Narasi Diri dan Badai Epistemologi
Alfit Lyceum-Semula aku hanya cairan, menerobos masuk dalam kandungan. Berbulan-bulan aku di sana, bergerak bermetamorfosa. Gelap tanpa cahaya, sendiri tanpa saudara.
Sembilan bulan berlalu. Dorongan kuat menghempasku. Menuntunku ke lubang kecil, yang semula aku masuki. Sudah nasibku, masuk didorong, keluar didorong.
Dari proses masuk dan keluarnya aku, ada perempuan menahan perih, robek bagian tubuhnya. Ada luka, ada suka. Ada derita, ada bahagia. Cemas bercampur harap. Pada satu hentakan terakhir, aku terlahir.
Kilauan lampu silaukan mataku. Aku menangis gelisah, orang-orang malah sumringah. Kulihat perempuan cantik terkulai lemas. Lelaki di sampingnya mendekatiku, melantunkan sesuatu di kupingku, ia mengazaniku. Doktrin ketauhidan, di awal kelahiran.
Hari-hari berlalu. Panca indraku kian berfungsi, mereaksi dan mempersepsi. Tapi aku masih begitu rapuh, tak mampu berjalan apalagi berlari. Hanya berpindah dari gendongan ke pangkuan.
Masa-masa itu, kulalui hari dengan tidur. Sesekali menangis karena lapar. Ah, perempuan cantik itu begitu sigap. Mendengar tangisanku, ia langsung mendekap. Dengan nyanyian dan air susunya, aku kembali terlelap.
Waktu adalah aliran sungai, mengalir tanpa peduli. Kini aku di ujung belia. Usiaku bertambah, tidurku berkurang. Makan dan bebanku ikut bertambah. Pengetahuan dan kesadaranku, entah.
Lalu masuklah aku usia puluhan. Kulihat orang-orang berbincang, tentang alam, manusia dan Tuhan. Kulihat tua muda ibadah, rela mati demi agama.
Kuarahkan pandangan ke diriku. Kucermati identitasku. Ternyata aku sudah berbusana. Aku sudah beragama, sudah beriman dan meyakini Tuhan. Entah siapa yang kenakan busana-busana itu padaku, atau mungkin paksakan tanpa sadarku. Aku tak tahu.
Selaksa tanya menari dalam fantasi. Berlusin hari dipenuhi kontemplasi. Tuhan, alam, diri, iman bahkan kopi di hadapan, turut kurenungi. Evaluasi atas apa yang sudah kuyakini, dimulai.
Mengapa aku yakin pada Tuhan yang tak kulihat. Mengapa aku percaya pada cuan yang kulihat. Apakah ada dan tiada ditentukan mata? Bukankah mata kadang berdusta? Hamparan pasir bak genangan air. Kusangka telaga, nyatanya fatamorgana.
Haruskah akal kujadikan neraca. Pembeda ada dan tiada, kriteria benar dan salah, norma baik dan buruk. Bukankah akal pandai spekulasi, narasi retorik tanpa aksi heroik. Debat wacana kelamaan, sanak saudara kelaparan.
Oh, badai epistemologi menerpaku. Runtuhkan bangunan imanku. Kubuang semuanya, kuragukan segalanya, tak ada yang tersisa. Aku ragu, apakah aku ada atau tiada.
Tiba-tiba aku tersentak. Sekilas cahaya menampak. Seperti Descartes aku teriak. Yah, semua kuragukan, tapi tak bisa kuragukan keraguanku. Aku teramat yakin pada keraguanku.
Di atas keyakinan pada keraguan, kurekonstruksi bangunan iman. Jika raguku pasti ada, maka aku yang meragu, juga pasti ada. “Cogito ergo sum”, aku kumandangkan itu diktum.
Kini dengan sadar, kuyakini tiga perkara; aku, keraguanku, dan keyakinanku pada keraguanku.
Pondasi awal belum juga selesai. Badai epistemologi kembali melandai. Taburkan tanya ontologi semesta. Seperti Gazali diterpa tanya. Apakah ini mimpi atau nyata?
Dengan meyakini keraguanku, aku lari dari keraguan. Tapi aku kembali tertangkap, kini lebih erat mendekap. Aku ragu lagi, boleh jadi aku bermimpi.
Bagaimana jika aku yang meyakini keraguan, hanyalah hayalan, hanya serial mimpi yang berkepanjangan. Di sini aku yakin pada keraguan. Dalam mimpi, yang kulihat juga tak kuragukan. Bagaimana jika di sini ini, adalah mimpi yang akan sirna dengan sekali terjaga.
Bagaimana jika aku yang meyakini keraguan, hanyalah mimpi seekor kucing hitam. Begitu kucing itu terbangun, bukankah aku dan semua keyakinan dan keraguanku akan sirna seketika?
Berjam-jam aku terdiam. Di sampingku, tertidur kucing hitam. Di luar rumah, Subuh masih jauh. Tapi suara mesjid sudah terdengar keras. Aku cemas, jangan sampai kucing terbangun.
Dan benar saja, kucing berbulu hitam itu mulai bergerak-gerak. Keringat dinginku mengalir, terbayang organ tubuhku hilang satu-satu.
Lalu, kucing hitam itu benar-benar bangun dari tidurnya. Berakhir sudah mimpi panjangnya. Dan aku,…