Nikah Mut’ah dalam Fikih Lima Mazhab
Apa nikah mut’ah itu? Dan apa hukumnya? Adalah dua soal di antara sekian banyak soal terkait dengannya. Jawaban singkat yang mudah dipahami dari sebagian orang ialah bahwa mut’ah itu zina! Maka hukumnya haram. Banyak dari mereka mengatakan demikian dari “katanya”. Atau dari satu buku saja tanpa perlu membaca buku lainnya yang terkait. Hal ini tentunya tak cukup bagi pencari ilmu yang ingin tahu pendapat lainnya untuk study banding dan memperoleh wawasan yang lebih luas.
Satu hal yang mungkin penting disampaikan, ialah bahwa masalah utama nikah mut’ah adalah hukum syarinya dan ini menjadi urusan fikih. Atau apa yang diistilahkan dengan:
1-Hukum taklifi, yakni hukum syari yang berkenaan langsung dengan perbuatan kita. Secara ringkas ialah lima macam hukum; wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah.
2-Hukum wadhi; ialah hukum syari yang tidak berkenaan langsung dengan perbuatan, melainkan dengan diri pelaku dan apa-apa yang terkait dengan dirinya seperti pernikahan, kepemilikan dan lainnya.
Jika kemudian pembicaraan menarik masalah moral atau sosial dan biologis atau psikologis, bahkan sampai masalah medis, semua ini adalah permasalahan yang muncul setelah pokok masalahnya itu, yaitu mengenai hukumnya. Karena, terkadang orang berbicara bla bla bla tentang satu perkara, misalnya tentang poligami, seperti hendak melarang semua orang dari melakukannya atau seolah ia mempertanyakan lagi, kenapa dibolehkan? Atau seakan ia mampu mengubah hukumnya yang sudah kukuh.
Sesungguhnya, fungsi dari pengetahuan akan hukum terkait suatu masalah, agar kita dapat menentukan sikap, jika haram maka kita jauhi. Jika halal, tak berarti harus melakukannya. Tentulah kita menghukumi ini haram dan itu halal, harus berdalil atau didasari oleh sumber-sumber hukum; Alquran, Sunnah dan lainnya. Selain itu, pengertian mutah, aturan dan semua permasalahan yang terkait dengan syariat menjadi urusan fikih.
Apa Mutah itu?
Mutah atau nikah mu`aqqat (sementara waktu) atau akad munqathi (temporal), semuanya berarti yang sama. Yaitu, pernikahan syari untuk masa yang dibatasi. Empat mazhab; Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali tidak membedakan nikah mu`aqqat dengan nikah mutah. Meski dikatakan bahwa yang masyhur di kalangan Hanafiyah, disyaratkan dalam nikah mutah lafaznya, dengan mengatakan kepada si perempuan: Mattiîni bi nafsiki atau Atamatta biki atau Mattatuki bi nafsi.
Dalam fikih Ahlulbait, disyaratkan dalam akad mutah:
1-Ijab dan qabul. Dalam ijab, si perempuan mengatakan: Matta`tuka, atau zawwajtuka, atau ankahtuka nafsi. Sedangkan dalam qabul, si laki mengatakan: Qabiltu dan semacamnya.
2-Menyebutkan mahar.
3-Menyebutkan masa tertentu tak lebih dari usianya dua belah pihak. (Sampai di sini titik, menurut fikih Ahlulbait)
Mutah itu dengan akad nikah dengan masa yang ditentukan, seperti mengatakan kepada si perempuan: Zawwijîni nafsaki –syahran; artinya, Kawini saya denganmu selama sebulan (misalnya). Atau, Tazawwajtuki sanah; artinya, Aku nikahi kamu selama setahun (misalnya), dan atau lafaz-lafaz semacamnya. Baik yang demikian diucapkan di depan saksi-saksi dan dengan kehadiran wali, ataupun tidak.
Nikah mutah, mau dikatakan sama ataupun beda dengan nikah muwaqqat, disepakati adalah batil (tidak sah). Namun, semua ulama Imamiyah (Ahlulbait) dan sebagian ulama Ahlussunnah mengatakan bahwa akad munqathi (mutah) adalah boleh (yakni, sah).
Asbabul Wurud Nikah Mutah
Dalam kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arbaah wa Madzhab Ahlilbait menyebutkan dua hal yang dihadapi muslimin pada masa awal Islam (yang dipahami penulis sebagai pengantar pada legalitas mutah secara syari), sehingga sulit bagi mereka menyempatkan diri- untuk melakukan pernikahan dan membina rumah tangga:
1-Mereka dalam minoritas yang mengharuskan perang secara berkesinambungan dengan musuh-musuh mereka.
2-Mereka ditimpa krisis ekonomi.
Selain itu, belum lama bagi mereka masa sebelum Islam (yakni masa Jahiliyah) yang di dalamnya ketika itu mereka mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti syahwat yang tak terkontrol terhadap kaum wanita. Satu orang jika mau bisa bermain dengan beberapa wanita sekaligus dan melampiaskan nafsunya. Lalu bagaimana dengan keadaan mereka yang sedang berperang setelah itu? Dalam kondisi demikian datanglah pensyariatan untuk sementara waktu, yang memecahkan problem mereka itu. Yaitu nikah mutah.
Pernikahan ini mirip dengan hukum urfi temporal selama perang. Karena pasukan itu terdiri dari para pemuda yang belum beristeri dan tidak dapat melakukan pernikahan biasanya (zawâj dâim). Dalam keadaan tersebut, tertolak oleh akal menuntut mereka agar menurunkan daya syahwat mereka dengan puasa. Karena, bagaimanapun melemahkan pejuang adalah hal yang tak dibenarkan. Jadi, kondisi itu menjadi prinsip dalam pensyariatan mutah.
Hal itu diterangkan dalam sebuah riwayat Muslim dari Sabrah, bahwa: Rasulullah saw menyuruh kami melakukan mutah pada tahun kemenangan terhadap Mekah (Fathul Makkah) ketika kami memasuki Mekah. Kemudian kami tidak pergi hingga beliau melarang kami (melakukan itu). Adalah riwayat yang jelas mengenai bahwa hukum temporal ditentukan oleh kondisi mengharuskan perang.
Demikian di antara argumen atas legalitas syari bagi nikah mutah, yang kemudian datang larangan setelah itu. Namun dalam fikih Ahlulbait diterangkan bahwa yang kukuh dalam Islam ialah pensyariatan kehalalannya yang tak bisa terlepas darinya. Kecuali jika ada dalil qathi (yang pasti) atas adanya nâsikh (yang menghapusnya), tapi tak terbukti adanya.
Referensi:
-Al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arbaah wa Madzhab Ahlilbait