Argumentasi Integrasi Keilmuan Islam (Ilmuisasi Islam)
Gagasan integrasi keilmuan di kalangan pembelajar (sarjana) Islam merupakan suatu keharusan. Karena bagaimanapun bagi seorang muslim, terdapat suatu keyakinan bahwa alam semesta adalah tanda (ayat) yang menunjukkan pada dzat yang satu, Allah subhanahu wa ta’ala. Untuk itu, pemahaman akan dunia alam semesta—yang salah satunya menjadi kajian dalam sains—mestilah juga mengantarkan seseorang pada keyakinan akan wujud dan keagunganNya.
Namun, konsepsi Tuhan memang bukanlah konsepsi yang muncul dalam struktur pengetahuan sains. Sains tak pernah secara ilmiah dapat membuktikan wujudnya Tuhan. Konsepsi Tuhan adalah ranah teologis yang diyakini keberadaannya. Di sinilah tepatnya suatu pertentangan berawal. Sains hanya sanggup memercayai suatu kebenaran sejauh dapat dibuktikan dengan metode-metode obyektif (ilmiah) yang berporos pada fakta empiris. Sementara konsepsi Tuhan, lahir dari keyakinan teologis yang hanya menuntut kepercayaan bukan pembuktian.
Dengan garis demarkasi yang sedemikian rupa, sesungguhnya sains hendak meneguhkan diri bahwa ialah yang absah untuk disebut sebagai ‘ilmu pengetahuan’, sementara agama, dan seluruh keyakinan-keyakinan akan dzat yang transendental bukanlah ilmu pengetahuan melainkan semata keyakinan (subyektif) bahkan lebih-lebih dituduh sebagai ilusi dan halusinasi.
Lantas bagaimana bangunan integrasi keilmuan hendak diproyeksikan?
Pada pembahasan sebelumnya, dikemukakan pandangan dua tokoh besar, Isma’il raji al Faruqi dan Syed Naquib al Attas. Keduanya sama-sama menyaksikan keganjilan dalam panorama sains modern yang umumnya dikembangkan dalam dunia barat, dimana problem yang mengemuka adalah sains yang harus dipisahkan dari semua jenis pretensi teologis dan ideologis. Bagi keduanya, sains barat yang hendak memisahkan diri dari segala bentuk interpretasi filosofis-metafisis atau agama, telah dengan sendirinya bersifat ideologis, sains berubah menjadi saintisme.
Oleh sebab itu, bagi al Faruqi dan al Attas, Islam harus menjadi warna dari sains, dan ilmu pengetahuan humaniora lainnya. Tepat di sinilah tantangannya, jika agama masih diposisikan pada kutub doktrin teologis yang hanya bersifat sektarian, maka menjadikannya sebagai doktrin/asas bagi sains tentu saja juga bermasalah. Apa yang terlihat di sini adalah memaksakan suatu doktrin tertentu dalam kerja teoritis sains.
Al faruqi dan al Attas, sama-sama mengembangkan apa yang dikenal sebagai “islamisasi sains”. Gagasan ini terlihat ambisius dan doktriner ketimbang rasional. Dengan berasumsi bahwa sains saat ini tengah didasari oleh paradigma barat yang positifistik dan bahkan ateistik, maka perlu kiranya mengambil alih gagasan sains yang didasari oleh semangat keyakinan (tauhid) hingga—bagi al Attas—pada wilayah linguistik sekalipun. Sesungguhnya cara pandang ini dengan sendirinya mengakui netralitas nilai pada sains, sehingga dalam suatu kebutuhan tertentu (bagi umat Islam) maka sains kemudian disisipkan padanya doktrin keislaman.
Islamisasi sains, tidak bertolak dari konstruksi metodis sains, namun lebih mengubah oreintasi keilmuan saintis (subyek ilmuan) agar searah dengan pandangan keagamaan. Dalam konteks ini, islamisasi ilmu tak menyingkap struktur epistemik sains itu sendiri, kecuali hanya menolaknya lantaran tidak se-visi dengan ajaran keyakinan keagamaan. Dengan begitu, sains sebagai sains tetap dikukuhkan sebagai bebas nilai, yang kemudian diberikan padanya presupposisi teologis.
