Pesantren Aswaja-Nusantara Diskusi Marxisme, Pos Marxisme dan Islam
MM-Tidak banyak, bahkan sedikit pesantren di Indonesia yang mengadakan diskusi mengangkat tema Marxisme dan Islam. Meski pada era paska reformasi, sudah banyak di ajarkan di kampus kampus. Tidak demikian dengan Pesantren Aswaja Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogya justru menyelenggarakan diskusi bedah buku tentang Marxisme, Pos Marxisme dan Islam, 11/09/2023.
Menghadirkan Gus Mustafied, pengasuh pondok pesantren ASWAJA Nusantara Sleman. Dr. Aprinus Salam, dosen sastra UGM. Muhammad Ma’ruf, Ph.D, dosen Sosiologi Universitas Paramadina dan Direktur Real Thinkers Instiutute (RTI).
Diskusi ini adalah kajian bedah dua draf buku yang sebentar lagi diterbitkan, “Sosiologi Sastra Setelah Marxisme dan Masalah-Masalah dalam Kajian Sastra Posmarxis”. Keduanya di tulis oleh Dr. Aprinus Salam, ketua prodi Magister Sastra UGM sekaligus pengajar sastra pos Marxisme.
Aprinus Salam
Aprinus mengatakan, kajian Marxisme di Indonesia pada masa Orde baru pernah di larang di Indonesia. Setelah paska reformasi, seiring dengan era keterbukaan, kajian Marxisme mulai secara terbuka di ajarkan di kampus-kampus. Namun Dr. Aprinus Salam masih belum tahu persis apakah diskusi Marxisme sudah terbuka di pesantren-pesantren Indonesia pada masa sekarang. Kajian paska Marxisme dalam pandangan Aprinus, meski dengan istilah berbeda ada kecenderungan bersifat spiritual. Posisi masyarakat yang termarginalkan terkadang justru menjadi alat koreksi struktur yang berkuasa, birokrasi menyadari titik lemah tertentu dan melakukan upaya perbaikan. Pertanyaan Pos Marxisme yang utama adalah, apakah dunia bergerak karena struktur atau otentik dari manusia.
Aprinus mengatakan Marx menuliskan berbagai gagasan dan pemikiran tentang struktur masyarakat, politik, ekonomi, dan budaya (Marx, 1887, 1907, dan 1967). Hal penting dari gagasannya adalah terjadinya relasi yang kooptatif antara superstruktur dan basestruktur (infrastruktur). Relasi tersebut berangkat dari struktur ekonomi masyarakat yang merupakan fondasi nyata, di mana di atasnya muncul superstruktur hukum dan politik (Marx, 1859). Walaupun pada awalnya tentu terjadi kontestasi yang keras, ketika persaingan tersebut semakin jelas sosok pemenangnya, maka pihak superstruktur (pemenang) dalam berbagai cara akan mempertahankan dominasinya dengan merekonstruksi pengetahuan, filsafat, seni, dan agama.
Kemudian, gagasan Marx dikembangkan oleh Gramsci (1992, 1996, & 2007) dengan teori hegemoninya, dan Althusser (2001) dengan konsep ideological state aparatus dan repressive state aparatus. Di kemudian hari, gagasan tersebut juga dikembangkan oleh, Butler, Frow, Wolf, Laclau, Bennett (Goldstein, 2005: 2), Eagleton, Bourdieu, Žižek, Agamben, Negri, Nancy, Jameson, Badiou, Rancière, dan lain-lain. Mereka yang lebih belakangan biasanya disebut sebagai pemikir Posmarxis dalam upaya-upaya mendialektikkan kuasa-kuasa struktur dan postruktur, modernitas dan posmodernitas.
Kajian sastra dan budaya yang bertolak dari pemikiran Marxist membahas isu-isu seperti kelas sosial dan konflik kelas; ideologi dan perannya dalam pemahaman budaya sastra, dan estetika; dialektika dasar dan suprastruktur; keterkaitan antara faktor subyektif dan obyektif; peran sentral dialektika; dan sejarah ekonomi dan konsep cara produksi. Tentunya, pembahasan tersebut ditelaah oleh pemikir Posmarxis seperti Jameson dan Benjamin, Negri, Bloch, Adorno, Lukács, Lefebre, Eagleton, Deleuze dan Guattari, Gramsci, dan Althusser (Boer, 2015: 4).
