Perempuan Sebagai Pelopor Revolusi
Perempuan Sebagai Pelopor Revolusi
Dina Y. Sulaeman
Sekilas Statistik Kondisi Perempuan Di Dunia
· Perempuan usia 15-44 tahun lebih beresiko mengalami pemerkosaan dan KDRT dibanding mengalami kanker, kecelakaan mobil, perang, atau malaria.
· Di Australia, Kanada, dan Israel 40-70 % dari jumlah perempuan yang tewas terbunuh adalah akibat pembunuhan oleh partner (suami/pacar) mereka.· Di AS, 1/3 dari jumlah perempuan yang tewas terbunuh adalah akibat pembunuhan oleh partner (suami/pacar) mereka.
· Di Afrika Selatan, seorang perempuan dibunuh setiap 6 jam, oleh partner intim mereka.
· Di India, 22 perempuan dibunuh setiap harinya terkait masalah mas kawin.
· Di Guatemala, rata-rata dua perempuan dibunuh setiap harinya.
· Jumlah perempuan yang mengalami kekerasan seksual yang dilakukan pria asing (non partner) setelah usia 15 tahun adalah kurang dari 1 % di Ethiopia dan Bangladesh, dan 10-12 % di Peru, Samoa, Tanzania.
· Di Switzerland, 22,3% perempuan pernah mengalami kekerasan seksual yang dilakukan pria asing (non partner) sepanjang hidup mereka.
· Di Kanada, 54% perempuan usia 15-19 tahun mengalami kekerasan seksual saat pacaran.
· 40 -50 % perempuan di Uni Eropa kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja mereka.
· Di AS, 83 % perempuan usia 12 -16 tahun mengalami pelecehan seksual di sekolah.
· Di negara-negara Asia-Pasifik, 30 -40 % perempuan pekerja mengalami kekerasan seksual di tempat kerja meliputi verbal dan fisik.
· Di banyak masyarakat, korban pemerkosaan, perempuan yang dicurigai pernah melakukan hubungan seks sebelum pernikahan, dan perempuan yang dituduh berzina, dibunuh oleh keluarga mereka karena dianggap merusak kehormatan keluarga. Pembunuhan yang diistilahkan “honour killing” ini setiap tahunnya (di seluruh dunia) dilakukan terhadap rata-rata 5000 perempuan.
· Diperkirakan 2,5 juta orang diselundupkan setiap tahunnya, untuk dipekerjakan di sebagai pelacuran dan budak. 80% dari angka itu adalah perempuan dan anak-anak.[1]
· Selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen di Indonesia.[2] 93,7 persen remaja Indonesia (SMP-SMA) pernah melakukan hubungan seks dan 21,2 % remaja putri pernah melakukan aborsi.[3] Kaum perempuan paling banyak mengalami kekerasan dan penganiayaan oleh orang-orang terdekatnya serta tindak perkosaan di lingkungan komunitasnya sendiri[4]
Kesimpulan umum yang bisa diambil: kondisi perempuan di dunia, baik di Barat maupun di Timur masih sangat memprihatinkan. Jargon liberalisme versus penindasan agama tidak bisa lagi dijadikan justifikasi untuk menilai kondisi perempuan. Dengan kata lain, kondisi buruk perempuan di negara-negara muslim tidak bisa dianggap sebagai akibat dari ‘penindasan agama’ karena terbukti, di negara-negara Barat yang menganut paham ‘kebebasan perempuan’ pun kondisinya juga sangat memprihatinkan.
Karena itu, dalam makalah ini, penulis tidak akan membahas isu liberalisme. Sudah terlalu banyak bukti yang menunjukkan kegagalan konsep liberalisme dalam memuliakan perempuan. Liberalisme bukan lagi alternatif yang layak dipilih oleh kaum muslimah. Namun, bila berpaling kepada ajaran Islam pun, masih banyak keraguan yang muncul saat melihat realitas buruknya kondisi kaum perempuan di negara-negara muslim.
