Puasa antara Ibadah & Tradisi
(“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”)(QS al-Baqoroh 185)
Makna puasa (Ash-Shiyam):
“AS-Shoumu” atau “As-Shiyamu”, artinya adalah menahan diri. Misalnya; menahan diri dari makan dan minum, menahan diri dari berhubungan suami istri, menahan diri dari berbicara dan berjalan serta yang lainnya. Dengan kata lain, puasa berarti; menahan diri dari apa yang dikehendaki oleh nafsu. Kemudian istilah puasa ini dipakai oleh syariat dengan pengertian khusus, yaitu; menahan diri dari makan dan minum mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari disertai niat dan kesadaran.
Ayat di atas menjelaskan bahwa puasa adalah kewajiban yang harus dijalankan bagi orang-orang yang beriman “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa”. Bukan hanya mereka yang diperintah menjalankan kewajiban puasa, bahkan umat-umat sebelum mereka juga pernah diperintahkan hal yang sama. (“sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”). Akan tetapi, apakah bentuk puasa dan bulan yang diwajibkan bagi umat terdahulu sama seperti yang diwajibkan bagi umat Islam yang berlaku sekarang ini?
Hafsh bin Ghiyas an-NakhoI berkata: Aku dengar Abu Abdillah as berkata: Sesungguhnya Allah tidak pernah mewajibkan puasa bulan Ramadan kepada siapapun dari umat-umat sebelum kami”. Aku bertanya; lalu bagaimana dengan firman Allah Azza Wajalla: (“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu “)? Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah mewajibkan puasa bulan Ramadan untuk para nabi bukan untuk umatnya. Lalu Allah memuliakan umat ini dan menjadikan puasa sebagai kewajiban bagi Rasulullah saw dan juga umatnya”2.
Tentang Maryam Allah berfirman: (“Jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: “Sesungguhnya Aku Telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”)(QS Maryam 26).
Sejarah membuktikan bahwa puasa bukan hanya ibadah yang dilakukan oleh para pengikut agama tertentu, bahkan orang yang tidak mengikuti agama sekalipun telah menjalankannya. Seperti yang telah dilakukan orang-orang Mesir dan Yunani kuno serta para penyembah berhala di India3. Mereka melakukan hal tersebut dengan tujuan untuk memuaskan keinginan tuhan dan meredam kemurkaannya. Mereka berkeyakinan, bahwa jika manusia melakukan kesalahan atau berbuat dosa, maka tuhan akan murka. Berbagai macam bencana, penderitaan dan segala penyakit pun akan segera menimpa kehidupan. Untuk menjaga agar hal tersebut tidak terjadi, maka mereka menjadikan puasa sebagai tameng dan pelindung. Dan tatkala mereka sedang menghadapi kesulitan hidup, maka puasa dijadikan sebagai alat transaksi dengan tuhannya agar seluruh kebutuhannya dipenuhi. Menurut mereka, puasa adalah kebutuhan tuhan, maka tuhan berhak dan berkewajiban memenuhi keperluan orang yang menjalankan puasa untuknya.
Berbeda dengan Islam, al-Quran menjelaskan bahwa puasa adalah untuk kepentingan hamba dan keuntungannya juga kembali kepadanya. Allah maha kaya, tidak membutuhkan apapun dan tidak bergantung dengan apapun serta tidak terpangaruh oleh kepentingan siapapun. Sebagai hamba, maka manusialah yang selalu membutuhkan kepada-Nya: Allah berfirman: (“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji”)(QS Fathir 15). Ketaatan hamba tidak akan menambah kebesaran-Nya dan kemaksiatan hamba tidak mengurangi kewibawaan-Nya. Kebaikan hamba adalah untuk hamba dan keburukannya adalah untuknya sendiri: (“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri”)(QS al-Isra 7)
Membentuk Kepribadian:
Kenapa manusia mukmin diwajibkan berpuasa? Manfaat apa yang akan didapatkan dengan menahan rasa lapar dan haus? Berkaitan tentang puasa, Allah berfirman: (“agar kamu bertakwa”). Artinya, dengan berpuasa, manusia diharapkan bisa meraih ketakwaan yang merupakan sebaik-baik bekal untuk kehidupan akhirat. “Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”(QS al-Baqoroh 197). Puasa adalah cara untuk membentuk kepribadian seseorang. Orang yang berpuasa adalah orang yang sedang memproses dirinya agar menjadi bentuk yang lain; dari manusia yang hewani menjadi manusia yang malakuti dan tempatnya adalah surga: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air”(QS Adzdzariyat 15)
Secara fitrah, manusia menyadari bahwa orang yang ingin berhubungan dengan alam kesucian untuk meraih tingkat spiritual tertinggi, maka pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan jiwa, menghindarkan diri dari kenikmatan duniawi dan tidak tenggelam dalam syahwat hewani. Ketakwaan hanya bisa diraih dengan menahan diri dari keinginan syahwati. Lebih jauh dari itu, adalah menghindarkan diri dari seluruh kenikmatan yang mubah, seperti makan dan minum. Dengan demikian, maka hatinya akan bersih, tulus dan tidak akan disibukkan dengan selain Allah Sang Pencipta. Apabila manusia mampu menahan diri dari kenikmatan-kenikmatan yang mubah, maka untuk meninggalkan maksiat dan hal-hal yang diharamkan akan lebih mudah dilakukannya. Gemerlapnya kehidupan dunia tidak akan memepngaruhi dirinya. Keinginan untuk bermaksiat dan melanggar hukum serta berbuat keji senantiasa akan tertahan. Dalam hatinya hanya ada keinginan untuk mendekat kepada Sang Kholik.
