Lebaran Sebagai Ajang Wisuda Para Ahli Surga
إِنَّ لِلْمُتَّقينَ مَفازاً
- Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan,
حَدائِقَ وَ أَعْناباً
- (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur,
وَ كَواعِبَ أَتْراباً
- dan gadis-gadis remaja yang sebaya,
وَ كَأْساً دِهاقاً
- dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman yang suci).
لا يَسْمَعُونَ فيها لَغْواً وَلا كِذَّاباً
- Di dalam kebun-kebun itu mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta.
جَزاءً مِنْ رَبِّكَ عَطاءً حِساباً
- (Semua itu) sebagai balasan dari Tuhan-mu dan pemberian yang cukup banyak,
رَبِّ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ وَما بَيْنَهُمَا الرَّحْمٰنِ لا يَمْلِكُونَ مِنْهُ خِطاباً
- Tuhan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pemurah. (Pada hari itu) mereka tidak dapat berbicara dengan Dia tanpa izin dari-Nya;[1]
Setelah menjalani ibadah suci puasa, semua orang merayakan hari fitri, merayakan Lebaran. Sebelum kita ungkapkan telaah beberapa ayat dari surat An-Naba[78], mari kita lihat kembali makna dari kata “Lebaran”, Lebaran adalah kata asli miliki nusantara, kata yang sudah sangat kuat mengakar dalam tradisi kebahasaan dan budaya Indonesia. Lebaran merupakan kata dari bahasa jawa, dari “lebar” yakni sudah selesai dan mendapat akhiran “an” yang menggambarkan suatu kegiatan yang dilakukan secara rutin bersama-sama oleh sekelompok besar masyarakat. Jadi sesungguhnya Lebaran bukan arti leterlek dari kata Idul fitri, hari raya fitrah, kembali kepada fitrah. Namun penamaan dengan kata Lebaran tidak lain yakni guna mempermudah masyarakat untuk mengenal hari besar Idul Fitri, yakni hari raya umat Islam yang jatuh pada taggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama sebulan; (tepat pada saat umat Islam merayakan) Idulfitri[2]. Dalam bahasa Madura Lebaran disebut dengan kata “Telasan”. Kata telasan memiliki makna yang sama dengan lebaran, telas artinya selesai, telasan adalah kegiatan yang sudah tunai, sudah selesai dan sampai ujungnya.
Dalam doa secara turun temurun para orang tua kepada anak-anak muda dalam tradisi orang jawa, terdapat ungkapan yang memiliki makna besar, “muga-muga luputku lan luputmu dilebur dino bada iki” artinya semoga dosaku dan juga dosamu dihancurleburkan pada hari lebaran ini, “luputku” yakni dosa kita diampuni sebagai hasil perjuangan serius satu bulan penuh, menempa diri dengan berbagai ritual doa, shalat, sedekah, menghidupkan lailatul qadar, membaca Quran dan berbagai amalan lain. Selama satu bulan di bulan ramadan merupakan waktu singkat untuk meminta ampunan kepada Allah Swt. Menyelsaikan kesalahan dari sisi hablun minallah. Hubungan kita sebagai makhluk kepada sang khaliq. Mensucikan diri kita seperti ketika pertama kali diciptakan, ketika dilahirkan ke alam dunia.
Untuk “luputmu”, dosa yang ada akibat perbuatan tidak pas kepada sesama manusia, hanya ada satu cara yakni dengan meminta maaf kepada orang itu. Tanpa maaf dari orang yang sudah kita dzalimi maka ampunan Allah tidak akan kita terima, “luputku dan luputmu”, mengharuskan untuk saling memaafkan, kita memaafkan orang lain dan kita mendapat maaf dari mereka.
Pada hari raya idul fitri kita mendapat titipan budaya untuk saling berbagi makanan satu dengan yang lain. Ketika kita tilik ternyata makanan adalah satu hal sederhana namun istimewa. Bisa kita lihat dari ucapan para tokoh seputar makanan lalu kita kembali merenungkan mengapa kita mendapati budaya berbagi makanan ketika lebaran tiba.
Food is the most primitive form of comfort
“Makanan adalah bentuk paling primitif dari kenyamanan”[3]
Ketika berbagi tentu kita berbagi makanan yang halal dan baik
If we’re not willing to settle for junk living, we certainly shouldn’t settle for junk food[4]
“Jika kita tidak ingin untuk hidup dalam sisa-sisa, maka kita sebaiknya tidak memakan junk food.
وَ كُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللهُ حَلالاً طَيِّباً وَ اتَّقُوا اللهَ الَّذي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.[5]
Ketika memberi tidak boleh disertai dengan ucapan yang buruk. Allah menyebut perkataan buruk itu bagai pohon buruk, pohon yang sudah tidak lagi memiliki dedaunan rindang, tidak bisa lagi menghasilkan buah yang segar dan bermanfaat. Sebenarnya saling berbagi makanan sangat penuh berkah dan banyak kebaikan yang tersimpan didalamnya namun hal itu bisa rusak. Harusnya menjadi bangunan kokoh untuk mengikat jalinan silaturahmi sebaliknya semua keberkahan itu akan hilang musna jika disertai dengan perkataan buruk.
Dan perumpamaan kalimat yang buruk, seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.[6]
Sungguh siapa yang mampu berhasil melewati ujian pada saat sebulan penuh puasa adalah mereka orang-orang yang bertaqwa. Orang-orang yang menjadikan aturan Allah Swt sebagai parameter hidup, mana yang harus dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Orang yang berpuasa dan disertai sikap dan sifat taqwalah yang mendapat kemenangan idul fitri. Mereka yang akan mendapat hadiah indah surga[7].
﴿إِنَّ لِلْمُتَّقينَ مَفازاً﴾
- Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan,
Apakah tanda bahwa seseorang sudah sukses dalam puasa mereka, disini dapat kita lihat pada ayat
﴿لا يَسْمَعُونَ فيها لَغْواً وَلا كِذَّاباً﴾
- Di dalam kebun-kebun itu mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta.
Jadi orang yang berhasil dalam bulan suci ramadan adalah mereka yang tidak lagi berkata sia-sia, tidak mendengarkan atau melakukan kesia-siaan, serta mereka yang tidak lagi berkata atau mendengarkan dusta, seperti share hoaks, menipu, berdusta dan semacamnya.
Semoga berlalunya ramadhan menjadi start up kita untuk tidak lagi berkata dan bertindak sia-sia, tidak lagi berkata dan berbuat dusta. Semoga kita bisa bertemu bulan suci ramadhan kembali, andai tidak semoga kita kembali pada-Nya dalam penuh ampunan baik dari makhluk maupun dari-Nya. Ilahi Amin.
[1] QS An Naba[78]:31-37
[2] KBBI pada pencarian kata “Lebaran”.
[3] Sheila Graham.
[4] Sally Edwards.
[5] Qs Al-Maidah[5]: 88.
[6] Qs Ibrahim[14]: 44.
[7] Seperti dijelaskan pada ayat Qs An Naba[78]: 32-34.