Wahhabi : Sebuah Metamorfosis Gagal dari Ahlu Hadis (bag-1)
Oleh: Husein Muhammad Alkaf
Telaah Pemikiran Ahmad bin Hanbal – Ibnu Taimiyyah – Wahhabi
Seluruh kaum Muslimin bersepakat bahwa salah satu tugas dan fungsi Nabi Muhammad saw. adalah penjelas al Qur’an, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Kehidupan beliau merupakan implementasi dari wahyu yang beliau terima dari Allah swt. Untuk selanjutnya, semua aspek kehidupan beliau yang direkam oleh para sahabat dan kemudian diceritakan (diriwayatkan) oleh mereka kepada generasi kaum Muslimin setelahnya dan seterusnya disebut dengan hadis. Karena itu, kaum Muslimin menjadikan hadis sebagai cara untuk memahami aspek-aspek kehidupan Nabi Muhammad saw.
Pada generasi keempat yang biasa disebut dengan generasi Tabi’i al Tabi’in muncul para tokoh yang dikenal sebagai penghafal hadis-hadis Nabi saw. Mereka dianggap sebagai referensi (marja’) untuk mengetahui ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi saw. Tokoh yang paling terkenal pada generasi itu adalah Imam Malik bin Anas ( 714-800 M). Beliau dikenal dengan sebutan Imam Dâr al Hijrah ( Pemimpin Kota Hijrah) karena tinggal di kota Medinah.
Waktu itu, belum ada pemisahan yang tegas antara Ahlu Hadis dengan Ahli Fiqih. Pada umumnya, setiap Ahli Hadis pasti menjadi referensi masalah hukum, dan setiap Ahli Fiqih pasti mendasari fatwanya dengan Hadis kecuali Abu Hanifah (699-767 M) yang sedikit sekali melandasi fatwanya dengan Hadis. Abu Hanifah banyak menggunakan ra’yu sehingga dikenal sebagai pemimpin ahli ra’yu.
Ahmad bin Hanbal (780-855 M)
Seiring dengan berjalannya waktu, tradisi periwayatan dan penghafalan Hadis terus berlangsung hingga muncul seorang tokoh Ahlu Hadis yang paling menonjol setelah wafatnya Malik bin Anas, yaitu Ahmad bin Hanbal. Ketokohan Ahmad bin Hanbal dalam bidang periwayatan dan penghafalan Hadis mengalahkan Malik bin Anas sehingga dia dikenal sebagai Imam al Muhadditsin ( Pemimpin para Ahlul Hadis) sepanjang sejarah.
Ahmad bin Hanbal selain dikenal sebagai Ahli Hadis juga dikenal sebagai Ahli Fiqih dan Ahli Kalam (teologi). Sebenarnya tiga bidang keilmuan ini, dalam pandangan beliau, sumbernya satu dan sama, yaitu Hadis. Artinya, dalam pandangan dia dan para pengikutnya sampai saat ini bahwa semua ajaran Islam, baik menyangkut masalah fiqih maupun masalah aqidah, harus bersumber dari Hadis. Sumber lain seperti akal dianggap tidak valid dan harus ditolak. Metode dia ini untuk kemudian hari dikenal dengan metode Salaf ( Manhaj Salafi)
Dalam bidang ilmu fiqih tedapat perbedaan yang cukup signifikan antara metode Ahlu Hadis dengan metode yang lain. Sebagai contoh, Ahlu Hadis menolak Qiyas, dan membatasi sumber hukum pada Kitab dan Hadis saja. Sedangkan menurut metode lain yang diwakili oleh Imam Syafi’I ( Muhammad bin Idris al Syafi’i), Qiyas merupakan sumber hukum juga.
Demikian pula dalam bidang teologi dan aqidah, Ahlul Hadis dalam memahami teks-teks suci tentang Ketuhanan dan sifat-sifat fisik Tuhan ( seperti ; Tangan, ata dan Wajah Tuhan ) menggunakan pendekatan yang bersifat skriptual ( lahiriyah) dan menolak keras pendekatan takwil karena pendekatan takwil, menurut mereka, adalah pendekatan rasional, dan mereka menolak segal hal yang berbau rasio dalam memahami teks agama. Berbeda dengan mereka, kelompok Asy’ariyah menggunakan takwil dalam memahami teks-teks tadi. Misalnya, Tangan Tuhan dimaknai dengan kekuatan, Wajah Tuhan dimaknai dengan wujud Tuhan dan lain sebagainya.
Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya dari kalangan Ahlul Hadis sangat ketat dalam memegang pemahaman teks-teks Agama secara lahiriah, dan menganggap kelompok lain yang memahaminya tidak secara lahiriah sebagai Ahlul Ahwa’ (para pengikut paham rasional dan hawa nafsu). Berikut ini beberapa pandangan Ahmad bin Hanbal.
