Namaku Jihad Mughniyah
Oleh: Dina Y. Sulaeman*
Di era twitter dan facebook, mobilisasi opini publik kerap dilakukan dengan menggunakan tagar (tanda #) yang menunjukkan “kebersamaan”. Ketika ISIS menandai rumah-rumah warga Kristen di Mosul dengan huruf nun (N), muncul gerakan #WeAreN atau “Kami Semua Nasrani”. Gerakan ini menyebar di berbagai negara, diikuti oleh manusia berbagai agama.Ketika anggota Al Qaida/ISIS membunuh para kartunis di majalah Charlie Hebdo yang kerap menghina Rasulullah, muncul aksi protes besar-besaran mengecam aksi “terorisme atas nama Islam”. Tagar #JeSuisCharlie pun menjadi sangat populer. Bahkan banyak Muslim yang menggunakan tagar itu atau foto bertuliskan Je Suis Charlie (Saya Charlie).
Ketika seorang anak muda bernama Jihad Mughniyah gugur syahid dibom Israel, dari Lebanon muncul gerakan tagar ?#?JeSuisJihadMoughniye atau ????_????_????_????? # (Saya Jihad Mughniyah). Gemanya tidak terlalu besar. Media massa juga tidak ikut membesarkan gerakan ini, sebagaimana mereka secara masif memberitakan #JeSuisCharlie atau #WeAreN.
Hal ini terasa ironis. Jihad yang dilakukan Jihad Mughniyah adalah antitesis dari jihad ala Al Qaida/ISIS. Bila ISIS “berjuang” dengan membantai sesama muslim, Jihad Mughniyah bergabung dalam sebuah jihad yang hakiki. Jihad, ayahnya, dan dua pamannya adalah para pejuang Hizbullah yang gugur syahid dalam perjuangan mengamankan tanah air mereka dari serangan Israel.
Hizbullah dibentuk pada tahun 1982 sebagai organisasi militer perlawanan terhadap Israel yang telah menduduki Lebanon selatan sejak 1978. Pada tahun 2000, akhirnya Hizbullah berhasil mengusir Israel meski hanya dengan bekal senjata minim dan tanpa dukungan dari pemerintah Lebanon sendiri. Tahun 2006, Israel berusaha kembali memasuki wilayah Lebanon selatan. Setelah berperang 34 hari, Israel kembali takluk.
Sejak tiga tahun terakhir, ‘permainan’ berubah. Israel, AS, negara-negara besar Eropa, dan negara-negara Arab, beramai-ramai memberikan dukungan kepada kelompok teroris yang membawa bendera jihad. Para teroris (sebagian media menyebut mereka “jihadis”) itu muncul dalam banyak nama, antara lain ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), Jabhah al Nusra, dan Free Syrian Army. Meski punya banyak nama, dan di antara mereka juga saling berseteru, bahkan saling membantai, semua kelompok teror ini memiliki kesamaan, yaitu: menghendaki tumbangnya rezim Assad; mengeskalasi kebencian terhadap Syiah untuk mencari dukungan publik di seluruh dunia; mendapat dukungan dana, senjata, dan training dari Amerika Serikat (AS), Eropa dan negara Teluk; dan tidak pernah menyerang Israel.
Anggota pasukan “jihadis” sebagian besar justru bukan orang Suriah, melainkan datang dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia dan negara-negara Eropa. Kelompok-kelompok teror itu berafiliasi dengan Al Qaida dan memiliki ideologi yang sama yaitu takfiri-Wahabi, yang menghalalkan pembunuhan terhadap orang-orang yang berbeda dengan mereka. Baik Muslim Syiah, Muslim Sunni, Kristen, Druze, maupun suku Kurdi di Irak dan Suriah tak luput dari aksi bom bunuh diri dan pembantaian yang mereka lakukan secara brutal.
