Peradaban: Spiritualisme dan Materialisme

tasawuf dan politik
Peradaban: Spiritualisme dan Materialisme
Melimpahnya kasus yang terjadi dan hadir di depan mata kita seperti kebrutalan psikopat, peristiwa bunuh diri masal, kesurupan, kegilaan duniawi, korupsi, munculnya tokoh-tokoh spiritual palsu yang menipu ribuan orang, keberanian orang-orang yang aneh dan gila untuk menjadi pemimpin umat, muncul tindakan-tindakna terorisme yang sangat tidak masuk akal dan tindakan –tindakan biadab lainnya yang sangat sulit dibayangkan dapat dilakukan oleh manusia. Hal ini membutuhkan penjelasan yang lebih akurat dengan penjelasan-penjelasan yang lebih komprehensip.
Terdapat jarak yang jauh antar filsafat Islam dan isu-isu di atas. Antara nomena dan penomena; antara ontologi dan axiologi. Yang seharusnya ada dengan yang seharusnya dilakukan. Jarak itulah yang membuat para pelajar dan bahkan para peminat kejiwaan manusia berpaling dari filsafat yang menjadi induk ilmu psikologi tersebut.
Gejalan Kejiwaan dalam sorotan Filsafat Psikologi Islam
Dalam keseharian kita merasakan berbagai perasaan dengan mengamati kondisi mental sendiri atau dengan mengamati perilaku, gestur, wajah, dan respon manusia satu sama lain. Perasaan yang banyak yang kita temui seperti stress, depresi, tidak percaya diri, agresif, histeria, bosan, rindu, jatuh cinta, demam panggung, iri, benci, kecerdasan emosi, mood dan sebagainya jika diinventarisir akan terdaftar ribuan atau bahkan jutaan perasan, feeling insan yang sangat beragam, berubah-berubah sehingga kita tidak bisa menamai lagi jenis perasaan-perasaan seperti itu.
Manusia sendiri sangat misterius, multidimensional dan tidak bisa diprediksi karena itu membutuhkan verseten (understanding), empati dan jenis-jenis metode yang yang berbeda dari metode terhadap alam (natural) yang bisa diprediksi, bisa diubah, bisa didominasi dan bisa dieskploitasi.
Apa, mengapa dan bagaimana perasaan-perasan seperti itu muncul dan bagaimana Filsafat Islam menganalisanya ? Filsafat psikologi baik peripatetik, Filsafat Iluminasi atau Hikmah Muta’aliyah meskipun memiliki perspektif yang berbeda terkait jiwa dan fakultasnya tapi umumnya ada hal-hal yang disepakati oleh ketiga aliran tersebut.
Yang umum itu adalah dalam diri manusia dari aspek jasmaniyah, hewaniyahnya dianugerahi dua daya atau dua fakultas, yang inheren yaitu daya untuk menarik (jadzb) dan daya untuk menolak (daf’). Daya untuk menarik disebut dengan syahwat (desire) dan daya untuk menolak disebut dengan ghadab (agresi). Dua daya ini sangat penting bagi kehidupan manusia, Daya menarik yaitu keinginan adalah sangat signifikan bagi manusia. Manusia secara instingtif dianugerahi keinginan untuk makan, minum, sex dan sebagainya. Tanpa hasrat manusia tidak akan lama tinggal di muka bumi ini. Anda bayangkan jika manusia tidak suka makan, atau tidak suka menikah (sex) maka spesies manusia akan punah. Dan karena itu Allah memiliki kebijakan sendiri untuk menanamkannya dalam jiwa manusia.
Yang menjadi masalah adalah ketika manusia dengan ikhtiyar mematikan keinginan itu atau memperturutkan sebebas-bebasnya dan kedua tindakan itu adalah buruk. Problema kejiwaan ini muncul kala pertama manusia memperturutkan tanpa batas. Seseorang yang mencintai harta berlebihan akan mengalami frustasi berat kala harta menjauh darinya. Ia akan mengalami depresi atau stress.