”Aku mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata,
”Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah
- Berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh para shahabat serta bertauladan kepada mereka, meninggalkan perbuatan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat, serta meninggalkan perdebatan dalam masalah agama.
- Sunnah menafsirkan Al Qur’an dan Sunnah menjadi dalil-dalil (sebagai petunjuk dalam memahami) Al Qur’an, tidak ada Qiyas dalam masalah agama, tidak boleh dibuat pemisalan–pemisalan bagi Sunnah, dan Sunnah tidak boleh dipahami dengan akal dan hawa nafsu, kewajiban kita hanyalah mengikuti Sunnah serta meninggalkan akal dan hawa nafsu.
- Dan termasuk Sunnah yang harus diyakini adalah barangsiapa meninggalkan salah satu darinya, – tidak menerima dan tidak beriman padanya – maka dia tidak termasuk golongan Ahlus Sunnah
- Nabi saw. sungguh telah melihat Rabbnya, hal ini telah ma’tsur dari Rasulullah saw. Diriwayatkan oleh Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan oleh Al Hakam bin Iban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, diriwayatkan pula oleh Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihram dari Ibnu Abbas, dan kita memahami hadits ini sesuai dengan dhahirnya sebagaimana datangnya dari Rasulullah saw. dan berbicara (tanpa ilmu) dalam hal ini adalah bid’ah, akan tetapi kita wajib beriman dengannya sebagaimana dhahirnya dan kita tidak berdebat dengan seorangpun dalam masalah ini.[1]
Masa Jaya dan Masa Surut Ahlul Hadis
Ketika dunia Islam dihadapkan pada pandangan-pandangan yang datang dari luar, banyak dari kaum Muslimin yang terpengaruh oleh pikiran-pikiran filsafat Yunani dan hikmat Persia, kecuali Muktazilah dan Syiah yang sejak awal sudah meletakkan rasio sebagai bagian yang berperan penting dalam agama. Ketika itu, Ahmad bin Hanbal merupakan seorang tokoh yang paling konsisten dengan pemahamannya yang bersifat lahiriah sehingga banyak dari kaum Muslimin yang mengaguminya dan mengikutinya. Ketokohannya bertambah melejit setelah peristiwa “ al mihnah “ ( ujian berat); peristiwa penyiksaan atas Ahmad bin Hanbal yang dilakukan oleh tiga khalifah Abbasiyah ( al Ma’mun, al Mu’tashim, al Watsiq ) karena masalah apakah Qur’an itu makhluk atau bukan? Ahmad meyakini bahwa Qur’an bukan makhluk, sementara mereka meyakini Qur’an itu makhluk. Karena peristiwa ini lah beliau dianggap sebagai martyr.
Setelah Ahmad bin Hanbal wafat pada tahun 241 H (855 M) Pandangannya masih bertahan sebagai mainstream di tengah kaum Muslimin, dan pada gilirannya metode Ahlul Hadis masih dominan dibandingkan dengan metode Ahlu Ra’yu dan Mu’tazilah. Kenyataannya ini berlangsung hingga muncul Abu al Hasan al Asy’ari (873-935 M).
Al-Asy’ari seorang penganut aliran teologi Mu’tazilah dan pernah berguru kepada Abu Ali al Jubâ’i dalam mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah hingga dia mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40 tahun. Pada tahun 912 M., dia mengumumkan keluar dari aliran Mu’tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai aliran Asy’ariyah. Dalam alirannya ini, dia menggambungkan metodologi Ahlul Hadis yang skriptual dengan metodologi Mu’tazilah yang rasional, dan melakukan kritikan pada sebagian pemikiran dari dua aliran itu.
Aliran teologi Asy’ariyah mendapatkan sambutan yang luas dari kaum Muslimin sehingga mengalahkan aliran Ahlul Hadis dalam bidang teologi. Sebaliknya, popularitas Ahlul Hadis lambat laun merosot bahkan sampai pada titik nadir. Tetapi dalam bidang ilmu Fiqih, pandangan dan fatwa Ahmad bin Hanbal masih bertahan hingga saat ini sebagaimana mazhab-mazhab Fiqih lainnya. (bersambung) [ Husein Alkaff]
[1] Dikutip dari buku terjemah kitab Ushulus Sunnah, karya Imam Ahmad bin Hanbal, Penerbit Darul Manar cet. 1 Th. 1411H. Penerjemah : Abdur Rahman Mubarak Ata, Cetakan pertama, September 1999, Penerbit : Pustaka Al Mubarak.