Di manakah letak persoalannya dan di mana jalan keluar?
Berkaca pada Kehidupan Fathimah Az-Zahra
Kondisi perempuan di dalam masyarakat Arab era pra-Islam sama buruknya, atau mungkin kondisi hari ini jauh lebih buruk. Perbudakan perempuan di era modern masih terjadi, bahkan dalam bentuk yang lebih masif dan terkoordinasi. Kecanggihan alat komunikasi dan jaringan perbankan, membuat para pelaku sex trafficking dengan mudah bertransaksi satu sama lain, meskipun tinggal di jarak yang sangat berjauhan. Perempuan-perempuan muda dari Asia atau Eropa Timur, dengan ‘mudah’ diekspor ke berbagai negara di dunia. Pusat-pusat pelacuran dari berbagai penjuru dunia, dengan mudah mendapat suplai gadis-gadis dari negara manapun yang diinginkan, hanya dengan mengangkat telepon. Situs “Not For Sale” mencatat, dewasa ini ada lebih 30 juta manusia yang dijadikan budak di seluruh dunia (bekerja di berbagai sektor, termasuk bisnis seks).
Dalam masyarakat Arab jahiliyah, kelahiran bayi perempuan dipandang sebagai peristiwa yang memalukan sampai-sampai mereka lebih memilih menguburkan bayi perempuan hidup-hidup. Nabi Muhammad diejek oleh para penentangnya sebagai ‘abtar’ (orang yang terputus garis keturunannya karena tak memiliki anak laki-laki). Allah menurunkan wahyu surah Al Kautsar, yang bermakna bahwa Allah telah memberikan kautsar atau nikmat yang banyak, yaitu kelahiran Fathimah. Allah menyatakan, “Sesungguhnya musuhmulah yang abtar.”
Ali Syariati menyebut fenomena ini sebagai sebuah revolusi yang mengubah paradigma masyarakat terhadap perempuan. Setelah kelahiran Fathimah, justru perempuan dipandang sebagai penerus garis keturunan bagi seorang Nabi Besar. Nabi pun menunjukkan sikap-sikap yang berbeda dari tradisi masyarakat kala itu. Beliau berdiri untuk menunjukkan penghormatan ketika Fathimah datang. Beliau mencium tangan Fathimah dengan kasih sayang. Setiap bepergian, Nabi mendatangi rumah Fathimah dulu untuk berpamitan dan ketika pulang, rumah Fathimah-lah yang didatangi pertama kali untuk melepas kerinduan.
Nabi Muhammad bersabda, “Fathimah adalah bagian dariku, cahaya mataku, buah hatiku, dan nyawa yang selalu menyertaiku. Dia adalah bidadari berwujud manusia.”
Suatu hari seseorang mengkritik Rasulullah, “Mengapa engkau sedemikian sering mencium anak perempuanmu?” Rasulullah menjawab, “Setiap kali mencium Fatimah, aku mencium bau surga.”
Karena setiap perbuatan Nabi diyakini sebagai sunnah, bukan nafsu atau impulsivitas belaka, jelas perilaku Nabi terhadap Fathimah mengandung pesan penting untuk kaum muslimin. Anak perempuan adalah jalan menuju surga, harus dilindungi, dan dilimpahi kasih sayang yang besar. Bandingkan dengan kondisi kita hari ini: 60% kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orangtua mereka sendiri.[5] Pada tahun 2012, kasus kejahatan terhadap anak-anak 30%-nya berupa pemerkosaan dan pelecehan seksual.[6]
Namun di saat yang sama, Nabi tidak memperlakukan Fathimah seperti putri raja. Bahkan sejak kecil, Fathimah ditempa dengan berbagai kesulitan hidup. Di usia yang sangat belia, dia ikut merasakan kelaparan dalam masa embargo Makkah, yaitu masa ketika kaum muslimin diboikot oleh kaum kafir Qurays sehingga tidak bisa melakukan kegiatan ekonomi. Ketika ia menikah, dia mengerjakan sendiri semua pekerjaan rumah tangganya sampai-sampai tangannya melepuh karena menggiling gandum. Saat ia dan suaminya, Ali bin Abi Thalib, mendatangi Rasulullah untuk meminta pembantu, Rasulullah menjawab, “Akan aku berikan sesuatu yang lebih baik dari itu, yaitu bacaan wirid”
Saat ia memiliki pembantu, yaitu Fizzah, ia bahkan bergiliran mengerjakan pekerjaan rumah agar Fizzah tak terlalu lelah. Suaminya, Ali bin Abi Thalib, bekerja keras dengan tangannya sendiri untuk mencari nafkah.
