Dialektika Sahabat Nabi seputar Supremasi Al-Quran di atas Hadis (1)
Banyak dialog bahkan perdebatan berlangsung di antara sahabat Nabi SAW. Namun, dialog antara Siti Fatimah putri Rasulullah SAW dan Khalifah Abu Bakar sungguh beda dan unik. Bukan hanya dari sisi kandungannya yang bernuansa politis, ekonomi dan hukum terkait tanah Fadak yang menghamparkan ladang luas nan subur, tetapi dialog ini merupakan salah satu referensi autentik dan paling awal mengenai kekuatan landasan hukum. Yang menambah dialog itu signifikan ialah Siti Fatimah, seorang perempuan yang masih muda, berhadapan dengan Abu Bakar, seorang lelaki sahabat senior, tua, yang lebih dahulu mengenal Islam dan beriman.
Berawal dari pidato terkenal Siti Fatimah a.s. yang di dalamnya mengalir kritik-kritik argumentatif beliau terhadap keputusan Abu Bakar sebagai khalifah Muslimin terkait tanah Fadak, kemudian berlanjut dengan jawaban Abu Bakar atasnya. Manakah di antara mereka yang kuat? Apa landasan dan atas dasar apa mereka berargumentasi?
Dapat diamati, kritik dan sanggahan Fatimah lebih didominasi ayat-ayat Al-Quran, sementara Abu Bakar hanya bertahan di balik satu hadis yang didengarnya sendiri. Pada titik inilah persoalan relasi antara supremasi Al-Quran dan sunnah atau hadis mengemuka. Para ulama, utamanya dari kalangan ahli Ushul Fiqih, sepakat bahwa rujukan utama dan sumber pengetahuan agama adalah Al-Quran, berikutnya baru sunnah Nabi SAW. Mereka juga sepakat bahwa dalam kondisi terjadi konflik dan inkonsistensi antara ayat dan hadis, maka ayat diutamakan dan dijadikan pegangan; supremasi ayat tidak bisa dikalahkan oleh kekuatan hadis.
Dalam sejumlah hadis disebutkan dari lisan suci Nabi SAW sendiri bahwa beliau bersabda, “Jika sebuah hadis sampai kepadamu dariku, maka ajukanlah ke hadapan al-Quran, jika sesuai dengan Al-Quran, maka beramallah dengannya. Tetapi, jika bertentangan dengannya, maka campakkanlah ke dinding.” Demikian pula sejumlah riwayat dari Imam Ja’far Al-Shadiq a.s. menyebutkan bahwa hadis apa pun yang tidak sesuai dengan Al-Quran adalah perkataan kosong (Ushul Al-Kafi, jld. 1, hlm. 69).
Berdasarkan hadis dan riwayat serupa di atas, bapak Ushul Fiqih Syiah, Syaikh Mufid, juga menuliskan, “Kitab Allah (Al-Quran) berada di atas hadis dan riwayat. Dengannya kebenaran dan kesalahan riwayat ditimbang. Maka, apa yang dibenarkan olehnya (Al-Quran), maka itulah kebenaran, bukan selainnya” (Tashih Al-I’tiqad, hlm. 44).
Menilik pidato Siti Fathimah al-Zahra a.s., ternyata dari keseluruhan pidatonya tidak banyak menyinggung masalah Fadak. Terutama bila Abu Bakar, khalifah waktu itu, tidak menyela pidato Siti Fathimah a.s. dan membawakan argumentasi mengapa ia mengambil Fadak dari tangannya, maka pidato tentang tanah Fadak semakin sedikit. Di samping itu, masalah Fadak dibawakan oleh Siti Fatimah pada bagian-bagian akhir dari pidatonya (selengkapnya lih. Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlm. 304).
Sebagai pelengkap, berikut ini daftar referensi terkait dialektika di antara Siti Fatimah dan Khalifah Abu Bakar:
– Sulaiman bin Ahmad Al-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Awsat, Kairo, 1415, jld. 4, hlm. 104.
– Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Qartabah Mesir, jld. 1, hlm. 10; Ibn Katsir, Ismail Abu Al-Fida’, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, Beirut, jld. 5, hlm. 309.