Cara efektif untuk mengendalikan keinginan syahwati adalah berpuasa. Oleh sebab itu, Rasulullah saw menyarankan kepada orang yang belum bisa menikah hendaknya banyak berpuasa: “Barangsiapa yang belum mampu menikah hendaknya berpuasa, karena berpuasa bisa mengalihkannya”4
Puasa, pengaruhnya secara spriritual dan sosial
Suatu hari Rasulullah saw mendengar seorang wanita berpuasa sedang mencacimaki budaknya. Lalu Rasulullah memanggilnya dan diberinya makanan sambil berkata: Makanlah ini!. Wanita itu menjawab: Wahai Rasulullah, aku sedang berpuasa. Rasulullah saw berkata: Bagiamana kamu berpuasa sedang kamu telah mencacimaki budakmu. Sesungguhnya puasa itu bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, akan tetapi Allah menjadikan puasa sebagai penghalang dari selainnya, dari perbuatan dan ucapan keji. Alangkah sedikit orang yang berpuasa dan alangkah banyak orang yang hanya berlapar-lapar”5
Orang yang menahan makan dan minum, secara fikih disebut sebagai orang yang berpuasa. Akan tetapi, selama jiwa, hati dan pemikirannya tidak ikut menyertainya, maka puasa tersebut hanya terbatas pada fisiknya semata. Imam Ali as berkata: (“Berapa banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa-apa kecuali haus. Dan berapa banyak orang yang salat malam, namun tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa capek”)6. Selain menahan makan dan minum, orang yang berpuasa hendaknya juga menjaga mulutnya dari kebohongan, menjaga matanya dari penglihatan yang diharamkan, tidak bertengkar dan tidak mendengki serta tidak menggunjing, tidak mencaci dan menzalimi orang lain. Lebih banyak bersikap menahan diri dan tidak emosional, tidak berperasangka buruk dan tidak pula mengadudomba orang lain. Ucapannya jujur dan tidak provokatif, hatinya bersih, jiwanya suci, akalnya jernih, cintanya tulus. Perangainya khusu dan tenang, rasa takut kepada Allah senantiasa menghiasi wajahnya. Zikir kepada Allah telah mendominasi hatinya sehingga keinginan untuk bertemu kepada-Nyah semakin menggelora. Dan itulah makna puasa yang disebutkan dalam sabda nabi saw ketika beliau berkata: “Puasa adalah menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah”7
Dalam hadis miraj, Rasulullah berkata:….Wahai Tuhan, apa pengaruh yang didapatkan dari puasa? Allah menjawab: Puasa menyebabkan datangnya hikmah dan hikmah menyebabkan datangnya marifah dan marifah menyebabkan datangnya keyakinan. Apabila seorang hamba telah mencapai keyakinan, maka tidak akan perduli apakah dia bangun pagi dalam keadaan kesulitan ataupun kemudahan”)8
Selain memberikan pengaruh spiritual, seperti dijelaskan di atas, puasa juga membentuk pribadi yang peka terhadap kepentingan social. Dengan menahan rasa lapar dan haus, orang yang berpuasa dapat merasakan penderitaan orang-orang yang hidup dalam kemiskinan. Fisiknya mersakan kesengsaraan seperti yang mereka rasakan, hatinya bergabung bersama mereka dalam segala keadaan, sehingga tidak ada perasaan yang menyekat antara yang miskin dan yang kaya. Kaya dan miskin hanyalah perbedaan nasib, bukan persoalan prinsip. Bahkan di dalam kekayaan terdapat hak orang peminta dan miskin: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (QS Addariyat 19).
Dengn menjalankan ibadah puasa, maka kepedualian terhadap sesama akan tumbuh subur di dalam jiwanya.
