Tekad Kuat, Itulah Kunci Perbaiki Diri
لَقَد تَّابَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِن بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ * وَعَلَى الثَّلاَثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُواْ حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّواْ أَن لاَّ مَلْجَأَ مِنَ اللّهِ إِلاَّ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُواْ إِنَّ اللّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.
Para Mufassir mengatakan bahwa ayat yang pertama (117) turun di perang Tabuk, dimana kaum muslimin pada saat itu menghadapi berbagai rintangan dan kesulitan yang besar. Banyak dan besarnya rintangan-rintangan tersebut mengharuskan sekelompok kaum muslimin memutuskan untuk mundur, hanya saja berkat belas kasih dan taufik Allah masih menyentuh mereka, hingga mereka tetap kokoh memutuskan untuk tetap di posisi mereka.
Terdapat sekelompok mufassir yang mengatakan bahwa ayat tersebut turun pada Abu Khaitsamah, salah satu sahabat Nabi Saw. Dia bukan dari golongan kaum munafiqin, hanya saja dikarenakan rasa lemah yang mencegah dirinya untuk ikut serta dalam peperangan Tabuk bersama Nabi Saw.
Saat peperangan ini telah berlangsung selama sepuluh hari, udara pada saat itu begitu panas membakar, dan saat itu dia mendatangi istri-istrinya, sementara para istri telah menyediakan kemah untuknya. Kemudian mereka menghidangkan jamuan makan yang begitu lezat dan air yang dingin.
Seketika dia teringat Rasulallah Saw, kemudian dia termenung dalam sebuah renungan yang begitu dalam dia berkata kepada dirinya sendiri: “Sesungguhnya Rasulallah Saw yang Allah Swt telah mengampuni segala dosanya baik yang telah lalu maupun yang akan datang, dan telah menjamin bagi beliau akhiratnya, sesungguhnya beliau telah membawa senjata di atas pundak beliau sembari melewati padang sahara yang panas membakar, dan telah mengemban beratnya perjalanan, sementara dirinya (Abu Khaitsamah) berada di bawah naungan/tenda yang dingin, dijamu dengan berbagai macam hidangan, serta bersama istri-istri yang cantik!!” “Sungguh ini tidak adil.”
Kemudian dia menoleh kepada istri-istrinya seraya berkata: “Demi Allah aku berjanji aku tidak akan mengajak bicara salah satu dari kalian sepatah kata pun, dan aku tidak akan bernaung di dalam kemah ini sampai aku dapat menyusul Nabi Saw”.
Dia berkata sambil membawa perbekalan dan sarung pedangnya kemudian berangkat menaiki untanya, para istri berusaha mengajaknya bicara tetapi dia tidak menghiraukan dan tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia terus melanjutkan perjalanannya sampai mendekati Tabuk.
Sebagian kaum muslimin mereka bertanya kepada sebagian yang lainnya: siapakah si penunggang kendaraan yang ada dijalan?
Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya dia adalah Abu Khaitsamah” dan saat dia hampir sampai orang-orang baru mengenalinya, mereka berkata : iya, dia adalah Abu Khaitsamah, kemudian dia menderumkan ontanya dan mengucapkan salam kepada Nabi Saw, Kemudian menceritakan apa yang telah terjadi pada dirinya, kemudian Nabi Saw menyambutnya seraya mendoakannya.
Begitulah sebagian orang hatinya condong kepada kebatilan, hanya saja karena Allah Swt melihat adanya kesiapan mental di dalam diri mereka maka Allah Swt mengembalikan mereka kepada kebenaran dan mengokohkan tekad mereka.
Ada riwayat lain yang menyebutkan sebab lain dari turunnya ayat yang kedua, di mana ringkasnya demikia:
Tiga orang dari kaum muslimin mereka adalah: Ka’ab bin Malik, Mararah bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah, Mereka tidak ikut dalam rombongan Nabi Saw dan tidak ikut serta dalam peperangan Tabuk, bukan lantaran mereka tergolong kaum munafiqin, melainkan dikarenakan rasa malas dan tidak semangat, dan setelah waktu berlalu akhirnya mereka menyesal.
Ketika Nabi Saw pulang dari peperangan Tabuk mereka bertiga mendatangi beliau dan meminta maaf atas kesalahan yang telah sengaja mereka perbuat, hanya saja Nabi Saw enggan untuk berbicara dengan mereka walau sepatah kata, beliau juga memerintahkan kaum muslimin agar juga tidak berbicara dengan mereka sama sekali.
Mereka bertiga hidup terkucilkan secara sosial yang menyakitkan, sehingga disebutkan bahwa anak-anak dan istri-istri mereka mendatangi Nabi Saw, guna meminta izin dari beliau agar mereka di perbolehkan untuk berpisah, hanya saja Nabi Saw tidak memperkenankan serta mengizinkan untuk hal tersebut, melainkan Nabi Saw hanya memerintahkan agar mereka tidak mendekati mereka bertiga.
Luasnya tanah kota Madinah terasa sempit bagi mereka bertiga, pada akhirnya mereka memaksakan diri untuk bisa lepas dari kehinaan dan kasus yang besar ini, dengan cara meninggalkan kota Madinah dan berlindung di puncak-puncak gunung.
Di antara permasalahan yang begitu mempengaruhi mental ruh mereka, serta menimbulkan guncangan psikologi yang begitu keras di dalam jiwa mereka, apa yang telah di riwayatkan oleh Ka’ab bin Malik di mana dia mengatakan: Suatu hari aku duduk di pasar kota Madinah sementara saat itu aku sedang gelisah, mendatangi seorang masehi dari kota Syam, dan saat dia mengenaliku dia menyerahkan sebuah surat dari raja suku Ghassan tertulis di dalamnya: Jikalau sahabatmu telah mengusirmu dan menjauhkan diri darimu maka lebih baik engkau bergabung dengan kami, maka pada saat itu berubahlah keadaanku, kemudian aku berkata: “Celakalah aku, sesungguhnya masalahku telah menjadikan para musuh berhasrat untuk mendapatkanku”.
Ringkasnya, sesungguhnya keluarga mereka dan para sahabat mereka mendatangi mereka sembari mengirimi mereka makanan, hanya saja mereka tidak mengajak mereka berbicara sama sekali. Cukup lama waktu berlalu mereka menjalani keadaan semacam ini sementara mereka menahan kesabaran dan sakitnya penantian.
Pada akhirnya turunlah ayat yang memberi berita gembira untuk mereka dengan diterimanya taubat mereka. Akan tetapi, tidak ada manfaat saat turunnya ayat tersebut karena terbersit di benak salah satu dari mereka sebuah pandangan dan dia berkata: “Jikalau manusia telah memutus hubungan dengan kita dan mengasingkan kita, lantas kenapa masing-masing dari kita tidak mengasingkan sahabatnya, memang benar kita semua bersalah dan berdosa, tapi haruslah salah satu dari kita tidak merasa senang dengan kesalahan orang lain”.
Faktanya sebagian mereka mengasingkan sebagiannya, dan tidak berbicara sesama mereka walau sepatah katapun, dan tidak ada di antara mereka yang berkumpul dalam satu tempat atau daerah.
Pada akhirnya …. setelah lima puluh hari dari taubat dan rasa tunduk mereka kepada Allah Swt diterimalah taubat mereka kemudian turunlah ayat tersebut.