Samakah Haji dan Ziarah? (2)
Masih hangat soal isu dari media-media Islam radikal yang telah mentahrif ziarah menjadi haji dan wukuf di Karbala, dalam maksud memfitnah para peziarah pusara Imam Husein, bahwa mereka kini berhaji ke Karbala. Hangatnya bak kopi panas yang disajikan di pagi hari, enak “disruput” dan memberi spirit untuk membuka lagi halaman-halaman tentang hukum haji dan ziarah.
Ziarah (bahasa Arabnya: ziyârah) artinya mengunjungi. Kata ini mencakup arti mengunjungi saudara atau sahabat, menjenguk orang sakit, (atau mungkin bisa) melawat yang wafat, dan menziarahi makam almarhum si fulan. Hukumnya sunnah, kendati diharamkan oleh kelompok wahabi, dan pelakunya dihukumi syirik.
Sebagai pembanding terhadap isu tersebut, tak ada salahnya untuk melihat beberapa kutipan yang terkait dari dua media besar luar negeri di bawah ini:
Klarifikasi
Pertama, dari alalam.com bertepatan dengan hari Arafah tahun ini, bahwa kota Karbala, Irak, kedatangan kafilah besar dari Iran sebagai para peziarah pusara Imam Husein (sa) dan pusara saudaranya, Abul Fadhal Abbas. Pihak keamanan Irak turun untuk menyambut kedatangan mereka yang jumlahnya di tahun ini lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Di sana mereka membaca doa Imam Husein sa khusus pada hari Arafah, yang dikenal dengan Doa Arafah.
Kendati ada isu ancaman dari kelompok teroris, hal ini tidak menghalangi para peziarah dari dalam maupun luar negeri, untuk berziarah ke pusara cucu Nabi saw, yang terbunuh pada empatbelas abad silam.
Kedua, dari aawsath.com melaporkan bahwa kementerian dalam negeri Irak mengumumkan sambutan pihak pemerintah atas kedatangan warga Iran yang berjumlah sekitar satu juta orang untuk berziarah ke Karbala. Ulama Syiah menegaskan: “Ziarah ini telah ada sejak sekian abad yang lalu. Hukumnya sunnah, dan bukan sebagai ganti haji.”
Sebagaimana ditegaskan oleh Haidar al-Gharabi, seorang ustadz salah satu ponpes di Irak kepada pihak media “asy-Syarq al-Awsath”. “Bahkan”, tambahnya. “Sejak zaman para imam Ahlulbait (sa) sudah ada ziarah ini tanpa kontra politik dengan pemerintah ini.. Para peziarah Imam Husein ini, mereka adalah yang tidak dapat pergi haji ke Mekah dikarenakan tidak memenuhi persyaratan berupa kesanggupan (istitha’ah).
Yang perlu digarisbawahi dari penjelasan Gharabi, ialah bahwa: “Mereka itu SEPERTI berhaji. Ziarah (yang mereka lakukan) bukanlah haji, dan siapapun yang mengatakan sebagai ganti haji adalah keliru dan bodoh.. Tidak ada di dunia ini tempat yang lebih suci dan lebih mulia dari Ka’bah.. Berhaji apabila sanggup. Bila sanggup pergi haji, mereka tidak akan datang kepada al-Husein (sa).”
Haji, Perkara yang Jelas dalam Islam
Haji sebagai salah satu rukun Islam, tergolong kewajiban-kewajiban yang aksiomatis (faraidh dharuriyah) dalam agama ini. Artinya:
Pertama, kewajiban haji seperti kewajiban shalat lima waktu, puasa bulan Ramadan dan lain sebagainya, yang jika ditinggalkan dengan sengaja -setelah memenuhi persyaratannya- maka termasuk dosa besar dan jika diingkari akan dihukumi dengan kekufuran.
Kedua, selain jelas bagi muslimin, orang-orang non muslim pun mengetahui bahwa di musim haji, sebagian orang Islam pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.
Amalan Haji dalam Fikih Syiah
Di sini yang bisa disampaikan ialah secara global mengenai bagaimana haji menurut mazhab Syiah, dan untuk pengetahuan lebih lengkapnya dapat merujuk ke buku-buku fikih haji.
Haji memiliki amalan, waktu dan tempat khusus serta dalam bentuk yang khusus. Rukun-rukunnya adalah ihram, tawaf ifadhah dan sa’i antara Shafa dan Marwa. Bagian-bagiannya yang wajib antara lain: lontar jumrah, mabit di Mina dan berada di Muzdalifah.
Haji ada tiga macam: tamatu, ifrad dan qiran. Haji tamatu’ terdiri dari umrah dan haji. Umrah ini harus dilakukan sebelum haji. Berikut gambaran globalnya:
Umrah dimulai dengan ihram dari salah satu di antara miqat-miqat. Lalu tawaf mengitari haji, kemudian shalat, lalu sa’i antara shafa dan marwa, lalu taqshir (cukur rambut).
Kemudian haji dimulai dengan ihram dari Mekah, lalu wukuf di Arafah dari waktu zuhur 9 Dzulhijjah sampai magrib. Setelah itu wukuf di Muzdalifah dari waktu fajar sampai terbit matahari. Lalu lontar jumrah ‘aqabah di Mina pada 10 Dzulhijjah. Setelah itu menyembelih kurban di sana pada hari yang sama. Lalu di sana pula melakukan halq atau taqshir (cukur rambut). Kemudian tawaf haji dan shalatnya, lalu sa’i, setelah itu tawaf nisa dan shalatnya.
Pada malam 11-12 harus mabit di Mina, paginya bagi dua hari itu melakukan lontar jumrah. Lalu meninggalkan Mina setelah zawal (matahari tergelincir) pada hari keduabelas Dzulhijjah.
Haji yang disebut dengan hujjatul Islam bagi hadirin Masjidil Haram, harus merupakan qiran dan ifrad. Sedangkan bagi selain mereka (yang tidak hadir di Masjidil Haram) harus merupakan haji tamatu’. Haji qiran dan ifrad tak beda cara dengan haji tamatu, melainkan dalam perkara-perkara sampingan.(2)
Kesimpulan
Jelas sekali semua amalan tersebut tidak ada di dalam ziarah, melainkan amalannya antara lain membaca doa ziarah, menyampaikan salam kepada Rasulullah dan Ahlulbaitnya, salam kepada Imam Husein sa dan berdoa.
Ilyas
Referensi:
1-Al-Wasail, bab 7, Wujubul Hajj, hadis 1.
من مات ولم يحج حجة الاسلام لم يمنعه من ذلك حاجة تجحف به ، أو مرض لايطيق فيه الحج ، أو سلطان يمنعه فليمت يهودياً أو نصرانياً
2-Durus Tamhidiyah fi al-Fiqh al-Istidlali, bab Haji.