Pada kesimpulannya, terdapat lima aspek masalah yang dapat dikembangkan dalam kajian sastra Posmarxis, yakni pertama, kuasa negara dalam konstruksi sosial; kedua, relasi antar-kelas, dominasi, dan hegemoni; ketiga, strategi dan formasi relasi; keempat, peluang transformasi individu dan sosial (masalah subjek dan relasinya dengan masyarakat, juga persoalan migrasi dan pertentangan-pertentangan di dalamnya); dan kelima, mencari kehidupan alternatif. Namun, sebelum membahas hal tersebut, ujar Salam, “saya ingin mendahulukan hal-hal metodologis, sebagai gambaran lebih awal bagaimana kemudian masalah, teori, dan analisis dapat dikembangkan”.
Gus Mustafied
Sementara menurut Gus Mustafied, kajian Marxisme dan paska Marxisme memberi beberapa prespektif. Pertama sebagai alat analisa fenomena ketimpangan sosial akibat kapitalisme, termasuk menganalisa fenomena liberalisme terkini. Kedua memperluas prespektif kajian bagi santri termasuk isu gender, relasi kekuasaan, identitas dan ekonomi. Ketiga, karya sastra Marxist memberi kontribusi cermin tentang ketimpangan struktur yang ada di masyarakat. Keempat kajian Marxisme bersinergi dengan semangat keadilan yang ada dalam Islam. Sementara dalam isu ateisme dan Komunisme tidak menjadi bahan kerisauan di kalangan santri Aswaja.
Muhammad Ma’ruf
Berbeda sedikit dengan Muhammad Ma’ruf, baginya Marxisme dan Islam jelas memiliki singgungan dan perbedaan. Berbeda dari cara mengenali identitas manusia dan infrastruktur, namun sama-sama memperjuangkan keadilan, hanya saja dalam Islam, perjuangan keadilan sosial menjadi bagian dari manifestasi keadilan Tuhan, atau praktek tauhid sosial .
Manusia Marxis secara alamiah adalah manusia secara inhern tertindas (buruh) dan teraleniasi oleh ketimpangan struktur ekonomi. Kebebasanya sudah teriduksi dan terbatasi oleh ketimpangan struktur ekonomi dan kekuasaan dominan oleh para borjuis (pemilik modal). Jadi kebebasan manusia dalam Marxist tidak memiliki makna hakiki.
Sementara manusia Islam adalah manusia berbasis fitrah, diciptakan dalam kondisi merdeka dan mampu terbebas dalam struktur ekonomi-politik yang paling menindas sekalipun.
Manusia adalah mahluk spiritual yang dengan kebebasanya mampu keluar dari ikatan ruang dan waktu yang menyejarah. Gerak sejarah masyarakat tidak semata ditentukan oleh dialektika materi (tesa, antitesa, sintesa), tetapi lebih pada prinsip non kontradiksi dan ikhtiar individu dan komunalnya, rasa persatuan dan persaudaraan sesama mukimin dan sesama manusia yang tertindas. Infrastruktur bagi Marxisme adalah determinisme ekonomi tetapi dalam Islam adalah pandangan dunia tauhid. Diatasnya adalah suprastruktur; ideologi, sastra, politik, budaya, termasuk ekonomi.
Keindahan sastra bahanya tidak semata ketimpangan struktur sosial dan konflik, tetapi pengalaman individu-eksistensial dengan di luar dirinya. Kebenaran, keadilan dan keindahan haruslah senafas dengan irama dan maksud Tuhan. Relasi manusia dengan Tuhan, dirinya, masyarakat dan alam sungguh bermakna eksistensial-hakiki, sehingga keempatnya menjadi bahan estetika. Selain Tuhan adalah tanda-tanda dan objek keindahan, sebagaimana dalam pandangan dunia sufi.
Sebagaimana dalam tradisi pakem Marxist, manusia di identifikasi langsung pada cara kerjanya (kondisi material), obervasi praktis. Hakekat manusia dilihat awal kali dari insting mencari makan.
Sementara itu dalam Islam, kerja adalah manifestasi kerja Tuhan, manifestasi Allah. Alam semesta dan manusia adalah hasil karya (kerja Allah). Allah terus mencipta, olehkarena itu kerja manusia dalam mencipta menjadi patner Allah. Manusia tidak di takdirkan menjadi proletar (buruh), mereka bebas pindah profesi kapan saja. Manusia bisa keluar dari kondisi ketertindasan apapun.
Satu satunya pembentuk sejarah adalah cita-cita tinggi, menegakkan kebenaran, keadilan, mendapatkan kesejahteraan, membentuk masyarakat religius. Kondisi ekonomi (infrastruktur) bukan faktor diterminan (jabariah) faktor utama penggerak sejarah. Dalam Islam, infrastruktur berupa pemikiran, keyakinan yang terbebas dari dunia (tauhid dzat, sifat, perbuatan) yang dapat mengubah suprastruktur, ekonomi, politik dan budaya.