Membuka Jendela Rahmat Allah dengan Pintu Taubat (bag 1)
Taubat adalah jendela harapan menuju rahmat ilahi yang terbuka bagi siapa saja. Lubang menuju ke dunia yang terang benderang serta berpengharapan. Sehingga manusia dapat melihat semua jalan tanpa terhalangi apapun.
Jika Tuhan berjanji untuk menerima taubatnya orang-orang yang bertaubat. Hal itu adalah kasih sayang terbesar-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Allah SWT. membuka jendela tersebut menuju jalan yang terang. Allah SWT berfirman:
لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَميعاً
Artinya: “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa-dosa.” (Az-Zumar: 53)
Taubat memberikan harapan dan menepiskan keputusasaan. Karena kasih sayang Ilahi lebih besar dari pada dosa-dosa hamba-Nya. Dan rahmat-Nya lebih besar dari pada murka-Nya.
Imam Ali (kwj) dengan indah menggambarkan rahmat dan kasih sayang Allah SWT ketika memberi peringatan kepada para pendosa. Beliau menggambarkan rahmat Allah sebagai berikut:
Ingatlah! Ketika kamu berpaling, Dia mendatangimu. Dia mengajakmu kepada ampunan-Nya, dan tenggelam dalam lautan kasih sayang-Nya. Tetapi kamu berpaling lagi dari-Nya, dan kamu beralih kepada yang lain. Betapa kuatnya Dia, dan betapa lemahnya dirimu. Apa yang membuatmu berani menentang? Ketika kau mendapatkan rahmat Ilahi dan Ia menutupi aibmu. Dan engkau menikmati kasih sayang-Nya. Dan Dia tidak menjauhkanmu dari melihat kasih sayang-Nya. Dan Dia tidak menjatuhkan harga dirimu. Sekarang, jika engkau mentaati-Nya, perhatikan bagaimana Dia akan lebih mengasihimu.[1]
Manusia menginginkan kehidupan yang sempurna. Dan jalan kesempurnaan hidup dilewati dengan dua sayap, yaitu ketakutan dan harapan. Jika seseorang berputus asa dari rahmat dan ampunan-Nya, maka ia akan melakukan semua kejahatan. Ketika harapan untuk keselamatan dan jendela menuju kebebasan tidak ada, maka tidak akan mempedulikan dosa apapun karena itulah putus asa dari rahmat Ilahi adalah salah satu dosa besar.
Jika seseorang berkata: semuanya sudah terlanjur dan aku tidak punya lagi jalan kembali, maka pintu menuju dosa-dosa yang lebih banyak lagi akan terbuka. Allah SWT, dengan kasih sayang kepada hambaNya, pertama-tama akan memanggilnya untuk bertaubat. Dia akan membisikan ke hatinya supaya kembali, terkadang-kadang dengan membuatnya menderita kesedihan. Yang mana membuatnya berpikir sehingga menyadari kesalahannya. Terkadang-kadang mengazabnya, sehingga ia mengingat Tuhan dan kembali kepadaNya. Terkadang-kadang menggiring orang yang menderita menuju jalannya sehingga mereka tergetar dan kembali kepadanya. Rencana-rencana Allah ini diperuntukkan supaya manusia bertaubat, yang merupakan manifestasi lain dari rahmatnya, sehingga manusia dapat terbebas dari kungkungan hawa nafsu dan setan. Imam Ali (kwj) menggambarkan: “Allah SWT membuka pintu taubat di hadapanmu.”[2]
Allah SWT. juga membukakan bagi pintu taubat bagi Adam yang tergoda bisikan setan ketika masih berada di surga, sehingga keluar dari surga.. Tidak hanya itu, Allah SWT juga mengajarkan kepadanya kalimat taubat. Dan kemudian membuat perjanjian untuk mengembalikannya ke surga.[3]
Apakah mungkin seorang pendosa yang dari lubuk hatinya, dengan niat yang tulus ikhlas berusaha kembali kepada Tuhannya, kemudian Allah SWT. menolak taubatnya?
