Menemukan Relasi antara Gus Dur dan Budaya ke Pasar
Bagian 1
Sahabat Gusdur yang budiman, pasar dunia semakin riuh dan bising, bukan hanya pasar harian: pasar minggu, pasar senin, tapi ada pasar pagi dan pasar malam, bahkan ada pasar yang tidak kenal waktu alias non stop. Juga ada pasar yang tidak kenal tempat, pasar kaget atau pasar dadakan. Aneka pasar ini menjual bermacam-macam produk dari yang paling dibutuhkan manusia sampai yang paling tidak dibutuhkannya; dari yang paling menyehatkan sampai yang paling menyakitkan. Pasar itu juga berkelas-kelas: ada pasar tradisional/konvensional; ada juga pasar modern dan super modern. Dengan kata lain,ada pasar rakyat ada pasar elite. Ada pasar yang paling terang, juga ada pasar yang paling gelap. Para penjual di pasar ini juga beragam sikap dan gayanya: dari yang paling cuek bebek sampai paling cerewet dan ceriwis. Pasar itu tempat yang menyenangkan sekaligus menjengkelkan. Sebab, kita bisa untung di pasar sekaligus bisa buntung;kita bisa jujur sekaligus bisa menipu. Pasar itu bisa mengayakan seseorang sekaligus bisa memiskinkannya. Pasar adalah pusat budaya dan peradaban suatu masyarakat. Kehebatan dan keunikan suatu pasar menggambarkan kehebatan dan keunikan masyarakatnya.
Kata “pasar”(suq) hanya dua kali disebutkan dalam Alquran dalam bentuk jama’ (plural). Yang menarik, 2 kali kata pasar disebutkan dalam dua ayat yang berbeda dalam satu surah, yaitu surah al-Furqan ayat 7 dan 20.
وَ قالُوا ما لِهذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعامَ وَ يَمْشي فِي الْأَسْواقِ
Dan mereka berkata;Mengapa Rasul ini memakan makanan dan jalan-jalan di pasar-pasar ? (QS. Al-Furqan: 7)
Utusan Tuhan merupakan insan yang paling beradab dan paling berbudaya, yang demikian itu karena mereka sering mondar-mandir ke pusat peradaban dan budaya manusia, yaitu pasar dan berdialog dengan pelbagai manusia dari pelbagai strata sosial di dalamnya.
“Kami para nabi diperintahkan untuk berdialog dengan manusia sesuai dengan kadar kemampuan akal mereka.” (Hadis).
Lalu apa hubungan Gus Dur dengan pasar? Gus Dur pernah berseloroh, Kementerian Agama itu seperti pasar.Semua hal ada. Hanya satu yang tidak ada. Apa itu Gus? Yang tidak ada dalam kemenag, ya agama itu sendiri.
Sewaktu kuliah di Al-Azhar, Mesir, Gus Dur tiba-tiba mengundang banyak temannya untuk pesta makan. Menu khusus yang dimasak sendiri oleh Gus Dur adalah Sop Ceker dan Kepala Ayam. Semua senang dan melahapnya hingga kenyang.
“Gus, bagaimana Sampeyan bisa mendapat ceker dan kepala ayam sebanyak ini?”
“Tadi di pasar saya bilang ke penjual ayam, ‘Minta ceker dan kepalanya buat kucing-kucing saya di rumah!’”
Sejak itu, ceker dan kepala ayam di pasar-pasar Mesir tak lagi gratis.
Gus Dur biasa mencukur rambutnya di kios cukur Yusuf Soebari yang berukuran hanya 3 x 10 meter di Pasar Senen. Meski tokoh penting, Gus Dur rela antre menunggu giliran jika Yusuf tengah kebanjiran pelanggan. Bahkan, Gus Dur juga tidak malu menggunakan toilet umum di Pasar Senen
MBAH SHONHAJI KEBUMEN, GURU SPIRITUAL GUS DUR. Beliau adalah salah satu diantara guru mursyid KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Kyai Shonhaji pergi ke pasar Tengok berbelanja sayuran sendiri. Di mata tetangganya itu tentu merupakan pemandangan yang aneh, mengesankan istrinya “kebangetan” membiarkan kyai yang sudah sepuh itu “kedangkrakan” ke pasar sendiri. Bersambung……..