Kuliner Sebagai Satu Alasan Penyembahan kepada Allah SWT
Ada permasalahan penting dibalik masalah makan dan makanan dalam pandangan Islam. Hal ini bisa ditinjau dari dua perspektif, pertama ditinjau dari aspek keyakinan, kedua dari aspek norma dan aturan.
Pada kesempatan ini mari kita urai perspektif pertama dimana makanan ditinjau dari perspektif keyakinan. Kajian yang berusaha menelaah surat Quraisy ayat 3 dan 4.
Pada perspektif makanan ditinjau dari segi keyakinan, dalam Islam, makanan adalah sebuah karunia yang diberikan kepada umat manusia dan makhluknya, sehingga dengan itu bisa menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh, menjaga keseimbangan proses kehidupan. Menjalani proses-proses kehidupan seperti bereproduksi, berproduksi, berinteraksi, dan berbagai kegiatan penuh manfaat lainnya. Manusia bisa menjalankan tugas sebagai hamba Allah kepada sembahannya, maupun tugas sebagai makhluk sosial dengan lingkungan yang setiap hari digeluti dengan keragamanan kondisi lingkungan dan audiensnya.
Rizki atau karunia anugrah Allah SWT kepada hambaNya, hal ini menyimpan banyak pesan. Dalam sejarah, Allah mengingatkan kaum musrikin di kota Mekah di zaman Nabi Muhammad SAW, pada dua hal dalam rangka mengajak mereka untuk mengakui secara lahiriah keberadaan Tuhan dan lalu secara tulus menyembahNya. Satu hal yang disebutkan adalah karunia berupa makanan.
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هذَا الْبَيْتِ
ٱلَّذي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَ آمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah).
Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.[1]
Dua hal ditekankan disini bahwa Allah telah memberi karunia berupa makanan sehingga mereka tidak kelaparan, karunia kedua adalah Allah memberi kondisi aman kepada mereka dan menjaga mereka dari rasa takut. Pengungkapan dua hal ini dengan satu tujuan yakni agar mereka sadar dan Falya’budu rabba hadzal bait, maka hendaklah mereka menyembah (Tuhan) Pemilik rumah ini (Ka’bah).[2]
Ayat perintah menyembah berada lebih awal salah satunya sebagai bentuk penekanan akan arti penting penyembahan dan tauhid, serta bahwa fitrah penyembahan itu sebenarnya sudah ada dalam jiwa masing-masing manusia, lalu setelah mendapat info penyadaran ini baru diajak untuk menapaki salah satu alasan penyembahan itu, yaitu penggunaan karunia Allah yang sudah dinikmati sejak kelahiran, karunia berupa makanan dan juga keamanan sebagai alasan keharusan penyembahan kepada-Nya. Karunia berupa makanan tidak melulu seputar menjaga dari lapar semata tapi juga sebagai akibat darinya, manusia menjadi tetap sehat dan bugar, tanpa kecukupan makanan, tanpa makanan yang tepat manusia bisa terkekang dalam kesakitan yang merugikan dan melelahkan serta menghabiskan waktu. Sebaliknya dengan makanan yang cukup, manusia bisa berkatifitas secara optimal, bisa berpikir dan menganalisa, bisa merenung, dan yang terpenting adalah merenungkan karunia-karunia Allah yang sudah diterima lalu mensyukurinya dengan totalitas menyembahNya.
Alladzi at’amahum minju’ juga bermakna bahwa berhala-berhala dan semua sekutu Tuhan sama sekali tidak memiliki kapabilitas untuk sekedar memberi makan atau apalagi memberikan jaminan rasa aman kepada umat manusia. Penyebutan ini juga memberikan parameter sederhana kepada kaum kafir Qurays yang mana pada waktu itu masih menyembah berhala dengan berbagai ragam bentuknya. Berhala yang bahkan berupa tumpukan makanan, dimana setelah selesai prosesi penyembahan, makanan itu yang sebelumnya adalah Tuhan yang disembah mereka makan dalam rangka mengambil berkah. Ingin mendapatkan keberkahan dari Tuhan sembahan mereka. Memang ada yang menganalisa bahwa mereka menyebut tumpukan makanan itu sebagai simbol untuk disembah saja bukan pihak yang sebenarnya sedang menjadi sembahan.
Alladzi at’amahum minju’ menolak dan menafikan semua keberhalaan ini dengan menentukan parameter sederhana dan sangat akrab ditelinga semua manusia, parameter berupa kemampuan untuk memberikan makanan dan rasa aman, dua buah kebutuhan primer yang selalu dibutuhkan oleh setiap manusia.
Kafir Quraisy mendapat informasi dan teguran yang sebenarnya mengikat, sebab akibat yang berujung kepada ketauhidan dan penyembahan tulus kepada Allah SWT.
Kuliner tidak hanya menjadi perhatian besar dan penting di jaman Kenabian, dimana mukhatab waktu itu adalah kaum kafir quraisy, kuliner sampai sekarang juga menjadi perhatian penting masyarakat. Namun kuliner dijaman ini sangat jarang digandengkan dengan pembuktian keberadaan Tuhan, dengan ikatan penyembahan kepada-Nya. Kuliner hanya dimaknai secara mandiri dengan makanan dan minuman semata dengan berbagai bentuk keragaman jenis warna, bentuk, citarasa dan kekhasan bau dan semacamnya saja. Kuliner hanya dilihat dari perspektif inderawi seolah-olah tidak berkaitan dengan konsep ketuhanan sama sekali. Yang penting nikmat, yang penting nikmat yang penting menarik dipandang mata, yang penting banyak peminatnya.
Sebagian bahkan beranjak pada level yang jauh lebih rendah dari parameter kemanusiaan, mereka mengusung konsep prosentasi sedikit dengan mendapat keuntungan dari menaikkan harga karena hal-hal yang mereka sajikan menurut mereka adalah unik. Dalam beberapa tahun terakhir muncul konsep resto dengan alat saji berupa kloset dan jamban.
Menurut hemat penulis hal ini berkaitan dengan tidak adanya keseimbangan jiwa dan salah kaprah dalam menjalani hidup dan penafsiran yang salah dari bentuk kebebasan berekspresi. Beberapa orang mendengar berita ini menjadi kehilangan selera makan, tidak bisa makan karena ingat dengan berita ini. Hal ini terjadi karena hal itu tidak sesuai dengan konteks kemanusiaan. Manusia normal akan jijik dengan kondisi diatas. Dan jelas kondisi ini tentu merusak konsep makanan sebagai karunia lalu dengannya manusia makan dan bersyukur dengan menyembahnya, sebab prosesi makan sendiri menjadi terganggu dengan hal-hal yang diluar norma kamanusiaan.
Mengapa tetap ada orang yang datang dan menikmati sajian ini, alasan yang penulis miliki adalah bahwa mereka menganggap bersikap normal dalam kondisi ini adalah sikap profesional, terlepas apakah makan makan dengan konsep sepertini sebenarnya sesuai hati nurani atau tidak.
[1] QS Quraisy: 2 dan 4.
[2] Disarikan dari Kajian Mencari Makanan Sesuai Syariat Islam oleh Ust Zahir Yahya.