Surah Al Insan merekam peristiwa ketika keluarga Ali hanya punya roti kering untuk buka puasa mereka. Roti kering itupun mereka sedekahkan kepada orang miskin, yatim, dan tawanan, sehingga untuk buka puasa dan sahur selama tiga hari berturut-turut, mereka hanya mengkonsumsi air.
Catatan sejarah ini perlu dilihat dalam konteksnya. Bisa dibayangkan, menantu seorang pemimpin umat pada masa itu (atau setara presiden hari ini) harus bekerja menjadi buruh kasar demi mendapatkan makanan untuk anak istrinya. Bahkan, ada saat-saat mereka tak memiliki makanan lebih dari sekali makan (dan itu pun kemudian disedekahkan). Apakah masyarakat waktu itu sedemikian miskin? Tentu saja tidak. Ada banyak kisah tentang para sahabat Nabi yang kaya raya. Nabi pun memiliki sebuah kebun yang luas di Fadak. Namun, hasil kebun itu digunakan untuk membantu fakir miskin, bukan untuk memanjakan putrinya.
Pada saat yang sama, Fathimah pun dikenal sebagai akademisi. Di sela-sela kesibukannya mengurus rumah tangga, dia menuntut ilmu. Bahkan salah satu cara yang digunakannya adalah meminta anaknya, Hasan untuk duduk di masjid mendengar ceramah Rasulullah. Lalu, Hasan pulang dan mengulangi lagi kata-kata kakeknya.
Selain itu, Fathimah dikenal sanga kuat ibadahnya, dia rutin tahajud sepanjang malam. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan ketinggian ilmunya karena ilmu (ma’rifat) adalah cahaya, dan cahaya hanya bisa masuk ke dalam hati dan akal yang jernih. ?Ma’rifat yang tinggi, membuat semua perilaku Fathimah adalah perilaku yang benar dan sesuai ajaran Islam, sampai-sampai Rasulullah bersabda, “Apa yang membuat Fathimah ridha, akan membuatkan ridha. Apa yang membuat Fathimah marah, akan membuatku marah.”
Tingginya tingkat keilmuan Fathimah terlihat antara lain ketika ia berpidato di depan kaum Muslimin, di saat-saat konflik politik pasca wafatnya Rasulullah. Fathimah dengan sangat fasih berpidato di depan umat, dan beradu argumen dengan para elit waktu itu; dia dengan sangat fasih mengutip ayat-ayat Al Quran sebagai landasan argumennya. Pidato ini juga menunjukkan bahwa saat dibutuhkan, perempuan pun bisa dan boleh terjun ke politik.
Berikut ini kutipan bagian awal dari khutbah Fathimah Az-Zahra.
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dia Yang Maha Esa dan Tiada sekutu bagi-Nya. Itulah kalimat di mana keikhlasanlah yang bisa menakwilkannya; hatilah yang dapat memahaminya; dan pikiran yang jernihlah yang dapat mengerti maknanya. Dialah Tuhan yang tak dapat dipandang mata; tak dapat disifati dengan kata-kata; dan tak dapat dijangkau bentuk-Nya lewat imajinasi dan bayangan manusia.
