Ushul fiqih – Dinamika kemunculan dan perkembangannya dalam dunia Islam – (Bagian terakhir)
Ushul fiqih pasca keghaiban Imam Mahdi ajs
Dalam pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa maraknya karya-karya ushul fiqih dalam syiah dapat ditemukan pasca kegaiban Imam Mahdi ajs, hal itu disebabkan karena kebutuhan syiah akan ushul fiqih belum begitu mendesak, pada saat itu syiah masih memiliki para imam as sebagai sumber hukum pasca wafatnya Nabi saw. http://ikmalonline.com/ushul-fiqih-dinamika-kemunculan-dan-perkembangannya-dalam-dunia-islam-bagian-ketiga/
Ibnu Abi Aqil yang bernama Hasan bin Ali bin Abi Aqil ulama syiah pada abad ke tiga dan Ibnu Junaid yaitu Muhammad bin Ahmad bin Junaid (381 H) bisa dikatakan sebagai pelopor ijtihad dan ulama yang menyusun fiqih dalam kerangka riwayat hadist, walaupun Ibnu Abi Aqil tidak memiliki karya khusus dalam bidang ushul fiqih namun ia memiliki karya besar dalam bidang fiqih berjudul al-Mutamassik bihabli aali rasuul[1] adapun Ibnu Junaid memiliki karya khusus dalam bidang ushul fiqih berjudul Kasyf at-tamwiih wal iltibaas [2]
Setelah kedua ulama tadi, Syekh Mufid (413 H) memiliki peran besar dalam membentuk ijtihad dalam madzhab syiah, dan karya beliau yang berkaitan dengan ushul fiqih telah dicantumkan oleh Abul Fath al-Karojiki dalam karyanya berjudul Kanzul Fawaaid
Dan setelah Syekh Mufid, ilmu ushul fiqih telah mencapai kesempurnaannya, dan hal itu berkat kedua murid beliau yaitu Alamul Huda Ali bin Hasan al-Musawi yang dikenal sebagai Sayid Murtadha (436 H) yang memiliki karya fenomenal dalam bidang ushul fiqih berjudul ad-Dzari’ah fii ushuul as-syarii’ah dan Syekh Thusi yaitu Muhamad bin Hasan at-Thusi (460 H) yang memiliki karya yang sangat bernilai sekali berjudul ‘Iddatul ushuul.
Kedua karya ini mencakup seluruh tema-tema yang dibahas dalam ushul fiqih dan juga mencantumkan penelitian terhadap beberapa pendapat dan argumentasi lalu mengkoreksi pendapat dan argumentasi yang tidak sesuai dengan pendapat ilmiah dan dasar dari madzhab syiah.
Pengaruh ilmu kalam dalam ilmu ushul syiah
Fenomena yang terjadi di Ahlusunnah terjadi pula dalam syiah, pengaruh ilmu kalam, filsafat dan ilmu logika tidak dapat terelakan lagi, bisa jadi hal tersebut disebabkan karena ilmu ushul fiqih memang memiliki kaitan erat dengan ilmu-ilmu tersebut sehingga harus disinggung dalam tema-temanya atau memang karena pada saat itu pamor ilmu ushul fiqih kalah dengan ilmu filsafat, kalam dan logika yang memang memiliki pengaruh sangat besar pada masyarakat pada saat itu.
Oleh karena itulah walaupun dalam mukadimah kitabnya adz-Dzari’ah Sayid Murtadha menegaskan agar tema ilmu kalam harus dibedakan dan tidak dimasukan dalam tema ushul fiqih, begitu juga Syekh Thusi dalam bab pertama kitabnya menegaskan hal yang kurang lebih sama seperti Sayid Murtadha.
