Madrasah Ra`yu, Mengapa?
Fikih merupakan kumpulan hukum syar’i. Ia dalam kategori ilmu pengetahuan Islam yang paling luas, dan adalah yang paling klasik di antara ilmu-ilmu Islam lainnya. Fikih dipelajari dan diajarkan secara luas di sepanjang zaman –secara turun temurun. Di dalamnya Islam melahirkan banyak fuqaha, dan banyak sekali karya mereka berupa kitab-kitab fikih. (Fiqh wa Huquq/Syahid Mutahari 20/51)
Fuqaha adalah ulama yang ahli fikih. Menurut Syahid Mutahari, sebutan fuqaha telah ada dari sejak masa tabi’in dan mereka adalah murid-murid para sahabat besar Nabi (saw).
Pada tahun 94 hijriah (tahun kesyahidan Imam Ali bin Husein Sajjad), tujuh orang di antara mereka dikenal dengan “fuqaha sab’ah”. Mereka adalah Sa’id bin Musayab, Urwah bin Zubair dan lainnya. Sedangkan Sa’id bin Jubair dan fuqaha Madinah lainnya dikenal dengan sebutan “Sanatul Fuqaha”. Masa kemudian sesudah itu gelar fuqaha secara mutlak ditujukan kepada ulama yang pakar di bidang hukum Islam.
Dua Madrasah dalam Fikih
Maksud dari kata “madrasah” ini yang penulis pahami, ialah madrasah hukum Islam yang bersandar pada Alquran dan Sunnah. Ia sebagai tempat rujukan muslimin dalam semua urusan ibadah dan mu’amalah.
Sepeninggal Rasulullah saw lahir dua madrasah Islam, yang menjadi besar sampai saat ini:
1-Madrasah Ahlulbait, yang dikepalai oleh Amirul mu`minin dan para imam sesudahnya.
2-Madrasah Ahlussunnah, yang terdapat di dalamnya pandangan-pandangan dari para pembesar sahabat Nabi dan tabi’in murid-murid mereka, serta dari para imam mazdahib Islam.
Dalam madrasah Ahlussunnah, setelah Sunnah yang merupakan ucapan dan perbuatan serta taqrîr dari Rasulullah saw, terdapat sumber yang ketiga bagi hukum syar’i. Yaitu, ra`yu (pandangan pribadi) dari para sahabat Nabi dan fuqaha sesudah mereka.
Sedangkan dalam Madrasah Ahlulbait, Sunnah dalam arti tersebut mencakup dari Rasulullah saw dan juga dari para imam Ahlulbaitnya. Karena, para imam yang dalam riwayat-riwayat Syiah Imamiyah khususnya disebutkan nama-nama mereka oleh Nabi saw, mengatakan bahwa hukum mereka adalah hukum Rasulullah saw; halal dan haram mereka adalah halal dan haram beliau.
Madrasah Ra`yu, Mengapa?
Madrasah fikih Ahlussunnah disebut sebagai “madrasah ra`yu” oleh Syekh Baqir Irwani dan ulama Syiah lainnya. Beliau dalam kitabnya, “Durus Tamhidiyah fil Fiqh al-Istidlali”, di bagian mukadimah menjelaskan adanya pandangan-pandangan pribadi para sahabat Nabi (saw) dan sesudah mereka dari kalangan fuqaha.
Abu Hanifah Nu’man bin Basyir imam mazhab Hanafiah sendiri mengatakan: وهل الدين إلاّ الرأى الحسن; Bukankah agama itu pandangan yang baik? (Tarikh Baghad 13/390)
Menurut Syekh Baqir Irwani, ide bersandar pada ra`yu berpangkal pada larangan penyusunan Sunnah Rasulullah saw hingga masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz yang memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri agar menyusun hadis. (Thabaqat Ibn Sa’d 5/140; Fathul Bari, bab Kitabatul ‘Ilm 1/218)
Dzahabi menjelaskan bahwa setelah Nabi saw wafat, khalifah pertama Abu Bakar ra mengumpulkan orang-orang dan berkata: “Kalian menukil dari Rasulullah hadis-hadis yang kalian berselisih di dalamnya. Lalu orang-orang sesudah kalian perselisihan mereka itu lebih besar lagi. Karena itu, janganlah kalian berbicara (menukil) sedikitpun dari Rasulullah. Jadi, siapapun yang bertanya kepada kalian, maka katakanlah:
بيننا وبينكم كتاب اللّه; “Antara kami dan kalian adalah Kitabullah Alquran!” Maka halalkanlah halalnya dan haramkanlah haramnya.”(Tadzkiratul Hufazh 1/2-3)
Ia juga meriwayatkan bahwa khalifah kedua Umar bin Khatab ra memenjarakan Ibnu Mas’ud, Abu Darda` dan Abu Mas’ud Anshari, dengan mengatakan kepada mereka: “Kalian telah banyak (menukil) hadis dari Rasulullah!” (Tadzkiratul Hufazh 1/7)
Di masa kekhalifahan Usman bin Affan ra, ia berdiri di mimbar mengumumkan: “Tidak boleh seorangpun yang meriwayatkan satu hadis yang tak pernah dia dengar di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.” (Muntakhab al-Kanz bi Hamesy Musnad Ahmad 4/64)
Larangan yang diserukan oleh Madrasah Ra`yu itu, bertolak belakang dengan Madrasah Ahlulbait yang menyerukan agar dicatat hadis-hadis Rasulullah dan Ahlulbaitnya. Imam Shadiq berkata: “Tulislah! Sesungguhnya kalian tidak akan ingat dan hafal sampai kalian menulisnya.. Catatlah di buku kalian! Karena kalian akan memerlukannya.” (Wasail asy-Syiah, bab 8, hadis 16-17)
Sebagai dampak dari larangan tersebut dari masa khalifah pertama hingga masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, lahir pandangan-pandangan pribadi terkait hukum dari sebagian pembesar sahabat, tabi’in dan para imam madrasah Ahlussunnah. Salah satu bentuknya ialah qiyas yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah.
Sebuah Dialog Imam Shadiq dan Abu Hanifah
Pada suatu hari Imam Shadiq melontarkan pertanyaan kepada Abu Hanifah: “Manakah yang lebih besar (kasusnya) di sisi Allah, pembunuhan ataukah perzinahan?”
“Pembunuhan”, jawabnya.
“(Jika demikian) Mana mungkin Allah dalam pembunuhan menerima dua orang saksi, sementara dalam perzinahan Dia tidak menerima kecuali empat orang saksi?” Lalu beliau tanya lagi, “Manakah yang lebih utama; shalat ataukah puasa?”
Ia menjawab, “Shalat lebih utama”
Imam berkata, “Menurut qiyas pandanganmu wajib bagi yang haid mengqadha shalat yang (harus) dia tinggalkan dia masa haidnya, bukan puasa (yang diqadha). Tetapi Allah mewajibkan dia mengqadha puasa, bukan shalat.. Lalu beliau tanya, “Manakah yang lebih kotor, kencing ataukah mani?”
“Kencing lebih kotor”, jawabnya.
Beliau berkata, “Jika begitu menurut qiyasmu ialah wajib mandi besar karena kencing, bukan mani. Padahal Allah mewajibkan mandi atas (keluar) mani, bukan kencing..” (Wasail asy-Syiah, bab 8, hadis 28)
M.Ilyas
Referensi:
1-Feqh wa Huquq/Syahid Mutahari.
2-Durus Tamhidiyah fil Fiqhil Istidlali/Syekh Baqir Irwani.