Siapa saja yang mendewa-dewakan keinginan dan tidak sadar dengan realitas yang tidak selalu menyambut hasratnya akan mengalami gangguan jiwa, dari yang paling ringan stress biasa hingga yang paling berat bunuh diri. Manusia seperti itu menganggap dirinya sebagai mesin hasrat yang harus melampiaskan seluruh keinginannya. Karena itu benar kata Mulla Sadra yang mengatakan manusia itu hewan secara aktual.
Kala seseorang lebih banyak dan lebih sering mengaktualkan sisi hewaniyahnya; biologisnya, perutnya, farajnya, kenikmatan jasmani maka siap-siap didera berbagai penyakit kejiwaan. Cabang-cabang dari dua daya itu sangat banyak dan dirinci oleh murid-murid aliran filsafat dan juga dibahas secara mendetail oleh para arif, yang membutuhkan pembahasan sendiri secara terpisah.
Masalah yang timbul dari daya tolak yaitu jika seseorang tidak bersikap moderat (adil) antara nekad dan pengecut. Nekad akan menimbulkan masalah dan pengecut juga akan menyakitkan jiwa. Orang yang pengecut dalam menghadapi kenyataan akan merasa berat melakukan kebaikan dan menderita penyakit minder. Gejalan kejiwaan lain yaitu introvert, a sosial, egoisme, mudah berburuk sangka, iri, hasud, tidak nyaman sesama, menderita alienisasi dan penyakit-penyakit yang sekarang banyak mendera manusia kota metropolitan.
Realitas Jiwa dalam Pengalaman
Menurut Ibn Sina,manusia itu lebih loyal atas ilusi (waham) dibanding terhadap akal. Ilusi (waham) menurut Mulla Sadra adalah akal yang jatuh. Patologi manusia modern bisa dipetakan karena afiliasinya atas ilusi. Kita sering sekali menciptakan ilusi yang negatif terhadap diri kita. Ilusi jika terus-terusan menempel di otak dan dipikiran akan menjadi realitas sendiri yang lebih kita yakini dari realita itu sendiri.
Kita menciptakan realita bahwa dunia ini adalah surga, padahal kenyataannya dunia adalah cobaan, dunia adalah mesin perusak yang akan membuat kita tua, membuat kita terasing, membuat kita tersingkir, jika tidak bisa survive kita akan banyak menderita. Dunia adalah cobaan yang nyata. Dunia hanya tempat menaman kebaikan dan bukan memanen kebaikan secara terus menerus dan abadi. Ilusi inilah yang melahirkan manusia-manusia pucat, hidup dalam bayang-bayang orang lain, hidup dalam dunia impian, tidak sadar bahwa apapun yang terjadi dengan diri kita adalah ujian atau sekedar menunda siksa (istidraj) atas dosa-dosa kita.
Saat jiwa hanya berhenti di daya nabati dan hewani saja, dan tidak dapat melejit pada jiwa rasional, maka gejala-gejala yang lebih buruk muncul secara bertahap. Jiwa ini gelisah sebab ia bukan diciptakan untuk melampiaskan hasrat,dan ambisi semata. Ia meradang penuh dengan kesedihan eksistensial-psikologis sekaligus. Jika terus-terusan tenggelam dalam dua daya tersebut ia akan menjadi apapun dan bahkan monster yang lebih buruk dari itu.
Mengapa demikian karena manusia hewan ini akan berperilaku yang menyimpang dari sisi insaniyahnya, dan mempersepsi yang sensibel (mahsus) semata-mata. Amal, ilmu adalah dua sayap yang menciptakan hakikat manusia ini. Setiap saat- Menurut Hasan Zadeh Amuli- kita ini menciptakan diri kita lewat ilmu yang kita pelajari dan amal yang kita lakukan. Jika ilmu dan amalnya buruk maka yang tercipta adalah wujud keburukan berjasad manusia; setan dengan tubuh manusia.
Oleh: Salman Nano