– Ibn Katsir, Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Damaskus, jld 4, hlm. 573.
– Al-Dzahabi, Tarikh Al-Islam wa Wafayat Al-Masyahir wa Al-A’lam, Beirut, jld. 3, hlm. 24.
– Ibn Abu Syaibah, Tarikh Al-Madinah, jld. 1, hlm. 209.
– Al-Zuhri, Al-Thabaqat Al-Kubra, Beirut, Sadir, jld. 2, hlm. 315.
– Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Beirut, Dar ibn Katsir, 1987, jld. 6, hlm. 2474.
Al-Halabi, Al-Sirah Al-Halabiyyah, Beirut, 1400, jld. 3, hlm. 488.
Untuk mengetahui secara detail apa sebenarnya yang terdapat dalam pidato dan dialog antara Siti Fathimah a.s. dengan Abu Bakar, sangat perlu untuk melihat langsung teks pidato tersebut.
Tuntutan dan Argumentasi Siti Fathimah a.s.
Pada salah satu bagian dari pidatonya, Siti Fathimah a.s. menuntut hak kepemilikannya atas tanah Fadak sebagai hak warisan dari ayahandanya, Nabi SAW. Ia mengatakan:
Saat ini kalian menganggap bahwa kami tidak punya warisan?!
Apakah mereka menginginkan hukum jahiliah, padahal hukum mana yang lebih dari hukum Allah bagi mereka yang beriman.
Apakah mereka tidak tahu?!
Ya, kalian mengetahui bahwa aku adalah putri Nabi. Pengetahuan kalian bak sinar mentari, jelas.
Wahai kaum muslimin! Apakah pantas aku menjadi pecundang atas warisan ayahku?!
Wahai putra Abu Quhafah! Apakah ada dalam al-Quran ayat yang menyebutkan bahwa engkau mewarisi harta ayahmu, sementara aku tidak mewarisi harta ayahku!? Engkau telah membawa tuduhan yang aneh!
Apakah kalian secara sengaja meninggalkan al-Quran dan meletakkannya di punggung kalian ketika al-Quran mengatakan, “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud” (QS. Al-Naml: 16).
Al-Quran menukil cerita Yahya bin Zakaria ketika berkata, “Maka anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang putera yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub” (QS. Maryam: 5-6).
Dan Allah berfirman, “orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)di dalam Kitab Allah”(QS. Al-Anfal: 75).
Dan allah berfirman, “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan” (QS. Al-Nisa’: 11).
Dan Allah berfirman, “berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 180).
Dan kalian menganggap aku tidak mewarisi sesuatu dari harta ayahku?!
Apakah ada ayat yang turun kepada kalian yang mengecualikan ayahku?!
Ataukah kalian akan mengatakan bahwa keduanya (aku dan ayahku) menganut agama yang berbeda sehingga tidak mewarisi?!
Bukankah aku dan ayahku berasal dari agama yang satu?!
Ataukah kalian merasa lebih tahu tentang al-Quran dari ayahku dan anak pamanku (Ali bin Abi Thalib)?!
Bila memang kalian mengklaim demikian, maka ambil dan rampaslah warisanku yang terlihat bak kendaraan yang telah siap sedia?! Tapi, ketahuilah! Ia akan menghadapimu di hari kiamat.
Sesungguhnya, sebaik-baik hukum adalah hukum Allah, sebaik-baik pemimpin adalah Muhammad, dan sebaik-baik pengingat adalah hari kiamat.
Ketika hari kiamat tiba, orang-orang yang batil akan mengalami kerugian. Pada waktu itu penyesalan tidak lagi bermanfaat.
Setiap berita ada tempatnya dan kalian akan tahu siapa yang diazab sehingga hina dan senantiasa ia mendapat siksaan yang pedih!
Dalam pidato ini, tampak bagaimana Siti Fatimah a.s., setidak-tidaknya, melapisi tuntutan dan klaimnya dengan lima ayat. Dalam bagian kedua dari tulisan ini kita akan melihat bagaimana jawaban Khalifah Abu Bakar?