Menuju Hidup Lebih Baik Dengan Berpikir Kulli Bukan Juz’i
Manusia selain ada perbadaan tapi mereka juga memiliki kesamaan dan keseragaman
Satu sisi kita bisa menilik mengkerucut, mencari dan mengumpulkan perbedaan diantara manusia hasilnya akan kita peroleh pemikiran yang lebih mengedepankan kepentingan golongan, selanjutnya lebih mementingkan kepentingan pribadi. Menilik dari yang kulli ke juzi.
Manusia sama-sama memiliki Tuhan, sama-sama merupakan makhluk hidup, sama-sama membutuhkan oksigen, makanan dan minuman, sama sama membutuhkan perhatian dan kasih sayang, sama-sama beragama, manusia sama-sama bermazhab, manusia sama sama punya rumah dan keluarga, sama-sama punya kepribadian masing-masing.
Kedua bisa menilik dari juzi ke kuli, jadi berangkat dari perbedaan yang sangat banyak dan lebih melihat persamaan-persamaan yang ada diantara manusia, dengan cara pandang ini maka, perbedaan akan berkurang warnanya, kita lebih bisa menerima orang lain, bisa menghargai orang lain. Bisa menghargai perbedaan dan akhirnya kita bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan yang utuh.
Konsep ini layak digunakan untuk seeorang muslim dengan mazhab aqidah atau fikih yang ia miliki, akhlak yang akan menjadi landasan bahwa dia tidak perlu untuk merendahkan agama lain, mazhab lain, atau kelompok lain. Warna-warna yang berbeda tidak akan begitu terlihat dengannya.
Selain itu perlu juga membuat batasan yang lebih rigid terkait pernyataan bahwa seseorang telah meninggalkan Islam, sehingga layak disebut murtad, kafir dan semacamnya. Pernyataan ini sangat riskan dan setiap muslim dengan berbagai perbedaan cara pandang aqidah dan fikihnya ketika dia secara pribadi atau apalagi golongannya disebut atau dituduh telah keluar dari ajaran suci Nabi saw, atau dituduh kafir dan murtad jelas akan terbakar kemarahannya. Perihal aqidah sangat dalam maknanya, hal ini berhubungan dengan hidup mati seseorang. Ketika seorang muslim disebut sudah murtad atau kafir, maka hal ini seperti sedang injak-injak harga dirinya yang paling berharga, karena hak beragama adalah hak paling utama dan pertama.
Batasan yang lebih sempit, sarat yang lebih banyak akan sangat berperan dalam membangun hidup yang lebih baik masing-masing masyarakat.
Ini sangat penting terutama dalam menyikapi kelompok yang mengaku ahli surga. Kelompok yang merasa sebagai pemilik kebenaran hakiki, diluar kelompoknya adalah kafir, diluar mereka bukanlah seorang muslim apalagi seorang mukmin. Syahadat kelompok lain itu tertolak dan hanya kelompok mereka yang diterima.
Cara pandang dalam menghadapi perbedaan berpengaruh pada sikap yang diambilnya. Perbedaan bisa jadi sebuah halangan tapi bisa juga menjadi sebuah peluang. Tergantung cara penyikapan yang diberikan.
Berbeda bukan berarti yang satu salah dan yang satu benar. Ketika kita menyikapi perbedaan tidak selalu dari sisi bahwa yang satu benar dan yang lain salah. Ini akan membuat kita lebih dewasa dalam menjalani hidup. Lebih mudah dan tidak gerah ketika medapati adanya perbedaan.
Bisa jadi keduanya sama-sama benar hanya berbeda sudut pandang saja. Kemungkinan ini juga bisa terjadi, atau bahkan kitanya saja yang tidak memiliki ilmu yang cukup. Pengetahuan kita belum memahami dua preposisi ini secara tepat, sehingga tentu sebaiknya kita tidak menghukumi dengan tergesa-gesa, kita bisa bertanya dan merujuk kepada orang yang lebih ahli. Orang yang memiliki wawasan yang lebih dan kita percaya bisa mendengar pertanyaan-pertanyaan kita dengan baik.
Perbedaan itu sifatnya wajar dan akan selalu kita temukan dalam berbagai aspek kehidupan. Perbedaan adalah sebuah kelaziman. Hal yang pasti akan ditemukan selama manusia memiliki kuasa, potensi, dan ikhtiar. Karena manusia diberi kemerdekaan untuk memilih. Manusia juga punya cita rasa yang berbeda-beda. Kita perlu belajar pada kisah Abdu Shaleh dengan Nabi Musa as. Disana kita lihat dua orang yang memiliki perbedaan pemikiran yang tajam.
Jangan sampai gara-gara perbedaan itu kita jadi bermusuhan. Perbedaan adalah alasan untuk memiliki lebih banyak kawan. Semakin banyak kawan maka perbedaan yang ada juga semakin banyak, untuk itu kita harus memiliki perasaan menghargai adanya perbedaan itu.
Perbedaan adalah suatu keunikan, sebuah seni yang memiliki nilai pada tempatnya. Jadi adanya perbedaan kadang menjadi alasan bahwa benda itu menjadi sangat berharga. Perbedaan dari yang lain yang membuat bernilai lebih tinggi.
Ubah parameter dari anda sebagai parameter ke Allah yang menjadi parameter. Allah mencintai persatuan, Allah mencintai silaturahmi, Allah mencintai kehidupan rukun. Ketika mempertajam perbedaan maka akan merusak persatuan, hal itu akan memperkeruh suasana. Akhirnya akan muncul pertikaian bahkan sampai berujung pada peperangan dan pertumahan darah. Hal yang jelas tidak diinginkan Allah SWT. Allah SWT adalah sebaik-baik penjaga. Kita disuruh untuk meminta pertolongan kepada-Nya[1]. Kita disuruh berlindung kepada-Nya[2]. Ini memberitahu kita bahwa Allah menginginkan manusia hidup aman.
Jadi kesimpulannya:
Untuk hidup lebih baik maka kita harus berpikir kuli bukan juzi.
Kedua kita harus menghargai adanya perbedaan.
Membuat batasan yang lebih sempit sebelum menilai orang lain murtad atau kafir.
Lebih mengutamakan persamaan demi menjaga utuhnya persatuan dan kesatuan.
Disarikan dari sebagian ceramah Ayatullah A’rafi di ICC Jakarta
[1] اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ
[2] قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِۙ
مَلِكِ النَّاسِۙ
اِلٰهِ النَّاسِۙ