Ada Cinta di Karbala
Cinta Ilahi merupakan pondasi utama pandangan ‘irfan atau tasawuf dan pilar kebebasan spiritual. Insan yang sadar akan dominasi cinta yang memenuhi dan mengaliri alam wujud dan memahami keberadaan cinta yang fitri dan azali di dalam dirinya, niscaya akan mencintai Sang Mahacinta Yang Maha Abadi dan Azali yang seluruh alam semesta bergerak karena cinta-Nya. Demikianlah yang disiratkan dalam riwayat cinta berikut ini yang sering dikutip para sufi:
کنت کنزاً مخفیاً فاحببت ان اعرف، فخلقت الخلق لاعرف
Aku (Allah) adalah khazanah yang tersembunyi, sehingga Aku ingin dikenali lalu Aku ciptakan makhluk supaya Aku dikenali.
Imam Zainul Abidin, seorang guru sufi kesohor yang banyak tarekat tasawuf berhubungan dengan beliau pun menegaskan perihal berdirinya dunia dengan tonggak cinta:
ابتدع بقدرته الخلق ابتداعاً و اخترعهم علی مشیته اختراعا. ثم سلک بهم طریق ارادته و بعثهم فی سبیل محبته
Allah memulai penciptaan-Nya dengan kekuasaan-Nya dan menjadikan mereka berdasarkan kehendak-Nya lalu mengatur mereka berlandaskan keinginan-Nya dan menyebarkan mereka dalam jalan cinta-Nya.
Cinta mengurai tirai dan melepas hijab (penutup) antara pecinta dan yang dicintai atau antara ‘asyiq dan ma’syuq. Dalam hal ini Nabi saw bersabda:
یقول الله عزوّجل: اذا کان الغالب علی العبد الاشتغال بی جعلت بغیته و لذّته فی ذکری، فاذا جعلت بغیته و لذته فی ذکری عشقنی و عشقته، فاذا عشقنی و عشقته رفعت الحجاب فیما بینی و بینه و صیرت ذلک تغالباً علیه، لا یسهو اذا سها النّاس
Allah Azza wa Jalla berkata: Bila kesibukan seorang hamba difokuskan pada-Ku maka Aku jadikan obsesi dan kenikmatannya terpusat pada mengingat-Ku. Saat Aku jadikan obsesi dan kenikmatannya pada-Ku maka ia akan mencintai-Ku dan Aku pun mencintainya. Bila ia dan Aku saling mencintai maka hijab-hijab antara Aku dan ia akan dilepas, dan Aku membuatnya menyaksikan dominasi keindahan dan kebesaran-Ku, sehingga ia tidak lalai saat banyak orang lalai.
Seringkali antara akal dan cinta (‘isyq) dalam diskursus pemikiran, sosial dan sejarah dibenturkan satu sama lain dan dianggap dua hal yang bertentangan. Namun bila kita teliti secara mendalam dalam ajaran orisinil Islam maka kita temukan bahwa akal dan cinta adalah ibarat anak-anak tangga yang bila kita abaikan dan lompati salah satunya maka kita akan terjatuh dan tidak akan sampai pada tujuan.
Peristiwa Karbala–dengan memperhatikan aspek universal dan parsialnya–mengandung puncak rasionalitas dan puncak cinta yang paling komprehensif. Spirit cinta, rasio dan jihad menyatu dan memadu dalam bentuknya yang paling sempurna di tragedi Karbala.
Muthahari menilai bahwa mendahulukan akal daripada cinta atau sebaliknya adalah tindakan yang bodoh dan sia-sia, karena masing-masing saling melengkapi. Adapun Allamah Jawadi Amuli berpandangan bahwa hidayah (bimbingan)pemikiran/jalan argumentasi dan hidayah syuhudi (penyaksian batin)/jalan ‘irfan adalah dua hal yang sama-sama penting. Dan pemikiran (fikr) tanpa zikir dan pemahaman tanpa musyahadah (penyaksian) tak ubahnya bagaikan mengenal bayangan, bukan mengenal realita. Jadi, akal dan cinta adalah dua sayap yang dipakai oleh insan salik guna mencapai jenjang kesempurnaan spiritual.