Al-Quran menjelaskan bahwa waktu untuk beribadah puasa tidaklah lama, hanya “dalam beberapa hari yang tertentu” saja. Waktunya sangat terbatas, dalam satu tahun, hanya satu bulan, sementara manfaatnya sangat besar. Oleh karena itu, tidak ada alas an untuk merasa keberatan dalam menjalaninya. Orang yang sakit dan yang bebepergian jauh:
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka, Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”)
Allah memberi kemudahan bagi yang sakit atau yang sedang dalam bepergian yang telah mencapai pada batas tertentu, yaitu diijinkan untuk berbuka, namun harus menggantikannya di hari yang lain.
Ayat ini secara tegas menjelaskan bahwa tugas orang yang sedang sakit atau bepergian jauh adalah berbuka kemudian menganggantikannya di lain waktu. Bukan rukhshoh pilihan antara puasa atau berbuka, akan tetapi perintah berbuka. Bukti bahwa itu sebuah perintah adalah firman-Allah: (“barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”). Makna ayat ini adalah bahwa barangsiapa yang tidak hadir di negeri tempat tinggalnya karena dalam bebeprgian jauh, maka hendaknya berbuka. Tentang ayat ini, Imam Shodiq berkomentar: “Oh alangkah jelasnya ayat ini! Barangsiapa hadir, maka harus berpuasa dan barangsiapa dalam bepergian, maka hendaknya jangan berpuasa”
Pertama: Bahwa perintah puasa dalam ayat ini adalah diarahkan kepada orang yang hadir bukan sedang dalam bebeprgian jauh. Kalimatnya seperti yang anda lihat: (“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu”). -Artinya dibulan itu tidak dalam bebergian- (“Maka hendaklah ia berpuasa”). Berarti orang yang sedang bepergian jauh tidak diperintahkan puasa. Berpuasa ketika dalam bepergian jauh berarti memasukkan ke dalam agama sesuatu yang bukan dari agama dan itu bidah.
Kedua: Makna firman Allah: (“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”) bahwa orang yang sedng bepergian jauh tidak wajib berpuasa, seang makna syarat adalah hujjah seperti yang ditentukan dalam usul fikih. Dengan demikian, maka makna ayat ini menunjukkan tidak wajib puasa bagi orang yang sedang bepergian jauh, baik dilihat dari sisi makna maupun lafal ayat.
Ketiga: Bahwa firman Allah: (“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”), takdirnya adalah wajib baginya berpuasa di hari yang lain. Ini jika kalimat “Iddahtu” kamu baca marfu, tapi jika kamu baca nasab “Iddata”, maka takdirnya adalah; maka supaya berpuasa beberapa hari yang lain. Apapun, yang jelas bahwa ayat ini mewajibkan puasa di hari yang lain. Dan ini adalah membuktikan wajib berbuka selama dalam bepergian jauh. Sebab tidak ada yang berpendapat untuk menggabungkan antara puasa dan mengkodlo, karena mengabungkan antara dua hal tersebut berlawanan dengan arti “kemudahan” seperti dalam ayat.
Keempat: Firman Allah: (“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”). Kemudahan di sini adalah berbuka, sebagaimana kesukaran di sini adalah puasa. Berarti, seakan makna ayat mengatakan; Allah menghendaki berbuka bagimu dan tidak menghendaki puasa bagimu”)10
Allamah al-Hilli mengomentari ayat tersebut dengan mengatakan: (“Rinciannya adalah kepastian bahwa orang yang hadir wajib berpuasa sebagai fardu yang lazim, maka demikian pula bagi orang yang bepergian diharuskan menggantikan di lain waktu sebagai fardlu yang lazim. Apabila bagi orang yang bepergian jauh wajib multak untuk mengkodlo puasa, maka kewajiban berpuasa bagi orang yang bepergian jauh telah gugur”)11
Menurut madhab Ahlul Bayt, orang yang sakit dan yang sedang dalam bebepergian, wajib berbuka puasa. Bagi yang berpuasa dalam keadaan sakit atau bepergian, maka tetap berkewajiban untuk menggantikannya di hari yang lain. Dalam kitab Sohih Muslim menjelaskan bahwa pada tahun kemenangan fathu Makkah, rasulullah saw pergi ke makkah di bulan Ramadan. Beliau berpuasa bersama yang lainnya hingga sampai di tempat bernama Kura al-Ghomim. Kemudian beliau membawa tempayan penuh air dan diangkatnya hingga semua orang melihat. Beliau kemudian meminumnya. Ketika ditanya: Sesungguhnya sebgain orang tetap berpuasa? Beliau saw berkata: “mereka adalah orang-orang yang melanggar, mereka adalah orang-orangyang melanggar”)12