“Ia menciptakan alam semesta tidak dari sesuatu yang ada sebelumnya, atau meniru contoh yang mendahuluinya. Dia menciptakan semuanya dengan kekuasaan-Nya. Dia memberinya eksistensi dengan kehendak-Nya tanpa Dia perlu akan ciptaan-ciptaan-Nya itu; dan semua ciptaan-Nya itu pun tidak memberi-Nya keuntungan, melainkan semata-mata untuk mengokohkan hikmah-Nya, serta menyadarkan manusia untuk patuh kepada-Nya….”
Selain menunjukkan tingginya tingkat makrifat Fathimah, peristiwa penyampaian khutbahnya ini juga menunjukkan kesadaran penuh (peduli) akan kondisi umat. Bahwa Fathimah selalu memikirkan nasib orang lain, juga terlihat dari riwayat berikut ini. Suatu hari Fathimah sholat tahajud dan putranya, Hasan, mendengarkan doa yang dibacanya. Ternyata, yang didoakan oleh Fathimah adalah kebaikan untuk orang-orang lain. Ketika Hasan bertanya, “Mengapa ibu tidak mendoakan keluarga kita?” Fathimah menjawab, “Tetangga dulu [yang didoakan], baru diri sendiri.” Dengan kata lain, dia tidak memilih diam di zona nyaman di rumah tangganya sendiri dan mengabaikan urusan umat.
Spirit Fathimah dalam Revolusi Islam Iran
Bagi kita umat muslim Indonesia, kisah-kisah tentang Fathimah agaknya masih sekedar catatan sejarah. Sosok Fathimah masih terlihat sebagai ‘pelengkap’ di sisi kebesaran Rasulullah. Hal yang berbeda tampak dalam masyarakat Iran. Dalam tradisi panjang mereka, kisah kehidupan Fathimah secara turun temurun dibacakan, ditafsirkan, dan dikonstruksi ulang sehingga dapat dimaknai secara lebih mendalam dan kontesktual. Fathimah pun menjadi sosok idola bagi kebanyakan muslimah Iran.
Sebagai contoh, sikap Fathimah yang mendahulukan mendoakan tetangga, diaplikasikan dalam bentuk kesadaran untuk berkomitmen terhadap masyarakat. Shahidian (2002:15) menulis, “Keteguhan wanita Iran dalam berpegang pada nilai-nilai Islam adalah faktor penting dari keberhasilan Revolusi. Kesadaran akan isu perempuan dari perspektif Islam menambahkan kekuatan kepada mereka. Mereka percaya bahwa mereka sedang melakukan perjuangan suci untuk menyelamatkan keyakinan mereka, rakyat mereka, dan juga identitas mereka. Para wanita ini bahkan lebih kuat karena mereka mewujudkan kemurnian, kekuatan, dan komitmen pada masyarakat.[7]
Peran signifikan perempuan dalam Revolusi juga dinyatakan oleh Povey (2007). Dia mengungkapkan dua jenis organisasi masyarakat sipil yang cukup berpengaruh di Iran, yaitu serikat pekerja dan LSM perempuan. Menurut Povey, meskipun LSM perempuan tidak terlibat dalam upaya reformasi struktural, efeknya pada kekuatan kelembagaan sangat penting dalam proses demokratisasi. Selain itu, Khosrokhavar (2007) menunjukkan bahwa ada tiga gerakan sosial penting di Iran: gerakan pemuda, gerakan intelektual, dan gerakan perempuan. Ketiganya sangat berperan dalam modernisasi masyarakat Iran dan menjadi faktor pendorong Revolusi Islam. [8]
Jadi, ketika perempuan mampu mengidentifikasi nilai-nilai Islam yang harus diperjuangkan, itu adalah kunci kekuatan mereka. Ini adalah apa yang disebut oleh Shahidian ‘harga diri yang memberdayakan perempuan dan membebaskan mereka dari berbagai hambatan psikologis, seperti ketakutan, kerapuhan, atau egoisme’. Ketika wanita bisa mengidentifikasi peran mereka dalam masyarakat, mereka memiliki kekuatan untuk memperluas aktivitas dan tanggung jawab mereka. Mereka tidak hanya berpikir tentang rumah tangga mereka, tetapi jauh melampaui itu. Seperti diungkapkan Rommelspacher, mereka akan “membebaskan diri dari batasan keluarga dan juga dari eksistensi yang berlandaskan egoisme pribadi”.[9]
