Membincang Metodologi Ayatullah Murtadha Muthahhari (Bagian Pertama)
Pengantar
Selama ini banyak orang barangkali mengenal Muthahhari sebagai seorang penulis produktif yang menulis puluhan buku mengenai hampir semua hal. Paling banter orang akan menganggapnya sebagai seorang ulama yang cerdas dan berwawasan luas, termasuk mengenai pemikiran-pemikiran Barat. Tapi, begitu banyak dan bervariasinya tulisan Muthahhari di sisi lain dapat menimbulkan kesan bahwa Muthahhari adalah seorang generalis yang tak memiliki agenda dan perspektif jelas dalam karier pemikirannya. Belakangan ini, pembaca Indonesia mulai dapat menikmati karya-karyanya di bidang filsafat Islam, yang sesungguhnya tidak sedikit dan sama sekali tak kurang penting di banding karya-karya popular dan karier-politiknya sebagai salah seorang pejuang, pendiri, dan peletak dasar Negara Republik Islam Iran. Sesungguhnya kesan seperti ini kurang tepat. Muthahhari adalah seorang ulama-pemikir yang tahu benar tentang apa yang dipikirkan dan diperjuangkannya. Di balik puluhan karyanya itu sesungguhnya terpapar sebuah agenda besar, sebuah tujuan besar. Lebih dari itu, agenda besar itu hendak dicapainya lewat suatu metodologi yang telah dipikirkannya secara masak-masak. Tapi sebelum masuk ke dalam topik utama pembahasan makalah ini perlunya kiranya kita pahami latar-belakang intelektual Muthahhari lewat pendidikan yang dijalaninya.
Biografi Intelektual
Murid terdekat Thabathaba’i dan Khomeini ini yang lahir pada 2 Februari 1920 pertama kali belajar dari ayahnya sendiri, Muhammad Husein Muthahhari, seorang ulama terkemuka di kota-kelahirannya, Fariman. Pada usia dua belas tahun, Muthahhari mulai belajar ilmu-ilmu agama di Hauzah Ilmiyeh Masyhad. Dia menunjukkan minat yang amat besar kepada filsafat dan ilmu-ilmu rasional serta ‘irfan (tasawuf filosofis atau metamistisime). Pertama kali dia belajar filsafat dan ilmu-ilmu rasional di bawah bimbingan Mirza Mehdi Syahidi Razawi. Setelah guru-pembimbingnya itu wafat, Muthahhari meninggalkan Hauzah Masyhad dan berhijrah ke Qum untuk memperdalam ilmu di hauzah kota suci itu. Di Qum inilah dia berkenalan dengan Allamah Thabathaba’i dan kemudian juga, Ayatullah Ruhullah Khomeini – dua orang tokoh yang dikenal sebagai ahli filsafat dan ‘irfan (tashawuf). Diriwayatkan bahwa dia sudah tertarik kepada pelajaran ‘irfan bahkan sejak tahun-tahun awalnya di Qum. Dia sendiri bercerita betapa pelajaran-pelajaran ‘irfan dari Ayatullah Khomeini telah meninggalkan bekas yang amat kuat dalam hatinya. Dengan kata-katanya sendiri, pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh gurunya ini bahkan masih terngiang-ngiang di telinganya hingga beberapa hari setelah ia mendengarnya untuk pertama kalinya. Dari keduanyalah, Muthahhari memperdalam filsafat dan ‘irfan. Ia pun belajar filsafat dan’irfan pada seorang guru besar di masanya. Yakni ‘Allamah Thabathaba’i. Dia juga amat dalam dipengaruhi oleh pelajaran-pelajaran mengenai Nahj al-Balaghah – kumpulan wacana, pidato, surat-surat, dan kata-kata bijak Khalifah Keempat dan Imam Pertama dalam mazh-hab Syi’ah, ‘Ali bin Abi Thalib – yang diberikan oleh Mirza ‘Ali Aqa Syirazi Isfahani. Dikatakannya bahwa, meski ia telah membaca buku itu sejak ia kecil, kali ini dia merasa seperti telah menemukan suatu “dunia baru.”
Untuk lebih mengenal latar belakang intelektual Muthahhari, kita perlu mengenal sedikit lebih jauh sumber-sumber pengaruh atas tokoh kita tersebut di atas.
Ayatullah Ruhullah Khomeini, yang dikenal sebagai seorang faqih dan pemimpin revolusi, sesungguhnya adalah seorang peminat ‘irfan sejak masa mudanya. Meski sesungguhnya minat Ayatullah Khomeini meluas hingga ke Hikmah (filsafat-mistikal) Mulla Shadra, dia sudah mulai dikenal sebagai seorang ahli‘irfan bahkan sejak umurnya belum lagi genap 30 tahun. Ketika memberikan pengajaran ‘irfan kepada Muthahhari itu, usianya belum lagi lebih dari 27 tahun.Di anara salah satu karya-awalnya, yang ditulisnya ketika berumur 26 tahun adalah komentar (syarh) atas Doa al-Sahar dari Imam Muhammad al-Baqir. Tiga tahun kemudian ia menerbitkan Mishbah al-Hidayah, sebuah ulasan ringkas tapi mendalam tentang hakikat Nabi saaw. dan para Imam. Belum lagi usianya mencapai 40 tahun, tepatnya 37 tahun, Khomeini muda ini menyelesaikan sebuah catatan-pinggir (hamisy atau glossarium) atas komentar Daud Qaysari atas Fushush al-Hikam-nya Ibn ‘Arabi dan Mishbah a-Uns-nya Shadruddin al-Qunawi (anak angkat dan murid Ibn ‘Arabi). Demikian seriusnya nilai catatan-pinggir ini sehingga sebagian guru Khomeini sendiri merasa perlu menulis ulasan atas karya muridnya ini.
Sejak saat itu, berbagai karya mengenai ‘irfan terlahir darinya. Ketika akhirnya ia harus terlibat dalam perlawanan politik terhadap Shah Iran dan kemudian memandu negara, dan melahirkan karya-karya politik, tetap saja nuansa irfan tak bisa dilepaskan dari kesemuanya itu. Dan lebih dari sekadar penulis, ia dipersaksikan oleh banyak orang yang mengenalnya sebagai seorang ‘arif dalam kenyataan praktik hidupnya. Alhasil, meski dikenal juga sebagai ahli filsafat, Ayatullah Khomeini adalah seorang ahli tashawuf atau ‘irfan through and through.
‘Allamah Thabathaba’i, sebelum yang lain-lain, adalah juga guru Ayatullah Khomeini. Minatnya amat mirip dengan muridnya itu – filsafat dan’irfan. Namun, meski juga banyak berbicara tentang ‘irfan sejauh mendorong minat tokoh-tokoh seperti Husayn Nasr, Henry Corbin, dan Toshihiko Izutsu untuk rajin menyambangi pengajian-pengajiannya, Thabathaba’i dikenal dengan beberapa karya filosofis penting, termasuk Bidayah al-Hikmah dan Nihayah al-Hikmah, serta Usus-e Falsafeh wa Rawisy-e Rialism (Dasar-dasar Filsafat dan Mazhab Realisme) – yang diberi catatan kaki amat ekstensif oleh Muthahhari. Belakangan dia amat dikenal dengan magnum-opus-nya di bidang tafsir al-Qur’an dengan karya 20 jilidnya berjudul al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Meski berlandaskan pada penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, karyanya ini tak bisa sama sekali lepas dari kecenderungan filosofisnya yang mengambil bentuk penjelasan filosofis bagi setiap kelompok ayat yang diulasnya.
Bersambung…
Dr.Haidar Baqir