Sorotan Israel Terhadap Segi Tiga Iran, Suriah dan Hizbullah
Oleh: Musa M. (Jurnalis dan pengamat Timur Tengah)
Israel terlihat kian was-was, gamang, tak berkutik dan mati gaya menghadapi perkembangan kondisi segi tiga musuh besarnya, Iran, Suriah dan Hizbullah. Di saat isu nuklir Iran terus berselancar menuju solusi diplomatik, tentara pemerintah Suriah terus memorak porandakan kubu-kubu pemberontak pujaan Tel Aviv, dan yang tak kalah mengerikan lagi bagi Israel ialah ketika teropongnya terhadap Hizbullah tersentak oleh realitas betapa milisi dukungan Teheran dan Damaskus itu kian menjelma menjadi kekuatan raksasa yang tak berhenti melirik tajam ke arah target-target vital di seantero wilayah Israel.
Adalah lembaga Begin-Sadat Center for Strategic Studies (BESA) yang belum lama ini merilis hasil pantauan teropongnya terhadap fenomena Hizbullah. Sebagaimana dilansir oleh koran Maariv terbitan Israel, BESA menyebutkan bahwa dengan bantuan Iran dan Suriah, organisasi perlawanan anti ekspansi Israel yang bermarkas di Lebanon di bawah komando Sayyid Hasan Nasrallah itu telah membangun arsenal militer dengan skala yang “belum pernah terjadi sebelumnya”. Hasil kajian itu memaparkan bahwa kekuatan rudal Hizbullah dapat menerjang dan mengoyak wilayah Israel di bagian dan sudut manapun.
Hanya saja, lanjut BESA, Israel sudah melakukan persiapan militer yang matang untuk menghadapi konflik yang mungkin terjadi di masa mendatang. Menurut lembaga yang didirikan oleh pemimpin Yahudi Kanada, Thomas Hecht, tersebut, Israel juga telah menimbun banyak informasi intelijen tentang Hizbullah, dan untuk mengimplementasikan rencana militernya Israel akan menggunakan jalur darat dan udara untuk menginvasi Lebanon selatan dengan bekal senjata berat dan akurat.
BESA menyatakan bahwa tujuan utama Israel melakukan persiapan besar-besaran itu tak lain adalah menumpas habis gerakan Hizbullah dan tidak akan memberinya lagi kesempatan untuk kembali mempersenjatai diri dalam jangka panjang sesudah invasi masif Israel.
Lebih lanjut, BESA memastikan bahwa Hizbullah telah menabung rudal dan roket sebanyak 80,000 unit yang semuanya tak lain mengarah kepada Israel dan mengancam “front internal Israel”. BESA juga percaya bahwa daya ofensif milisi Hizbullah terus menanjak dari segi kualitas maupun kuantitas walaupun terlibat secara besar-besaran dan intensif dalam Perang Suriah.
Dalam sorotan pusat kajian strategi Israel yang disebut independen itu, Hizbullah sangat mengutamakan penimbunan rudal-rudal berakurasi tinggi serta berjarak tempuh jauh dan sedang. Sasarannya nanti adalah lokasi-lokasi vital Israel seperti dermaga, Bandara Internasional Ben Gurion, stasiun-stasiun pembangkit listrik dan basis-basis utama militer Israel. Hizbullah juga memiliki sistem-sistem peluncur rudal mutakhir dari darat ke udara untuk menghadapi serangan udara Israel serta mengoleksi rudal-rudal canggih untuk membidik angkatan laut Israel dan membombardir situs-situs eksplorasi gas di Laut Mediteranian.
Sementara itu, sebuah hasil jajak pendapat yang dilansir oleh koran Yedioth Ahronoth terbitan Tel Aviv menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Israel berpendapat bahwa negara Zionis ini dapat melancarkan serangan terhadap instalasi-instalasi nuklir Republik Islam Iran tanpa memerlukan bantuan Amerika Serikat (AS). Lebih dari 68% responden berpendapat demikian, sedangkan yang menolak pendapat itu hanya 18%.
Di samping itu, 65% responden menentang kesepakatan nuklir Iran dengan negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) plus Jerman atau yang lazim disebut “Kelompok 5+1”, dan hanya 16.2% yang menyetujui kesepakatan tersebut. Kemudian, sebanyak 52.5% responden mendukung sikap kritis Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terhadap sikap pemerintah Gedung Putih terkait isu nuklir Iran.
Yedioth Ahronoth juga melaporkan bahwa lebih dari 84.4% kalangan garis keras Yahudi mendukung pendirian Netanyahu terhadap Iran, dan tingkat kepuasan publik Israel belakangan ini mencapai 45%.
Menurut koran berbahasa Ibrani ini, dalam kajian yang diadakan oleh RAND Center for Middle East Public Policy yang berbasis di AS telah dibahas masalah penentangan Israel terhadap kesepakatan nuklir Iran, demikian pula masalah opsi Tel Aviv untuk melancarkan serangan terhadap Suriah dan terlebih lagi terhadap rute transportasi senjata Hizbullah. Hasilnya, justru tersusun laporan bahwa opsi tersebut hanya akan mempersengit konflik Israel dengan Hizbullah dan Iran yang pada gilirannya akan mengguncang Timur Tengah serta mengundang bahaya bagi pasukan dan kepentingan AS di kawasan ini.
Selain itu, disebutkan pula bahwa intervensi militer Israel secara terbuka terhadap Suriah pasti mengundang reaksi keras dari Hizbullah pada skala yang justru dapat melemahkan dan “menjerakan” bagi Israel sebagaimana yang pernah dialaminya pasca perang Juli 2006.
Atas dasar ini, laporan itu menilai kecil kemungkinan Israel akan memilih opsi intervensi militer terhadap Suriah atau menjadikan Hizbullah sebagai target serangan. Laporan itu menempatkan opsi tersebut dalam kategori ekstrim.
Laporan itu juga menyinggung posisi Arab Saudi. Menurut laporan itu, Arab Saudi tidak memiliki kekuatan militer seperti yang dimiliki Israel. Rezim Riyadh paling banter hanya dapat menekan Teheran dengan cara mensponsori kelompok-kelompok radikal di Lebanon, Suriah dan Irak serta memotivasi mereka supaya memerangi Hizbullah.
Hanya saja, di sini RAND Center for Middle East Public Policy juga mewanti Riyadh agar berpikir seratus kali dalam menyokong kelompok-kelompok ekstrimis, mengingat semua kelompok beringas itu bisa menjadi bumerang yang mencelakakan Saudi sendiri. Apalagi, lanjut lembaga AS tersebut, tekanan Saudi sekencang apapun terhadap Hizbullah, misalnya, tidak mungkin dapat mencegah Iran dari penandatangan perjanjian nuklir, dan tidak pula menghadang proses pendekatan antara Barat dan Eropa.[]