Ayatullah Khamenei dalam salah satu pernyataannya terkait peran perempuan dalam masyarakat, “Dalam masyarakat Islam, laki-laki dan perempuan mendapatkan kebebasan yang cukup. Berbagai teks agama (Islam) mendukung pernyataan ini dan Islam memberikan tugas sosial yang sama baik kepada pria maupun wanita. Nabi Muhammad mengatakan: ‘Orang yang menghabiskan malam tanpa peduli tentang urusan umat Islam bukan seorang Muslim.’ Hadis ini tidak terbatas pada laki-laki saja. Perempuan juga harus merasa bertanggung jawab terhadap urusan umat Islam, masyarakat Islam, dunia Islam, dan segala sesuatu yang terjadi di dunia. Ini merupakan kewajiban Islam. “[10]
Sebuah kisah menarik terjadi di Iran tahun 1890. Ketika itu Shah Iran menandatangani perjanjian monopoli tembakau dengan Inggris. Akibatnya, industri tembakau dalam negeri terancam bangkrut dan ratusan ribu orang terancam kehilangan pekerjaan. Kaum perempuan Iran waktu itu bangkit melakukan berbagai aksi protes, antara lain dengan berhenti menggunakan tembakau, menutup toko-toko di pasar, dan mendesak suami-suami mereka untuk ikut dalam aksi protes. Salah satu tokoh perempuan pada era itu adalah Zainab Pasha. Dia terkenal dengan seruannya, “Kalau kalian tidak berani melawan kaum penjajah, pakailah kerudung kami dan pulang ke rumah! Kami yang akan menggantikan kalian untuk berjuang!” Aksi demo dan boikot meluas ke berbagai penjuru negeri, sampai akhirnya Shah Iran membatalkan perjanjian itu.
Inilah yang disebut Temma Kaplan (1982) sebagai female consciousness, kesadaran perempuan.[11] Kesadaran inilah yang juga mendorong kaum perempuan Barcelona tahun 1910-an melakukan gerakan politik memprotes inflasi dan terbatasnya suplai makanan. Rema Hammami (1997) and Carol Barden-stein (1997) juga mengobservasi bahwa dalam proses perjuangan bangsa Palestina, definisi “good mother” telah berubah dari melayani kebutuhan keluarga, menjadi ‘seseorang yang menyediakan syuhada’. [12] Redefinisi serupa juga muncul di tengah wanita Iran yang menjalankan perannya dalam keluarga dengan mengarahkan keluarganya agar rela mengorbankan jiwa raga demi jihad di jalan Allah.[13]
Tak heran bila Ayatullah Khomeini pernah mengatakan, “Revolusi kami berhutang budi kepada perempuan. Pria mengambil contoh dari sikap wanita yang berani turun ke jalan. Wanitalah yang mendorong kaum laki-laki untuk bangkit, dan kadang-kadang bahkan memimpin jalan [revolusi].”[14]
Fathimah dan Konteks Kekinian Perempuan
Kita kembali kepada data-data yang saya sebutkan di awal, mengenai kondisi buruk kaum perempuan di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Apa yang bisa dilakukan? Tawaran yang ada buat kaum muslimah adalah kembali kepada nilai-nilai Islam (karena seperti tadi disebutkan, dalam masyarakat yang menganut liberalisme pun kondisi perempuan buruk). Namun, masalahnya Islam yang mana? Pemberlakuan syariat Islam di beberapa daerah di Indonesia malah berubah menjadi ‘ajang penyalahan’ perempuan. Seolah-olah kondisi buruk masyarakat diakibatkan oleh perilaku perempuan belaka, sehingga perlu dibuat aturan yang ketat untuk perempuan: bahkan duduk mengangkang di motor pun dilarang. Wajah Islam yang terlihat dari aturan-aturan seperti ini adalah wajah Islam yang tidak bersahabat terhadap perempuan; wajah Islam ala Talibanisme. Padahal, kita baca lagi sejarah betapa Rasulullah sangat penuh kasih sayang terhadap perempuan.
