Membincang Metodologi Ayatullah Murtadha Muthahhari (Bagian Kedua)
Akhirnya mengenai Nahj al-Balaghah. Selain dikenal merupakan suatu model ketinggian susastera Arab – seperti anatara lain diungkapkan oleh Syaikh Muhammad ‘Abduh – kitab ini berisi banak ungkapan-ungkapan teologis, filosofis dan mistis yang amat sophisticated. Selain dari hadis-hadis qudsi – yang di kalangan Syi’ah memiliki arti yang jauh lebih penting ketimbang di kalangan Sunni – dari kitab inilah (di samping ucapan-ucapan para Imam lain) kaum Syi’ah mengali banyak dasar-dasar filsafat dan ‘irfan. Inkorporasi Nahj al-Balaghah ke dalam sistem filsafat Islam yang berkembang di Iran diketahui mencapai puncaknya pada aliran Hikmah Mulla Shadra. Untuk sekadar mengetahui isinya, khususnya yang menarik minat Muthahhari, berikut ini adalah topik-topik yang terutama dibahas kitab ini Muthahhari dalam karyanya yang berjudul Sayr-e dar Nahul Balaghah (perlancongan dalam Nahj al-Nalaghah) : Teologi dan Metafisika, Suluk (tashawuf) dan ‘Ibadah, Kuliah-kuliah mengenai Akhlak, serta Dunia dan Keduniaan (dalam hubungannya dengan sikap seorang ‘arif atau sufi terhadapnya).
Di atas semuanya itu, Muthahhari adalah seorang pemikir Syi’i yang amat percaya kepada rasionalisme dan pendekatan filosofis yang menandai mazhab yang satu ini. Di dalam Syar dar Nahj al-Balaghah, misalnya, Muthahhari membantah pernyataan sebagian pengamat yang menyatakan bahwa rasionalisme dan kecenderungan kepada filsafat lebih merupakan ingredient ke-Persia-an ketimbang ke-Islam-an. Dia menunjukkan bahwa semuanya itu berada di jantung ajaran Islam, sebagaimana ditunjukan oleh al-Qur’an, hadis Nabi dan ajaran para Imam.
Agenda-agenda Muthahhari
Selanjutnya, rasanya amat relevan jika kita mencoba menerka tujuan dan agenda di balik dorongan pada diri pemikir ini dalam kiprahnya sebagai pemikir Islam.
Pertama, bagi Muthahhari,berpikir dan melakukan perenungan serta pemahaman intelektual adalah tujuan hidup seorang Muslim. Hal ini kiranya mudah dipahami jika kita pelajari betapa Islam melihat tujuan hidup sebagai makrifat Allah (pengetahuan tentang Allah). Kita dapat menduga bahwa, bagi Muthahhari, pencerahan intelektual adalah salah satu kebahagiaan tertinggi (Lihat risalahnya yang berjudul Happiness). Inilah semacam eudemoniaAristotelian, yang memang menjadi tujuan setiap filosof dan pemikir, tak terkecuali Muthahhari. Nah, untuk menjamin kesahihan hasil suatu proses pemikiran, apalagi jika hal itu menyangkut konsep tentang Tuhan yang begitu urgen bagi kebahagiaan manusia sekaligus begitu mendalam dan rumit, maka suatu metodologi berfikir yang benar – yang, sepert akan kita lihat di bawah ini, harus bersifat rasional dan filosofis — merupakan sesuatu yang mutlak.
Meskipun demikian, tentu saja Muthahhari bukanlah orang semata-mata bersifat individualistis. Bukan saja wawasannya yang luas dan mendalam tentang Islam akan segera mencegahnya dari mengkhianati semangat profetis agama ini dengan bersikap seindividualistis itu, budaya Syiah yang disimbolkan dalam karakter Imam ‘Ali dan para sahabat dekatnya dalam kehidupan Syiah – termasuk Salman al-Farisi, Abu Dzar, dan Miqdad yang kesemuanya merupakan “aktivis-aktivis” dalam jihad – terlalu dominan pada diri Muthahhari sehingga sikap ekstrem sedemikian tak terbayangkan baginya. Dan memang tujuan yang lebih dari sekadar bersifat individualistis inilah yang terasa banyak mewarnai pemikiran-pemikiran Muthahhari. Maka, sebagai tujuan kedua kiprahnya, Muthahhari telah menetapkan bagi dirinya tugas untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam dalam suatu cara yang sesuai dengan kebutuhan manusia modern akan pemikiran-pemikiran yang bersifat rasional.
Terkait dengan itu, Muthahhari berkiprah di suatu masa yang menyaksikan derasnya arus pengaruh pemikiran yang datang dari Barat. Disamping adanya pengaruh-pengaruh positif dari Barat, Muthahhari merasakan tantangan pemikiran-pemikiran Barat tertentu terhadap agama. Diantara tantangan yang terasa sangat menekan adalah Marxisme. Iran sejak tahun 60-an memang banyak diterpa oleh pengaruh aliran ini. Pengaruhnya terasa makin lama makin kuat. Hal ini tampak antara lain dalam bermunculan dan menguatnya partai dan kelompok-kelompok yang bersifat kekiri-kirian. Dalam Masyarakat dan Sejarah– yang merupakan bagian dari Pengantar terhadap Pandangan Dunia Islam (Muqaddima-ye Jahan Biniy Islamiy)– ia menyatakan: “Saat ini, di kalangan penulis-penulis Muslim tertentu (kecenderungan kepada Marxisme dan pandangan bahwa Islam mengandung paham-paham Marxistik) mendapatkan penerimaan yang luas dan dipandang sebagai tanda keluasan pikiran dan mode yang lagi in…” Pada saat yang sama, Muthahhari juga merasakan adanya pengaruh paham lain Barat yang mencengkeram kuat atas negara-negara Muslim, termasuk Iran. Itulah materialisme. Ia bahkan merupakan soko guru berbagai paham yang muncul dalam peradaban Barat modern. Untuk meng-address isu-isu ini , Muthahhari pun ia banyak menghasilkan karya-karya yang berupa kritik terhadap paham-paham ini, termasuk Masyarakat dan Sejarah dan (Argumentasi-argumentasi) Pendukung (Paham) Materialisme. Bebrbeda dengan karya-karya yang, kurang lebih, popular di atas, Muthahhari juga menelurkan karya-karya yang benar-benar bersifat filosofis, antara lain komentar ekstensifnya atas karya salah seorang guru utamanya, Allamah Thabathaba’i yang berjudul Usus-e Falsafah wa Rawisy-e Rialism (Dasar-dasar Falsafah. Dan Mazhab Realisme). Karya 4 jilid yang berupaya mengkritik materialisme sekaligus memaparkan dasar-dasar filsafat dan pandangan dunia Islam yang dianggap dapat merupakan alternatif yang lebih bisa dipertanggungjawabkan. Inilah tujuan ketiga Muthahhari.