Meskipun awalnya wilayah operasi “jihad” mereka adalah Suriah, namun tak urung Hizbullah terpaksa terlibat. Alasannya jelas, jika Suriah sampai jatuh ke tangan para teroris, target selanjutnya adalah mengacaukan Lebanon dan Iran. Suriah, Hizbullah-Lebanon, dan Iran adalah tiga kekuatan di kawasan yang konsisten melakukan perlawanan baik langsung maupun tidak langsung terhadap Israel; serta memberikan dukungan kepada Palestina.
Tahun 2006 Hizbullah disanjung-sanjung oleh kaum muslimin, baik Sunni maupun Syiah, karena dengan sendirian mampu mengalahkan Israel yang didukung peralatan tempur paling canggih buatan AS. Tahun 2006 Hizbullah disebut-sebut ‘menyelamatkan muka kaum Arab’ karena hanya dalam 34 hari, mampu memukul mundur Israel. Namun sejak Perang Suriah, Hizbullah dikecam habis-habisan oleh publik pro-teroris (yang berkedok jihadis).
Yang dihadapi Hizbullah di Suriah secara lahiriah memang muslim yang mengaku bermazhab Sunni. Namun sejatinya mereka bukan Sunni, melainkan kaum takfiri – Wahabi yang sedang menari bersama genderang Israel. Sudah terlalu banyak bukti foto dan video yang memperlihatkan para teroris sedang dirawat di rumah sakit Israel, bahkan bersalaman dengan Netanyahu, adanya ulama-ulama Wahabi yang menyatakan berterima kasih kepada Israel, adanya politisi dan jenderal AS yang melakukan pertemuan dengan para pemimpin kelompok teror, dan suplai senjata dari AS, Israel dan Eropa, dan yang terbaru, AS dan Perancis terang-terangan mengirimkan ratusan tentaranya ke Suriah.
Nama Jihad Mughniyah mulai dikenal publik pada tahun 2009. Dia muncul di hadapan ratusan ribu orang yang menghadiri peringatan satu tahun gugurnya Imad Mughniyah akibat bom Israel. Berikut kutipan orasi Jihad:
“Aku Jihad Imad Mughniyah, anak komandan dan mujahid besar. …Sejak aku membuka mata, yang kulihat adalah senjatanya. Sejak aku dalam dekapannya, aku harus berpindah dari satu bunker pertahanan ke bunker yang lain. Aku melalui masa kecilku bersama ayahku, bersama bahaya yang selalu mengintai. Namun ayahku adalah simbol kasih sayang. Sekalipun ia memiliki banyak beban, ia selalu melimpahi kami kasih sayang. …Aku nyatakan, aku adalah bagian dari keluarga syuhada. Dua orang pamanku, Fuad dan Jihad, telah lama menjadi bagian dari syuhada. Kini, ayahku pun mendapat kehormatan sebagai syahid.”
Lalu, tibalah hari duka cita itu. Pada tanggal 18 Januari 2015, Jihad bersama enam orang lainnya, termasuk seorang jenderal Iran, Mohammad Ali Allahdadi, gugur syahid akibat dibombardir sebuah helikopter Israel. Saat itu mereka berada di dalam sebuah konvoi di Quneitra, sebuah wilayah di Suriah, dekat Gola. Mengapa mereka harus berada di Suriah? Tentu saja, dalam rangka berjuang menumpas ISIS, yang kini sedang dimusuhi dunia gara-gara membunuh sejumlah kartunis di Paris.
Jihad Mughniyah adalah korban ISIS. Sama seperti para kartunis Charlie Hebdo. Namun beda di antara mereka bagaikan langit dan bumi. Jihad berjuang untuk mengamankan tanah airnya dan membela rakyat Suriah yang sedang dihancurleburkan oleh ISIS. Sementara Charlie meraih popularitas karena mengolok-ngolok Nabi Muhammad. Meskipun kaum Muslim yang berakal sehat memang harus mengecam pembantaian terhadap Charlie Hebdo, namun pembelaan yang lebih hakiki seharusnya diberikan kepada Jihad. Mari katakan, Je Suis Jihad Mughniyah.
*kandidat doktor Hubungan Internasional Unpad