dengan sesuatu yang kecil lainnya. Sedangkan ‘ârif ketika memandang kebesaran al-Haqq (ilmu yang tidak terbatas, kekuasaan yang tidak terbatas, kesempurnaan yang tidak terbatas) maka sesuatu yang terbatas di hadapan sesuatu yang tidak terbatas itu sama sekali tidak memiliki suatu penisbahan. Bahkan, hanya sekadar mengatakan “ini lebih besar daripada itu” pun tidak dibenarkan. Sebab, itu harus dianggap sebagai “sesuatu” sehingga dikatakan “ini lebih besar”.
Maka, ‘ârif ketika menyaksikan kebesaran al-Haqq (di sini menjadi wahdah al-syuhûd) maka selain-Nya tidak memiliki wujud. Bila itu adalah kekuasaan, maka selainnya adalah bukan kekuasaan. Bila itu kebesaran, maka selainnya bukan kebesaran. Dan pada hakikatnya Allah adalah sesuatu dan selain-Nya adalah bukan sesuatu. Demikian penjelasan Muthahari.[4] Muthahari menegaskan bahwa pandangan wahdah al-wujûd ini tidak ditentang oleh seseorang pun.
[1] Dr. Sayid Ishaq Husaini Kohasari, Mabâni Tafsĭr ‘Irfâni, (terbitan Intisyarat Zair tahun 2010), hal. 392.
[2] Syahid Murtadha Muthahari, Majmû’ah Ătsar, (terbitan Intisyarat Shadra, cetakan ke-27, 1423 H) J. 23, hal. 392. Teks bahasa Persinya adalah
وحدت وجود از آن انديشههايى است كه كمتر كسى به عمق آن پى برده و پى مىبرد (اين را بايد بدون تعارف گفت)
[3] Syahid Muthahari, Majmû’ah Ătsar Ustad Syahid Muthahari, hal. 393. Teks bahasa Persinya adalah
بسيار بسيار كمند افرادى كه بتوانند تصور صحيحى از وحدت وجودى كه عرفا دارند داشته باشند، از مستشرقين گرفته تا غير مستشرقين. شما مىبينيد هميشهمستشرقين- و عدهاى از غير مستشرقين خودمان- وحدت وجود را چيزى تعبير مىكنند به نام حلول و اتحاد. منتها مىگويند اگر اتحاد نيست پس او چطور گفته «اناالحق»؟ معنى «انا الحق» اتحاد است. نه، «اناالحق» هم معنايش اتحاد نيست، نه اتحاد است و نه حلول.
[4] Lihat: Syahid Murtadha Muthahari, Majmû’ah Ătsar, J. 23, hal. 395.