Syarat Fatwa Menurut Syaikh Thanthawi
Syaikh Thanthawi Rektor Al-Azhar: “Berfatwa Harus dalam Pengabdian kepada Akhlak dan Maslahat Umat”
Islam, pertama berdasarkan riwayat-riwayat terkait- terbentuk atas lima perkara yang disebut dengan Rukun Islam. Kedua, selain itu ada perkara-perkara yang lazim dalam agama (seperti tiada nabi sesudah Nabi Muhammad saw, Alquran tiada keraguan di dalamnya, dan lain sebagainya yang diistilahkan dengan min dharuriyat ad-dîn), yang tak boleh diingkari.
Dengan demikian, bila ada seorang dari para penganut mazhab-mazhab yang selain Ahlussunnah, menurut Rektor al-Azhar DR.Syaikh M.S.Thanthawi, tak perlu disangsikan kemuslimannya jika secara lahir dalam dua keadaan tersebut. Adanya perbedaan di antara mazhab-mazhab Islam hanyalah terkait dengan masalah-masalah furu.
Beliau mengatakan: Kita tidak boleh mengatakan, dia itu tidak tergolong muslimin. Syariat Islam menyerukan muslimin agar menilai orang atas keadaan lahiriahnya. Sedangkan batiniahnya, hanya Allah lah Yang Maha mengetahui. Sebagaimana sabda Nabi saw: Aku (Nabi saw) diperintah Allah agar menilai orang-orang secara lahir, sedangkan apa yang tersembunyi menjadi urusan-Nya.
Di Universitas al-Azhar sendiri terdapat fakultas hukum, yang mengkaji mazhab-mazhab Islam yang berbeda antara satu dengan lainnya, untuk pengetahuan sebagai salah satu tujuannya- bahwa perbedaan-perbedaan yang ada itu bersifat furu (cabang) dan sah secara syariat.
Fatwa Takfiri
Lalu di luar sana sebagian orang dalam satu kelompok yang disebut dengan takfiri, dapat dihadapkan kepada mereka riwayat-riwayat peringatan keras terkait pengkafiran terhadap orang-orang yang secara lahir bagian dari muslimin. Seperti riwayat dari Ibnu Umar dan Abu Dzar, yang menyatakan bahwa siapa yang mengatakan, kafir, terhadap saudaranya (yang seagama), maka salah satu dari keduanya telah mengakui kekafiran dirinya.. Jika tidak benar perkataan dia, maka yang dikatakannya itu kembali kepada dia sendiri. Yakni, dia sendiri lah yang kafir karena telah menuduh saudaranya.
Hal itu telah terjadi dan menjadi fenomena yang sangat disayangkan di dunia Islam, bahwa kelompok takfiri bukan hanya tidak mengindahkan riwayat-riwayat tersebut, tetapi juga memerangi muslimin yang tak sepaham dengan mereka. Lalu apa yang akan mereka katakan, jika kita sampaikan kepada mereka riwayat dari Ibnu Masud bahwa: Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekafiran.?
Pengkafiran yang dilontarkan oleh mereka dalam kelompok ini mengikuti fatwa takfiri dari para tokoh mereka, yang menjadi rujukan dan dalil atas tindakan mereka yang melampaui batas hak-hak kemusliman dan kemanusiaan. Kendati demikian, tak semudah itu mereka yang terbilang minoritas menerapkan fatwa takfiri yang telah menumpahkan darah ribuan bahkan jutaan muslim yang tak bersalah sebagai orang-orang sipil maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Oleh karena itu, di satu sisi menjadi urgen bagi kita pengkajian adanya sesuatu di balik semua kekacauan ini, seperti yang telah dan sedang terjadi di Afganistan, Irak, Suriah, Yaman dan negeri-negeri Islam lainnya, bahkan di tanah air tercinta ini yang mayoritas penduduknya adalah muslimin. Bahwa, ada kekuatan asing yang menjadi orang ketiga yang memang menginginkan muslimin berpecah-belah dan memerangi satu sama lain.
Syarat Seorang Mufti
Di sisi lain, terkait masalah fatwa takfiri, Syaikh Thanthawi menjelaskan soal: Siapakah yang layak dipandang sebagai mufti? Secara ringkas beliau mengatakan, bahwa mufti adalah seorang yang:
Pertama, memberikan jawaban yang benar atas berbagai persoalan dari umat, berdasarkan Alquran dan Sunnah serta ilmu-ilmu (terkait) yang benar dan bermanfaat.
Kedua, memiliki kapasitas dan otoritas dalam urusan agama dan dunia-akhirat mereka, dengan persyaratan di antaranya yang beliau sebutkan:
1-Selain hafal Alquran, memahami maksud-maksudnya, dan selain hafal hadis-hadis Nabi saw, menguasainya dari segi matan (teks) dan sanadnya.
2-Melakukan pengkajian masalah-masalah fikih, usul fikih dan pandangan-pandangan fuqaha terkait akidah, muamalah, hukum halal dan haram, dan permasalahan lainnya yang diperlukan dan diterapkan oleh umat dalam kehidupan mereka.
3-Menguasai tata bahasa Arab, balaghah dan lainnya yang memuat kaidah-kaidah bahasa Arab.
4-Memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan, dan mengerti apa yang boleh dan tidak boleh berijtihad dalam hukum.
5-Tergolong uqala` yang saleh dan istiqamah dalam hidayah Allah swt, dan di dalam berfatwa tiada maksud baginya melainkan pengabdian kepada kebenaran, keadilan dan kemuliaan akhlak serta kepentingan umum bagi umat.
Persyaratan tersebut sangat penting agar tidak mudah bagi yang awam menelan sebuah pernyataan liar yang disebut fatwa oleh sekelompok takfiri, dan Syaikh Thanthawi sebagai Rektor Al-Azhar, secara resmi menulisnya pada tanggal 20 Rabiul awal 1426 H/28 Mei 2005.
Referensi:
Ârâ` wa Fatâwâ Ulamâ` al-Muslimîn fi Tahrîmi Takfîri Atbâ al-Madzâhib al-Islâmiah/Doktor Syaikh Fuad Kazhim al-Miqdadi