Ada dua tawaran solusi yang bisa saya sampaikan:
1. Mengkaji ulang konsep Islam, terutama sejarah kisah hidup Fathimah Az-Zahra untuk dijadikan sebagai role model bagi perempuan (dan ini pula yang dulu dilakukan Fathimah, yaitu tetap menuntut ilmu di sela-sela kesibukan rumah tangga)
2. Kaum perempuan sendiri perlu menyadari: siapakah yang mendidik para lelaki sehingga menjadi sosok yang tidak ramah bahkan kejam pada perempuan? Tak lain, para ibu (perempuan). Karena itu, perjuangan memperbaiki umat memang perlu dilakukan oleh kaum perempuan sendiri, dimulai dari rumahnya masing-masing. Pendidikan akhlak anak sedemikian penting dan berat, sehingga tidak bisa lagi semata-mata diserahkan kepada sekolah atau madrasah.
Saya pikir, kaum perempuan muslimah hari ini punya tanggung jawab untuk membangkitkan kesadaran diri sendiri dan kaum perempuan di sekitar kita. Tanpa female consciusness, sulit muncul perubahan besar menuju kebaikan di negeri ini. Sebaliknya, bila perempuan tetap memilih hidup dalam zona nyamannya, sibuk memikirkan urusan diri sendiri, dan tidak bervisi global dalam mendidik anak-anaknya, sulit diharap ada perubahan. Revolusi menuju perbaikan kondisi umat hanya bisa dicapai melalui female consciusness. Dan aplikasinya, bisa dilakukan mulai hari ini, mulai dari diri sendiri. Kita bisa mulai dari memperhatikan orang terdekat, tetangga, pembantu: apa anak mereka bisa sekolah?Kita bisa mulai dengan mendidik anak-anak dengan visi bahwa kelak dia akan jadi lelaki yang menghormati dan memuliakan perempuan; atau jadi perempuan yang sadar akan tanggung jawabnya di muka bumi.
“Bila satu perempuan memperhatikan satu perempuan saja, akan terjadi riak perubahan ke arah yang lebih baik” (kutipan kata-kata Veronica Colondam, Yayasan Cinta Anak Bangsa, di Kick Andy)
Referensi:
Bradley, Megan. 2007. Political Islam, Political Institutions, and Civil Society in Iran. International Development Research Centre.
Khaz Ali, Ansia. 2010. Iranian Women After The Revolution. Paper presented by Conflict Forum: Beirut.
(http://conflictsforum.org/briefings/IranianWomenAfterIslamicRev.pdf)
Shahidian, Hammed. 2002. Women in Iran: Gender Politics in the Islamic Republic.
Westport: Greendwood Press.
Shariati, Ali. Fatima is Fatima (e-book bisa didownload gratis di : http://www.al-islam.org/fatimaisfatima/)
[1] Data diambil dari PBB, http://endviolence.un.org/situation.shtml
[2] Data dari Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA)
[3] Data dari Komnas Perlindungan Anak
[4] Survey Komnas Perempuan (Indonesia) tahun 2001
[5] Data dari Komnas Anak
[6] Dari dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia
[7] Shahidian 2002:15
[8] Bradley 2007:27
[9] Shahidian 2002:56.
[10] Khaz Ali, 2010
[11] Shahidian 2002 : 17
[12] ibid
[13] ibid
[14] Khaz Ali, 2010
diambil dari blog http://dinasulaeman.wordpress.com/