Namun, sekuat apapun mereka berusaha untuk tidak memasukan tema ilmu kalam dalam karyanya akhirnya mereka harus mengakui bahwa ilmu kalam mau tidak mau harus disinggung dalam ilmu ushul fiqih. Sebagai contoh misalnya Syekh Thusi dalam kitab ushul fiqihnya membahas tentang “Apa yang wajib diketahui dari sifat Allah, nabi dan para imam”[3], begitu pula Sayid Murtadha dalam karya ushul fiqihnya beliau membahas tentang “Apakah Nabi saw harus mentaati hukum syariat dari nabi-nabi sebelum beliau saw atau tidak?”[4]
Era kevakuman ijtihad
Syiah dalam perjalanan sejarahnya hampir mengalami seperti yang dialami Ahlusunnah yaitu tertutupnya pintu ijtihad. Pasca wafatnya Syekh Thusi (460 H) sampai masa Muhamad bin Ahmad bin Idris al-Hilli yang dikenal sebagai Ibnu Idris al-Hilli (598 H) syiah mengalami kevakuman ijtihad selama satu abad lebih, Ibnu Idris menamakan masa itu sebagai era taklid, karena selama seabad lebih para pengikut syiah bertaklid kepada Syekh Thusi dan tidak ada seorang ulama pun yang memberanikan diri untuk memproklamirkan dirinya sebagai mujtahid sampai datangnya Ibnu Idris al-Hilli[5]
Peran Ibnu Idris al-Hilli dalam membuka kembali pintu ijtihad
Ibnu Idris menulis sebuah kita berjudul as-Saroo’ir al-Haawii li tahriiril fataawaa, dalam kitabnya tersebut, Ibnu Idris tidak hanya memaparkan pendapat fiqihnya saja namun juga menjelaskan teori ushul fiqih yang ia gunakan. Beliau juga sering menukil pendapat Syekh Thusi, bahkan disebutkan, dalam setiap lembar kitab Ibnu Idris tidak ditemukan kecuali beliau menukil pendapat dari Syekh Thusi.
Tentu saja tujuan beliau bukan hanya menjelaskan pendapat Syekh Thusi namun juga melontarkan kritikannya terhadap beberapa pendapat beliau, kritikan Ibnu Idris juga diarahkan kepada beberapa pengikut dan murid Syekh Thusi. Sehingga sepanjang hidupnya Ibnu Idris disibukan untuk mengkritik sekaligus membantah beberapa pembelaan dari pengikut Syekh Thusi, sehingga dapat kita bayangkan perjuangan dan penderitaan yang dialami oleh Ibnu Idris dalam upaya beliau untuk membuka kembali pintu ijtihad.
Namun bukan berarti Ibnu Idris tidak memiliki penolong, reformasi yang beliau lakukan dilanjutkan oleh beberapa ulama seperti Najmu ad-Din Jafar bin Husain bin Yahya bin Said, yang dikenal sebagai Muhaqqiq al-Hilli (676 H) dan murid beliau dan juga keponakannya Hasan bin Yusuf bin Ali bin Muthohhar al-Hilli yang dikenal sebagai Allamah Hilli (726 H) dan masih banyak yang lain.
Kitab Syaroo’I al-Islamiyyah karya Muhaqqiq Hilli masih dipelajari di beberapa hauzah hingga saat ini.
Akhbariyyuun kontra ushuliyyun
Orang-orang Akhbari dan Ushluli keduanya merupakan kelompok dalam mazhab Syiah Dua Belas Imam yang memiliki metodologi dan pendekatan yang berbeda dalam memahami hukum-hukum syariat.
- Akhbariyyun adalah kelompok ahli hadis. Kelompok ini memandang batil adanya ijtihad dan hanya mengikuti akhbâr (riwayat dan hadis). Orang yang menjadi pelopor kelompok ini adalah Mullah Muhammad Amin bin Muhammad Syarif Astarabadi (1033 M). beliau bisa disebut sebagai pendiri kelompok ini dalam mazhab Syiah dan juga menjadi orang pertama yang mengkritisi para mujtahid syiah dalam kitabnya “Fawâid al-Madaniyah”
Ia meyakini bahwa ijtihad yang kini dilakukan oleh ulama syiah tidak berasaskan pada ijtihad ulama syiah terdahulu. Katanya bahwa al-Quran memiliki ayat-ayat muhkamah dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, dan tidak mungkin kita dengan mudah melalukan inferensi hukum darinya. Karena itu, ia meyakini bahwa kita harus merujuk kepada akhbâr (riwayat-riwayat). Mengingat ijtihad berdiri di atas asumsi dan dugaan maka hukumnya batil, tegasnya. Dia berdalih bahwa seluruh akhbâr (riwayat-riwayat) yang dinukil dari para Imam Maksum merupakan dalil-dalil qat’hi (definitif) dan pelbagai dugaan dan terkaan tidak dapat dihadapkan dengan dalil-dalil qath’i.
