Wahhabi : Sebuah Metamorfosis Gagal Dari Ahlu Hadis ( bag- 3 terakhir)
(Ahmad bin Hanbal – Ibnu Taimiyyah – Wahhabi)
Ibnu Taimiyah dan pemikirannya serta upayanya untuk menghidupkan kembali metode Ahlul Hadis mengahadapi tantangan yang kuat para pengikut teologi Asy’ariyyah, dan berakhir dengan taubat kemudian meninggal di penjara. Nasibnya berbeda dengan Ahmad bin Hanbal. Ahmad bin Hanbal telah berhasil menggelorakan metode Ahlul Hadis dan berjaya selama beberapa dekade, meskipun kemudian surut setelah munculnya teologi Asy’ariyyah. Surutnya Ahlul Hadis-Ahmad bin Hanbal lebih karena faktor alami; kalah saingan oleh teologi Asy’ariyyah, tapi mazhab fikihnya masih diikuti oleh banyak kaum Muslimin hingga saat ini.
Sementara Ibnu Taimiyah muncul pada saat teologi Asya’riyyah berada pada puncak kejayaannya. Hampir seluruh dunia Islam mengikuti paham Asy’ariyah, termasuk para pengikut mazhab Ahmad bin Hanbal sendiri. Kemunculannya tidak berdaya dalam menghadapi dominasi para pengikut Asy’ariyah. Dominasi mereka sangat kuat sehingga menggilas pemikirannya yang relatif masih bayi. Akhirnya, pemikiran Ibnu Taimiyah dan metode Ahlu Hadis berhenti dan tidak berkembang. Pemikiran-pemikirnnya hanya berada dalam catatan-catatan karya-karyanya dan karya-karya segelintir ulama yang mengikutinya seperti, Ibnu al Qayyim Al Jawzi
Muhammad bin Abdul Wahhab Pembaharu Ahlul Hadis
Pada abad ke delapan belas muncul seorang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab (1701 – 1793). Dia lahir di daerah ‘Uyaynah 70 km dari Barat laut Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Pada mulanya, dia mempelajari dasar-dasar agama Islam dari ayahnya, dan kemudian belajar kepada beberapa ulama yang ada di daerahnya. Setelah itu, dia menuntut ilmu di beberapa kota di Jazirah Arabia hingga kota Bashrah, Irak.
Saat di Bashrah, Muhammad bin Abdul Wahhab mulai mempelajari secara otodidak buku-buku Ibnu Taimiyah. Sejak itu, dia tertarik pada pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah yang berlandaskan pada metode Ahlul Hadis yang skriptual. Begitu kuat pengaruh pemikiran Ibnu Taimiyah pada dirinya sehingga dia terdorong untuk menghidupkan kembali ajaran Ahlul Sunnah ‘ala Manhaj Salaf (Metode Ahlul Hadis).
Dengan cara pandang Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul wahhab menganggap ajaran-ajaran Islam yang dijalankan oleh umat Islam telah menyimpang dari al Qur’an dan Hadis, khususnya masalah aqidah. Pada waktu, praktek-prektek tasawwuf merajalela di jazirah Arabia dan sekitarnya, seperti ziarah kubur kepada para wali, tawassul dengan Nabi dan para wali, ber-tabarruk dengan mereka serta ritual-ritual sholawat dan zikir yang bermacam-macam. Menurut pandangannya, praktek-praktek semacam itu merupakan perbuatan bid’ah dan mengandung unsur-unsur kemusyrikan.
Karena terinspirasi oleh pemikran-pemikiran Ibnu Taimiyah dan terdorong untuk mengajak umat Islam agar kembali ke ajaran-ajaran Islam yang benar dan murni – menurut pandangannya sendiri, Muhammad bin Abdul Wahhab memulai gerakannya dengan menyebutnya sebagai gerakan “ Pemurnian Tawhid “. Umat Islam secara umum, dianggap oleh dia, tidak lagi mengikuti ajaran tawhid; ajaran mereka telah terkontaminasi oleh kemusyrikan. Paham-paham kemusyrikan itu muncul karena pemahaman mereka yang salah tentang tawhid. Karena itu, pemurnian tawhid merupakan langkah awal untuk membebaskan mereka dari kemusyrikan.
Wahhabi ; Gerakan Agama dan Politik
Sebelum menjalankan usahanya untuk memurnikan tawhid dari pemahaman-pemahaman yang menyimpang, Muhammad bin Abdul Wahhab menguraikan maksud dari tawhid yang murni sebagai berikut;
- Yang harus disembah hanyalah Allah SWT., dan orang yang menyembah selain dari Nya telah dinyatakan sebagai musyrik.
- Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tawhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada Allah, melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang berperilaku demikian juga dinyatakan musyrik.
- Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa dianggap sebagai bentuk kemusyrikan
- Meminta syafaat selain kepada Allah adalah perbuatan musyrik
- Bernazar kepada selain Allah merupakan kemusyrikan.
- Menafsirkan Al Qur’an dengan takwil atau penafsiran bebas termasuk kekufuran.
Sebenarnya pokok-pokok pikiran Muhammad bin Abdul Wahhab dalam masalah teologi ini sama dengan pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam masalah fikih, misalnya, dia melarang taklid kepada ulama, dan menjadikan Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum. Berpegangan dengan selain keduanya tidak dibenarkan. Pemahamannya ini untuk selanjutnya dikenal dengan paham “ Wahhabi “. Istilah ini disematak kepadanya karena dia lah yang berusaha untuk menghidupkan kembali pemahaman yang bercirikan scriptualist.
Muhammad bin Abdul Wahhab memulai gerakan Wahhabiah-nya di kotanya sendiri yaitu kota Uyaynah. Waktu itu, Uyaynah diperintah oleh seorang amir (penguasa) bernama Utsman bin Mu’ammar. Pada mulanya, Amir Utsman menyambut baik dan mendukung gerakannya. Berkat dukungan Amir itu, dia mulai melakukan penghancuran beberapa situs sejarah yang dianggap bisa menyebabkan kemusyrikan. Namun gerakannya ini lambat laun mendapatkan kecaman dari beberapa kabilah Arab sehingga akhirnya dia keluar dari kota Uyaynah, dan kemudian dia mendapat dukungan dari penguasa daerah Dar’iyyah, Amir Muhammad bin Sa’ud (1710-1765 M). Dengan bantuan senjata dari Muhammad bin Saud, gerakan dakwahnya menyebar ke beberapa daerah hingga keduanya menguasai Nejd bahkan hampir menguasai dua kota suci; Mekah dan Medinah yang masih dikuasai oleh amir yang berafiliasi ke khilafah Othmaniyyah di Turki.
Gerakan dua tokoh yang berkolaborasi ini; Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud, tidak semata-mata menyebarkan paham Wahhabi saja, tapi bertujuan untuk memperluas kekuasaan mereka atas jazirah Arabia. Setelah dua tokoh ini mati, gerakan paham dan politik Wahabi terus dilanjutkan secara massif oleh para murid Muhammad bin Abdul Wahhab bersama salah satu dari keturunan Muhammad bin Saud, yaitu Saud bin Abdul Aziz, cikal bakal kerajaan Arab Saudi.
Pada masa Saud bin Abdul Aziz gerakan Wahhabi berhasil menguasai wilayah Hijaz yang meliputi; Thaif, Mekah dan Medinah dari tangan Syarif Husein. Dengan demikian, secara politis maupun paham agama, dua kota suci umat Islam berada dibawah pengaruh Wahhabi. Saat itu pula banyak situs-situs sejarah, seperti makam Siti Khadijah al Kubra, dihancurkan dengan alasan membebaskan dua kota suci dari tempat-tempat kemusyrikan. Saud bin Abdul Aziz berkuasa dari tahun 1803 hingga tahun 1814, dan kemudian dilanjutkan oleh keturunannya secara turun menurun hingga Abdul Aziz bin Abdurahmah bin Faisal bin Turki bin Abdullah bin Muhammad bin Saud (1876-1953). Sebelum Abdul Aziz berkuasa telah terjadi beberapa pertempuran, baik antara para amir dengan pihak luar seperti Mesir dan Turki maupun antara mereka dengan kabilah-kabilah di jazirah Arabia, seperti kabilah al Rasyid, bahkan terjadi pula rebutan kekuasaan antara keturunan Muhammad bi saud sendiri.
Puncak Kejayaan Wahhabi
Abdul Aziz bin Abdurahman al Saud berhasil menguasai kabilah-kabilah dan daerah-daerah yang tersebar di jazeera Arabia pada tahun 1902, lalu semua wilayah kekuasaannya secara resmi disebut sebagai Kerajaan Arab Saudi dan dia dinobatkan sebagai rajanya pada tahun 1932. Keberhasilannya ini tidak lepas dari dukungan Inggris yang secara de facto menguasai beberapa wilayah di Timur Tengah. Selain itu, Raja Abdul Aziz menjadikan paham Wahhabi sebagai paham resmi kerajaannya, dan mengharuskan penduduknya untuk mengikutinya. Pada saat itu lah paham Wahhabi mencapai puncak kejayaannya di jazerah Arabia.