Imam Ali (kwj) berkataa: ”Seandainya manusia diazab oleh Allah SWT. Dan semua nikmat meninggalkannya. Kemudian dengan niat yang tulus ia merangkak ke hadirat Allah SWT dan memohon ampunan. Allah SWT. akan mengembalikan lagi nikmat yang terlepas dari tangan mereka. Dan memperbaiki kembali kerusakan yang diakibatkan perbuatan mereka.”[4]
Lalu, apakah taubat seorang hamba bukanlah jendela menuju rahmat Ilahi? Kasih sayang Allah SWT lebih besar dari dosa, betapapun banyak. Hubungan dengan Allah SWT harus dibangun berdasarkan keinginan untuk mendapatkan rahmatNya yang luas. Karena ketika semua pintu tertutup bagi manusia, kelembutan rahmat Ilahi terbuka untuknya. Akan tetapi dengan syarat bahwasannya proses taubat ini dibarengi dengan penyesalan dan niat yang sungguh-sungguh. Hal ini dalam Islam dikenal sebagai taubah nashuha.
Taubat bukanlah lafaz, tetapi amal. Taubat bukanlah perkataan, tetapi gerakan. Ketika seseorang menyadari keburukan dosa. Dan menyesali kesalahan-kesalahan di masa lalu. Kemudian memutuskan untuk tidak mengulangi dosa itu lagi, dan berusaha menebus kesalahnnya di masa lalu. Maka taubatnya terbukti. Jika dalam riwayat “penyesalan” diidentikkan dengan taubat, maka penyesalan merupakan manifestasi dari taubat itu sendiri.
Jika seseorang belum menyesali dosa-dosanya, dan belum memutuskan untuk menjauhi dosa-dosa tersebut. Maka ia belum memiliki keputusan yang final untuk bertaubat dan menebus kesalahan masa lalunya. Jadi, penyesalan adalah unsur dasar dalam membuktikan taubat, dan istighfar adalah salah satu proses dari taubat, sedangkan menebus kesalahan adalah proses selanjutnya.
Dalam ayat-ayat Alquran, biasanya taubat disertai dengan melakukan perbaikan berupa amal saleh dan pengakuan. Misalnya dalam ayat dibawah ini:
وَ مَنْ تابَ وَ عَمِلَ صالِحاً
Artinya: “Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh…(QS. Al-Furqon: 71)
Dan,
إِلاَّ الَّذِيْنَ تَابُوْا وَ أَصْلَحُوْا وَ بَيَّنُوْا
Artinya: “Kecuali mereka yang telah bertobat, mengadakan perbaikan, dan menjelaskan (apa yang selama ini disembunyikannya). (QS. Al-Baqarah: 160).
Dalam Nahjul Balaghah disebutkan enam perkara yang menunjukkan hakikat taubat. Diriwayatkan seseorang mengucapkan “astaghfirullah” dihadapan Imam Ali (kwj).
Kemudian Imam Ali (kwj) berkata kepadanya: “tahukan kau apa istighfar itu? Istighfar adalah tingkat keutamaan manusia. Kata-kata yang memiliki enam makna dan tingkatan:
- menyesali masa lalu
- memutuskan untuk menjauhi dosa selamanya
- memberikan hak-hak rakyat serta menginginkan yang halal saja darinya
- membayar kewajiban-kewajiban yang terlewat
- daging haram yang tumbuh dibadanmu kau kikis sehingga daging yang baru dapat tumbuh
- merasakan beratnya ketaatan seperti halnya merasakan nikmatnya dosa. Pada saat itulah kamu mengucapkan “astaghfirullah”.[5]
[1] Nahjul Balaghah Khutbah nomor 223
[2] Nahjul Balaghah Surat nomor 31 (wasiat Imam Ali kepada Imam Hasan)
[3] Nahjul Balaghah khutbah no 1.
[4] Nahjul Balaghah khutbah no 178
[5] Nahjul Balaghah hikmah no 147