- Ushuliyyah: Ushuliyyun adalah sebagai kebalikan Akhbariyyun sebuah kelompok yang banyak diikuti oleh para pakar hukum Islam yang disebut dalam Syiah sebagai Ushuli. Mereka meyakini bahwa dalam melakukan istinbath hukum-hukum syariat Islam kita dapat beramal berdasarkan dalil-dalil dari al-Quran, Sunnah, Akal dan Ijma. Mereka memanfaatkan ilmu ushul fiqih dan juga kaidah-kaidahnya untuk menemukan sebuah solusi hukum. [6]
Pokok perbedaan dua kelompok ini hanya terdapat pada metode dan pendekatan serta jalan untuk sampai pada hukum syariat. Terkait dengan cara untuk sampai pada hukum syariat masing-masing berbeda dalam metode dan pendekatan. Adapun perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
- Ijtihad dan taklid: Kaum Ushuliyyun meyakini ijtihad dan mereka yang bukan mujtahid harus merujuk kepada seorang mujtahid dan pakar dalam masalah hukum agama yang secara teknis disebut sebagai taklid. Namun Akhbariyyun melarang adanya ijtihad dan taklid.
- Kaum Akhbariyyun beranggapan bahwa al-Kutub al-Arba’ah (empat kitab rujukan hadist dalam syiah) semuanya adalah sahih. Lantaran orang-orang yang mengumpulkan riwayat-riwayat ini telah menghimpun riwayat-riwayat sahih dan telah menghapus riwayat-riwayat yang tidak sahih. Mereka tidak menerima pembagian empat jenis hadis yang dibahas dalam ilmu rijal (sahih, hasan, muattsaq, dha’if) namun kaum Ushuliyyun menentang pandangan ini.
- Kaum Ushuliyyun menerima perkara-perkara seperti qubh taklif bimâ la yuthaq (tercelanya pemberian beban hukum bagi manusia yang tidak mampu), qubh iqab bilâ bayân (tercelanya adanya hukuman tanpa adanya penjelasan terlebih dahulu) namun kaum Akhbariyyun menolak dan tidak menerima perkara-perkara rasional ini.
- Zahir Al-Quran dapat dijadikan argumentasi: Kaum Akhbariyyun berkata kita tidak dapat beramal berdasarkan lahiriyah al-Quran kecuali melalui jalan riwayat-riwayat dan hadis-hadis yang telah menafsirkan ayat-ayat tersebut. Namun kaum Ushuliyyun memandang lahiriyah al-Quran sebagai hujjah sepanjang tidak ada riwayat yang menentangnya.
Selama dua abad lamanya ulama Ushuliyyun dan Akhbariyyun berbeda pendapat secara sengit, kaum Akhbariyyun pernah mendominasi kaum Ushuliyyun sampai pada masa Muhammad Baqir Wahid Bahbahani (1208 H) yang banyak melancarkan kritikan tajam kepada kaum Akhbariyyun dan setelah itu para mujtahid kembali mendominasi kaum Akhbariyyun hingga saat ini dan masa kini orang-orang yang menganut paham Akhbariyah sangat minim jumlahnya .[7]
Wallahu A’lam
Ali Shofi
[1] Al-Kunaa wal alqoob karya Syekh Abbas al-Qummi 1:194
[2] Ibid 2:22
[3] ‘Iddatul ushul, bab V, hal. 17
[4] Adz-Dzari’ah, juz II, hal.482
[5] Ar-Rosa’il, karya: Syekh Anshori, hal.90
[6] Dairat al-Ma’arif Tasyayyu’, madkhal firaq, dengan sedikit perubahan.
[7] Dairat al-Ma’arif Tasyayyu’..