Ibnu Majah meriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf berkata: Rasulullah saw bersabda: (“Orang yang berpuasa bulan Ramadan dalam bepergian jauh, sama seperti orang yang berbuka di saat tidak bebpergian”)13
Muslim juga meriwayatkan dari Jabir berkata: Rasulullah saw dalam sebuah perjalanan melihat seorang pria sedang dikerumuni banyak orang untuk menaunginya. Lalu beliau saw berkata: Apa yang terjadi? Mereka menjawab: Dia sedang berpuasa. Lalu Rasulullah saw bersabda: (“Tidak termasuk kebaikan kalian berpuasa dalam bepergian jauh”)14
Kitab al-Kafi, meriwayatkan dari Ali bin Husain as berkata: Adapun puasanya orang yang sedang bepergian dan orang yang sedang sakit, maka orang umum berbeda pendapat. Sebagian berpendapat; tetap puasa, yang lainnya berpendapat; tidak boleh puasa, yang lain lagi berpendapat: Jika mau, boleh puasa dan jika mau, boleh tidak berpuasa. Akan tetapi kami berpendapat: bahwa dalam dua kondisi tersebut tetap tidak boleh berpuasa. Apabila dalam bepergian atau dalam kondisi sakit tetap berpuasa, maka harus menganggantikannya. Sebab Allah Azza Wajalla berfirman: “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”)15
Madhab ini pula yang dianut oleh sebagian besar sahabat, seperti Abdurrahman bin Auf, Umar bin Al-Khottob, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan dari tabiin; Said bin Musayyab, Atho, Urwah bin Zubair, Syubah, Az-Zyhri, Qosim bin Muhammad bin Abi Bakar, Yunus bin Ubaid dan lain-lain16. Mereka berargumentasikan dengan firman Allah: (“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain“)17
Al-Khitobi dalam kitab alam at-Tanzil menukil riwayat dari Ibnu Umar berkata: “Seandainya dalam bepergian jauh tetap berpuasa, maka wajib mengkodlony di waktu kehadirannya”18.
Bahwakan Ahamd bin Hambal meriwayatkan bahwa Umar bin Khottob pernah menyruh seseorang yang berpuasa dalam bepergian jauh untuk mengulang puasanya19
Kesimpulan:
- Puasa adalah kewajiban bagi setiap orang beriman, maka tidak ada alasan di antara mereka enggan atau merasa berat untuk melakukannya.
- Puasa adalah pembersih hati dan jiwa dari keinginan hewani, dan yang membalasnya adalah Allah. Karena Allah berfirman: “Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah buat dirinya kecuali puasa. Ia adalah milik-Ku dan Aku akan membalasnya”20.
- Puasa bukan hanya dibatasi dengan fisik tapi juga hati dan pemikiran. Dengan demikian maka spiritualias akan dicapai.
- Puasa dapat menumbuhkan rasa kepedulian terhadap sesama dan memisahkan sekat antara yang kaya dan yang miskin.
- Puasa akan mendatangkan marifat dan keyakinan sehingga tidak pernah keluar dari lisan orang yang berpuasa kecuali hikmah dan kebenaran.
- Jika anda dalam keadaan sakit yang berat dan atau dalam bepergian jauh, maka janganlah anda memaksa diri untuk berpuasa, karena hal itu akan sia-sia.
Catatan kaki:
1- Al-Mizan fi tafsir al-Quran jilid 2 hlm 8
2- Man Layahdur al-Faqih jilid 2 hlm 90
3- Al-Miazan fitafsir al-Quran jilid 2 hlm 7
4- Tafsir Ash-Shofi jilid 2 hlm 200, menukil dari al-Kafi
5- Mafatih al-Jinan bab Syahru Ramadan
6- Ibid
7- Mizan al-Hikmah
8- Al-Bihar jilid 77 hlm 27
9- Al-Kafi jilid 4 hlm 126
10- Masail al-Fiqhiyah hlm 67-68 cet: Majma ahlul bayt
11- Tadzkirat al-Fiqhiyah jilid 6 hlm 152
12- Shohih Muslim jilid 3 hlm 141
13- Sunan Ibnu Majah
14- Shohih Muslim jilid 3 hlm 142
15- Al-Mizan fi Tafsir al-Quran jilid 2 hlm 28
16- Al-Muhalla hlm 300
17- Al-Mizan fi tafsir al-Quran jilid 2 hlm 12
18- Tafsir al-Kabir jilid 5 hlm 76
19- Musnad Ahmad bin Hambal jilid 3 hlm 329
20- Al-Bihar jilid 69 hlm 249