Namun gerakan Wahhabi tidak berhenti di situ saja. Raja dan ulama kerajaan Arab Saudi memanfaatkan momentum ibadah haji untuk menyebarkan paham ini. Khususnya setelah ditemukannya sumur-sumur minyak di dareah-daerah kekuasaannya pada tahun 1938, dan Kerajaan Arab Saudi menjadi Negara yang sangat kaya.
Karena posisi kekuasaannya yang sangat strategis bagi Umat Islam dan dengan dukungan dana yang kuat dari kerajaan Arab Saudi, gerakan Wahhabi makin gencar dan ambisius untuk menguasai dunia Islam. Paham Wahhabi mulai disebarkan ke seantero dunia. Mereka membangun universitas-universitas di Mekah dan Medinah dan mendatangkan para pelajar dari seluruh dunia Islam untuk belajar di dua kota suci secara gratis. Mereka mencetak kitab-kitab karya Ibnu Taimiyah dan para ulama Wahhabi dan menerjemahkannya ke berbagai bahasa lalu disebarkan secara gratis, baik secara langsung kepada jamaah haji maupun lewat perwakilan-perwakilannya di Negara-negara Islam. Selain itu, mereka juga mendirikan pusat-pusat pendidikan di berbagai penjuru dunia. Dengan semua usahanya itu, ajaran Wahhabi menyebar di seluruh dunia dan berupaya untuk menggeser dominasi teologi Asy’ariyyah serta mempersempit ruang gerak kelompok-kelompok Sufi.
Berbeda dengan Ahmad bin Hanbal sebagai pendiri metode Ahlu Hadis, dan Ibnu Taimiyah sebagai penerusnya, gerakan Wahhabi tidak murni ingin menghidupkan metode Ahlu Hadis (manhaj Salaf) yang sering mereka gembar-gemborkan, dan ini sebuah penyimpangan dari manhaj Salaf itu sendiri karena Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah tidak pernah terlibat dalam aktifitas politik.
Kegagalan Wahhabi
Meskipun didukung oleh kekuatan dana yang kuat, gerakan Wahhabi mengalami kegagalan dalam mempengaruhi semua kaum Muslimin, bahkan akhir-akhir ini muncul penolakan terhadapnya yang cukup keras, dan penolakan ini makin hari makin bertambah. Salah satunya, adalah muktamar yang diselenggarakan di Grozny, ibukota Chehnya, beberapa minggu lalu. Muktamar tersebut diadakan untuk merumuskan tentang Ahlu Sunnah wal Jamaah, dan menghasilkan sebuah keputusan yang menyatakan bahwa Wahhabi bukan Ahlu Sunnah wal Jamaah. Hasil muktamar ini merupakan pukulan yang sangat telak bagi para pengikut Wahhabi. Kemudian pada gilirannya, mereka melakukan pembalasan (counter) terhadap muktamar itu, dimulai baik dari mufti besar Kerajaan Arab Saudi, Syekh Abdul Aziz al Syekh hingga masyarakat awam mereka.
Selain itu, Wahhabi oleh banyak kalangan dianggap sebagai paham radikal yang melahirkan sikap yang radikal. Hampir semua gerakan teroris di dunia Islam mempunyai akar pemikiran yang berasal dari paham Wahhabi. Orang-orang Wahhabi paling banyak berandil dalam menciptakan kebencian dan permusuhan di tengah kaum Muslimin. Mereka gemar menuduh golongan Islam yang tak sejalan dengan mereka dengan tuduhan kafir, syirik dan ahli bid’ah. Itulah ucapan yang selalu didengungkan oleh mereka di setiap kesempatan; ceramah maupun tulisan. Karena itu, golongan yang menganut paham ini selalu militan dan keras terhadap golongan lain; baik individual, kelompok, Negara dan bangsa.
Dewasa ini, dunia menyaksikan bagaimana kelompok yang menganut paham ini telah menjadi monster yang menakutkan dunia, seperti ISIS, Front Nushrah, Baku Haram, al Qaidah, Thaliban dan lainnya. Mereka menjadi ancaman bagi umat manusia secara keseluruhan.
Pada akhirnya, Wahhabi mengalami kegagalan dalam mengusung metode Ahlul Hadis. Citra mereka di mata kaum Muslimin dan dunia internasional identik dengan kekerasan, kebencian dan teroris ( Husein Alkaff)