Berbeda konstruksi dengan islamisasi ilmu, pengilmuan Islam—sebagaimana juga oleh Kuntowijoyo—bekerja untuk membawa ajaran-ajaran keislaman dalam wilayah obyektivitas (obyektivikasi). Bukan ilmu/sains yang ditarik secara serta merta dalam doktrin keislaman, melainkan Islam yang diterjemahkan dalam terang metode sains-humaniora. Namun, problem struktur ‘pengilmuan Islam’ ini bersifat etis, yakni bagaimana ajaran-ajaran agama tampil dalam penyelesaian problem-problem obyektif kemanusiaan bukan islam dalam wajah yang sektarian. Namun belum memberi corak bagi hubungan agama dan sains alam.
Diskursus Filsafat Islam dalam Merancang Integrasi Keilmuan
Sejatinya, dalam diskursus filsafat Islam terutama dalam perkembangannya pasca Ibnu Rusd, hubungan antara sains (ilmu alam), agama dan filsafat hingga spiritualisme telah mencapai suatu tingkat kematangan yang cukup. Dalam gagasan filsafat wujudnya Mulla Sadra, telah terbaca secara gamblang, betapa setiap konsepsi mengenai alam baik melalui interpretasi sains, filsafat atau agama, mestilah terlebih dahulu meyakini asas utama realitas yakni wujud.
Dalam kerangka epistemologi, sesungguhnya, tiada satu konsepsi pun yang dapat berdiri sendiri tanpa kaitan dengan konsepsi yang lain. Proposisi-proposisi saintifik misalnya selalu mengandaikan gerak alam sebagai relasi dari sebab-akibat, potensi dan aktualitas, kemustahilan dan keniscayaan. Tanpa adanya konsepsi-konsepsi filosofis tersebut maka manusia atau saintis tidak akan tergerak berupaya meneliti alam. Bagaimana ilmuan dapat menerima kebenaran suatu teori sains jika ia tak berasumsi akan kemungkinan kebenaran bagi sains. Sementara konsepsi “kemungkinan” bukanlah obyek sains, karena ia sendiri adalah konsep rasional di alam mental berpikir manusia.
Maka, konsepsi integrasi keilmuan, mula-mula mesti membongkar struktur metode sains itu sendiri, ini yang merupakan tugas dari materi “Filsafat llmu” atau “Filsafat Ilmu Pengetahuan”. Hal terutama di sini adalah menentukan batas-batas jangkauan suatu disiplin ilmu pengetahuan. Dengan mengenal batasan ini, setiap disiplin dapat saling memperkuat, mutual, sehingga makin memperluas cakrawala berpikir. Apa yang disebut sebagai sebagai pertentangan, sains vs agama, sains vs filsafat, logos vs mitos, sesungguhnya adalah pertentangan di alam pikiran lantaran tidak saling mengenal bagaimana cara kerja masing-masing.
Untuk itu, integrasi keilmuan, mesti berangkat dari suatu analisa atas struktur berpikir (epistemologi) dari setiap disiplin keilmuan. Maka di dalam rancang bangun filsafat Islam, asas epistemologisnya dalag rasional, yakni gugus konsepsi-konsepsi yang bersifat pasti (awwaliyyat-badihiyyat). Tanpa sandaran kepastian rasional maka seluruh teori pengetahuan tak akan pernah dapat diabsahkan karena tiadanya dasar yang absah. Termasuk dalam hal ini adalah agama dan spiritualitas. Agama dan spiritualitas dalam dinamika ini tidak diletakkan sebagai doktrin yang diterima kebenarannya secara subyektif, namun ia diletakkan sebagai premis-premis layak dikaji sesuai dengan bangunan epistemologi rasional.(Fardiana Fikria Qurany, M. Ud)