Metafisika Tradisional dan Renaisans
Fardiana Fikria Qurany-Sejarah Filsafat Modern Eropa dialaskan pada semacam upaya pemberontakan intelektual atas kemapanan metafisika tradisional yang berasimilasi dan menjelma dalam wujud teologis. Dimana rasio dianggapnya hanya menjadi pelayan bagi kebenaran agama. Hingga kemudian diktum-diktum teologis secara praksis dijadikan landasan tatanan sosial yang dogmatis dan karenanya bersifat totaliter. Dan manusia dengan sendirinya mesti teratasi dan terkurung dalam penetrasi dogma teologis sehingga lenyaplah manusia sebagai manusia dengan segala kreativitasnya, kemampuan individualitasnya, dan semua tentang manusia dijalankan bukan dari manusia tapi menurut apa kata agama.
Namun, sejarah memang seringkali menunjukkan sifat pertentangannya. Setotaliter dan sekuat apapun daya politis agama abad pertengahan (Gereja Abad Tengah), tak berlangsung awet. Gerakan humanisme pelan-pelan muncul. Sebuah gerakan pemikiran yang mencoba melihat ulang nilai rasio di hadapan kebenaran. Otoritas agama kian memudar, terutama saat sains yang dengan sepenuhnya dijangkarkan pada kemampuan rasional-ilmiah menunjukkan daya dobraknya di tengah-tengah kejumudan teologis. Renaisan pun bangkit: Pencerahan.
Intelektualisme abad Renaisan, sesungguhnya secara literasi adalah sebentuk arus balik. Yakni sebuah kegiatan intelektual yang mencoba melihat kembali khazanah (filsafat) Yunani semata dalam perspektif rasional. Dan dipisahkan dari ajaran-ajaran keagamaan yang dalam abad skolastik hanya menjadi pelayan agama. Namun demikian, Yunani hanya menjadi sarana awal saja, selanjutnya Modernisme mengambil pijakan yang sama sekali berbeda dengan pemusatan pada subyek atas obyek. Hal yang di masa Yunani obyek diandaikan begitu saja tanpa memeriksa status subyek (kemampuan Rasio) dalam mengkonstruksi Obyek.
“Cogito” dalam terang filsafat Descartes diabsahkan diabsahkan sebagai fondasi pemikiran modern. Apapun itu yang disebut sebagai kebenaran, tak lagi bisa diserahkan pada otoritas di luar Rasio (sang Cogito). Dengan Cogito, praktis Descartes membalikkan sejarah pemikiran Eropa dari Otoritas Agama (Gereja) ke Rasio. Kuasa rasio dalam perbincangan kebudayaan melapangkan jalan bagi tumbuh mekarnya ilmu pengetahuan (sains-teknologi) sehingga tak lagi dibebabi ketakutan bertabrakan dengan penilaian dogmatis agama.
Antara Cogito dan Metafisika Tradisional
Meski filsafat modern hadir mendobrak keyakinan keagamaan, namun tetap saja membawa anasir-anasir metafisis yang diafirmasi secara rasional. Buktinya, Descartes sendiri mengakui ide Tuhan sebagai ide yang benar yang Tuhan sendiri ilhamkan (innate idea) di alam pikiran manusia. Begitupun Kant, meski menihilkan kapasitas rasio dalam mengkonsepsi wujud Tuhan sebagai diriNya (noumena) tetap saja mengukuhkan keberadaannya sekalipun dengan jalan analitik.
Artinya bisa kita pahami bahwa metafisika tradisional dimana nalar agama menjadi bagian di dalamnya tetap terkukuhkan oleh sejumlah pemikir filsafat modern. Hanya memang perbedaan terjadi pada level metodologis. Tradisi skolastik memulainya dari landasan iman teologis yang sejak awal meyakini metafisika, sementara modernitas memulainya dengan rasio skeptis sebagai jalan metodologis. Sehingga apa yang nampak di sini adalah perbedaan jalan pikiran (metodologi) dari pengandaian atas obyek keyakinan ke pengandaian akan subyek yang meyakini, hal yang kemudia dikenal sebagai revolusi copernikan.
Bagaimana dengan Tradisi Islam
Filsafat Islam, meskipun juga muncul secara evolutif, tidak terutama mempertentangkan subyek atau obyek. Namun menyisir aspek-aspek aksiomatik sebagai standar kemungkinan bagi sesuatu yang benar. Dimana ihwa aksiomatik tersebut adalah problem ADA (Wujud). Bahwa apapun yang mungkin sebagai fenomena baik subyek ataupun obyek selalu harus dilandaskan pada wujud. Karenanya, wujud adalah kepastian bagai kemungkinan segala sesuatu.
Diktum Cartesian “Cogito Ergo Sum” hanya mungkin terekspresi sebagai suatu tatanan konsepsi bila Aku sebagai Subyek pemikir dan peragu telah ada sebagai dirinya, bahkan sebelum konsepsi Ada itu sendiri mengada. “Aku berpikir” telah menunjukkan suatu eksistensi dengan sendirinya sebelum pengungkapan akan eksistensi itu sendiri (ergo sum). Modernisme Eropa dengan konsepsi Cogito-nya menjadi problematik lantaran nilai eksistensialnya berhenti sebagai “pengungkapan” bukan landasan ontologis dalam dirinya. Karenanya eksistensi raib oleh rimbunan fenomena-fenomena keberpikiran.
Metafisika yang secara tradisional adalah penegasan asas eksistensial bagi kemungkinan segala sesuatu berubah menjadi perkara epistemologis. Alih-alih sebagai landasan, ia malah dilandasi oleh sesuatu yang justru melandasinya. Keraguan-keberpikiran dianggap posisi subprem ketimbang eksistensi peragu dan pemikirnya. Hingga kemudian absolusitas (eksistensi sebagai landasan) serta merta terhinggapi penyakit skeptis sehingga segalanya nampak relatif.
Hukum kenyataan sebagai hal independen pada realitas tereduksi sedemikian rupa pada konstruksi nalar. Sehingga nalar menjadi ukuran keberadaan dan kebenaran. Kenyataan hakiki sebagai kenyataan mesti beralas pada konsepsi. Praktis dengan pola berpikir model ini, kenyataan bukan sesuatu pada dirinya melainkan apa yang kita sebut sebagai kenyataan. Dunia bukanlah dunia melainkan apa yang kita pahami sebagai dunia. Ide tentang Tuhan pun harus tereduksi dalam kalkulasi konseptual, apakah Dia Ada atau tidak.
Namun begitu, semangat modernisme pemikiran filosofis sebagaimana yang terselebrasi di era renaisan di atas, memberi suatu noktah penting akan arti emansipasi dan liberasi nilai-nilai kemanusiaan. Bahwa bagaimanapun manusia mesti diberi ruang bebas dalam menemukan kebenaran. Karena kebenaran yang bertumpu pada dogmatisme potensial menyingkirkan harkat kemanusiaan sebagai subyek pelaku sejarah, alih-alih ia menjadi obyek sejarah.
Sejarah munculnya renaisans di Barat memahamkan kita bahwa sejarah manusia akan selalu menjadi sejarah tentang diri yang akan terus mencari bentuknya di alam kenyataan sesuai tantangan ruang dan waktu. Karenanya pula, segala jenis gagasan filosofis pada akhirnya akan ditantang untuk membuktikan kontribusinya pada kemanusiaan di hadapan sejarah.