Sudah Ada al-Quran dan Hadits, Mengapa Harus Berijtihad?
Mungkin terbersit dalam benak kita sebuah pertanyaan, “Tidakkah cukup bagi kita menggunakan petunjuk langsung dari Allah swt? Bukankah al-Quran merupakan kitab yang sempurna, tidak ada satu pun yang tidak terdapat di dalam al-Quran?, Allah berfirman:
مّا فرّطْنا فِي الكِتابِ مِن شيْءٍ
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab. (QS. Al-An’am : 38)
Dan Rasulullah saw juga telah meninggalkan dua pusaka penting yang satu sebagai pedoman yaitu al-Quran dan yang satunya lagi sebagai penafsir dari al-Quran yaitu Hadits, lantas, mengapa kita masih harus berpegang kepada ijtihad yang notabene produk manusia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita harus memahami makna ijtihad dan hal-hal yang berkaitan dengannya
Hakikat Ijtihad
Ijtihad bukan tindakan untuk mengarang agama dan menyerahkan segala urusan agama semata-mata kepada logika dan akal manusia sambil meninggalkan al-Quran dan Hadits seperti yang disebutkan diatas. Pemahaman ijtihad seperti ini tentu keliru besar.
Pada hakikatnya, yang namanya ijtihad itu justru merujuk kepada al-Quran dan Hadist. Dan tidak lah sebuah ijtihad itu dilakukan, kecuali untuk mengerahkan segala upaya dan usaha untuk menyimpulkan hukum dari kedua sumber tersebut
Penafsiran ayat 58 dalam surat al-An’am
Lalu apa penafsiran sebenarnya ayat dalam surat al-An’am 58 “Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab”?
Penjelasan yang bisa kita berikan terhadap pertanyaan diatas ialah, meski Al-Quran adalah kitab yang lengkap dan tidak ada satupun masalah yang terlewat, namun bukan berarti Al-Quran adalah sebuah ensikopedi umum yang memuat materi apa saja.
Kenyataannya bila dibandingkan dengan Encyclopedia Britanica, jumlah ayat Al-Quran terlalu sedikit, karena hanya berkisar 6.000an ayat saja. Encyclopedia Britannica 2010 memuat artikel dan gambar hingga sekitar 100.000 item, dan tebalnya mencapai 32 jilid.
Tetapi sekali lagi adalah keliru kalau kelengkapan materi al-Quran itu kita bayangkan seperti kelengkapan sebuah ensiklopedi. Kelengkapan al-Quran itu maksudnya adalah bahwa al-Quran bicara tentang banyak hal dalam kehidupan manusia, baik individu maupun sosial. Tetapi al-Quran bukan ensiklopedi yang membahas satu per satu tiap titik masalah.
lagi pula, Al-Quran adalah kitab yang diperuntukan untuk memberikan petunjuk bagi manusia agar manusia sampai kepada hakikat kesempurnaannya, al-Quran juga menunjukan manusia kepada jalan yang benar dan lurus, serta menjadi pembeda antara yang hak dan yang batil, Allah berfirman dalam surat al-baqoroh 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)”.
Dalam hadist riwayat al-Kafi juga disebutkan oleh Imam Ali Ridha as tentang penafsiran ayat 38 dalam surat al-An’am, bahwa yang dimaksud ayat tersebut ialah, Allah telah menjelaskan seluruh hukum tentang halal dan haram dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia pada saat mereka dikumpulkan dihadapan Allah swt pada saat Hari Pembalasan.
قال: «إن الله عزّ وجلّ لم يقبض نبيّه(ض) حتى أكمل له الدين وأنزل عليه القرآن فيه تبيان كل شيء بين فيه الحلال والحرام والحدود والأحكام وجميع ما يحتاج إليه الناس، فقال عز وجل: {مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ}
Imam Ridho as berkata,”Sesungguhnya Allah tidak akan mewafatkan nabiNya sampai agamaNya telah sempurna dan menurunkan al-Quran sebagai penjelas dari segala sesuatu berkaitan dengan halal, haram, hukuman, segala perangkat hukum dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, karena Allah telah berfirman,:”Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam al-Kitab (al-Quran) dan kepada Tuhan mereka lah mereka akan dikumpulkan”.[1]
Kedudukan hadits Nabi saw pun seperti kedudukan al-Quran karena Allah swt memerintahkan kepada kita untuk mengikuti apa-apa yang diperintahkan oleh Nabi saw, Allah swt berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Dan apa yang datang dari Rasulullah kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr : 7)
Oleh karena itulah sebagian penjelasan hukum, dialihkan kepada Hadits, seperti jumlah bilangan sholat lima waktu tidak dimuat di dalam al-Quran namun kewajiban tersebut tercantum didalam hadits.
Cukupkah hanya al-Quran dan Hadist?
Mungkin orang bertanya lagi, bukankah al-Quran dan Hadits itu sudah jelas sekali, mengapa masih perlu ada ijtihad?
Memang tidak salah kalau dikatakan bahwa Al-Quran dan Hadist itu sudah sempurna dan jelas, tetapi yang bisa dengan mudah memahami keduanya dengan jelas itu hanya kalangan tertentu saja, dan tidak semua orang memahaminya
Ketika Islam telah menyebar ke negeri yang jauh yang berbeda bahasa, budaya, adat, serta berbagai realitas sosial lainnya, maka mulai muncul berbagai masalah. Tidak semua pemeluk Islam paham bahasa Arab, bahkan yang memahami Bahasa arab pun terkadang masih kebingungan dengan I redaksional yang digunakan dalam ayat al-Quran dan hadits.
Tidak usah jauh-jauh, sebagi contoh sederhana, ketika Rasulullah saw menakar makanan yang beliau keluarkan untuk membayar zakat fitrah, beliau menggunakan takaran yang disebut sha’, dan diantara orang Irak, Madinah dan Mekah memiliki pemahaman yang berbeda dengan satuan timbangan yang bernama Sha”.
Lalu para ulama mulai melakukan sebuah penelitian, yang kira-kira memudahkan orang mengenal berapa sebenarnya ukuran satu sha’ itu. Nah inilah yang disebut dengan ijtihad. Jelas sekali ijtihad itu justru dibutuhkan untuk memahami al-Quran dan Hadist, bukan rekayasa logika dan hawa nafsu semata.
Wallahu A’lam
[1] al-Kafi, juz,1, hal.198, hadist pertama