Asyura adalah hari perwujudan seluruh nilai-nilai islami. Asyura adalah kebangkitan seluruh dimensi islami. Dan Imam Husain adalah sosok Muslim yang kâfah (sempurna). Beliau tidak menonjolkan satu aspek Islam dan melupakan aspek lainnya. Imam Husain adalah pecinta yang rasional. Imam Husain bukan politikus yang gila kekuasaan sehingga bertindak ngawur dan irasional. Kebangkitan dan perjuangannya dilatarbelakangi oleh dorongan dan luberan cintanya. Dan keputusannya untuk mengangkat senjata dan melawan diktator zamannya, Yazid adalah keputusan yang sangat rasional.
Berkaitan dengan multi diminesi kebangkitan Imam Husain, Muthahari berkata:
Kebangkitan Imam Husain adalah kebangkitan multi tujuan dan dimensi…Bila kita ingin melihat komprehensifitas Islam maka kita harus mencermati kebangkitan Husain. Kita saksikan bahwa Imam Husain telah mempraktikkan dan memanifestasikan seluruh Islam di dalamnya, sebuah manifestasi yang aktual, hakiki dan riil, bukan manifestasi yang hampa.[1]
Siapapun yang meragukan kecintaan Imam Husain terhadap Islam dan kemanusiaan adalah orang yang kurang informasi dan telaah. Husain lahir karena buah cinta Fatimah dan Ali. Siapa yang berani meragukan kecintaan Ali dan Fatimah terhadap Islam dan kemanusiaan? Cukuplah surah al Insan[2] menjadi bukti pengamalan keluarga suci ini terhadap Islam dan sejauhmana kecintaan mereka terhadap kemanusiaan. Meskipun Ali dikenal dengan singa Allah sang pemenang (asadullah ghalib), namun pantang baginya untuk memulai peperangan. Ali selalu mendahulukan jalan perdamaian dan cinta daripada jalan peperangan dan benci. Telililah sejarah peperangan antara Ali dan Muawiyah: siapa yang selalu memulai peperangan. Yang demikian itu karena Ali adalah hasil didikan dari Nabiyyur rahmah (Nabi pembawa cinta), Muhammad saw. Dan Husain terdidik oleh ayah sepenyayang Ali bin Abi Thalib dan ibu selembut Fatimah Zahra yang Nabi saw menjulukinya Ummu Abiha (ibu bagi ayahnya).
Perjalanan Husain dari Madinah ke Karbala dilandasi oleh cinta Ilahi dan usaha menegakkan syariat Allah Swt. Perhatikanlah ucapan beliau berikut ini yang disampaikan di awal perjalanannya ke Karbala guna menggalang massa:
من کان فینا باذلا مهجته موطئاً علی لقاء الله نفسه فلیرحل معنا فانی راحل مصبحا ان شاءالله
Barangsiapa yang siap mengorbankan jiwanya bersama kami dan yakin akan perjumpaan dengan Allah maka hendaklah ia bergegas untuk pergi bersama kami. Sungguh esok hari aku akan berangkat, insya Allah.
Pernyataan di atas tidak mungkin keluar dari lisan orang yang cinta dunia dan kekuasaan. Ini adalah pernyataan waliullah yang memiliki ketajaman basirah dan berpandangan jauh. Ini adalah perkataan seseorang yang hayut dalam cinta Ilahiah yang memandang pesona dunia sebagai selilit dan ampas yang tidak ada artinya. Ini adalah ucapan seorang pemimpin besar yang melihat bahwa tunduk terhadap kezaliman dan hidup di bawah naungan kehinaan adalah dosa besar yang tidak akan pernah diampuni oleh Allah Azza wa Jalla.
Muhammad ‘Arif
[1] Majmuah Atsar, juz 17,hal. 317.
[2] Lihat surah al Insan: ayat 7-10.