Beriman dan Menjadi Muslim: Pilihan Sendiri ataukah Kehendak Tuhan? (1)
George Jordac (1931-2014) penulis yang disegani di dunia Arab, tepatnya setelah ia menerbitkan satu buku 5 jilid di bawah judul, Al-Imam Ali wa Shawt al-‘Adalah al-Insaniyyah (Imam Ali dan Suara Keadilan Manusia). Bagi umat Islam, buku ini lebih menarik lagi karena dikarang oleh seorang penulis dari umat Kristen, tetapi ia begitu fasih dan mendalam menggali lapisan-lapisan sosok sahabat terbaik Nabi SAW, Ali bin Abi Thalib ra. Dengan menulis buku itu, Jordac sesungguhnya telah menempatkan dirinya sebagai salah satu komentator buku yang mengkompilasi pidato-pidato, surat-surat, kata-kata kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib ra., penghimpunan pertama yang digagas oleh Syarif Radhi, ulama besar abad IV, dan dijuduli dengan nama Nahj Al-Balaghah.
Bukan hanya lebih menarik, buku ini dan status penulisnya sebagai penganut Kristen sekaligus mengundang sedikit banyak kebingungan umat Islam. Boleh jadi, di antara kaum Muslimin bertanya-tanya: Jordac yang sudah menulis nilai-nilai keadilan manusia di cermin ajaran Islam dan salah satu figur besarnya, Ali bin Abi Thalib ra., tentu dia lebih dekat dan jelas melihat kebenaran Islam. Lantas, kenapa dia tidak menjadi muslim?!
Jordac hanyalah satu kasus. Pertanyaan dan kebingungan ini boleh jadi ulangan dari pertanyaan yang sama jauh sebelum kelahiran dirinya dan karyanya itu. Ada banyak orang-orang yang pakar, sarjana-sarjana islamolog yang pekerjaan profesional mereka meneliti dan meneliti Islam, Nabi Muhammad, dan kitab suci Alquran dengan keberhasilan mereka menghasilkan kesimpulan-kesimpulan positif dan menguatkan kebenaran Islam. Sekali lagi, kenapa pakar-pakar itu, yang telah menyatakan kekaguman dan pengakuan atas kebenaran Islam, Nabi dan Alquran, tidak juga menjadi muslim dan beriman pada Islam?
Salah satu jawabannya ada dalam dialog antara Jordac sendiri dan seorang mufti agung di Negeri Mullah, Iran, sekaligus sufi mendiang bernama Ayatollah Bahjat. Sebagai seorang Syiah yang meyakini Ali bin Abi Thalib sebagai manusia sempurna setelah Nabi SAW, dan sebagai orang Syiah yang sangat menghormati buku Nahj Al-Balaghah, mufti agung Bahjat mengungkapkan kekagumannya terhadap karya Jordac itu. Dalam suatu pertemuan, ia bertanya kepada Jordac, “Berapa kali Anda membaca khatam Nahj Al-Balaghah?”
Kekaguman itu dapat dirasakan lebih kuat lagi tatkala Jordac menjawab, “Saya sudah khatam membaca Nahj Al-Balaghah sebanyak 200 kali.” Luar biasa! Tidak setiap orang Muslim berhasil membaca habis buku Nahj Al-Balaghah, bahkan sekali saja. Pada titik ini, pertanyaan di muka kembali muncul dan, kali ini, diungkapkan oleh sang mufti agung, “Kalau begitu, kenapa Anda tidak menjadi muslim?!”
Jordac menjawab, “Menjadi muslim bukan di tangan saya.”
Tampaknya, prima facie, demikan faktanya. Menjadi orang yang beriman itu tidak di tangan dirinya sendiri, yakni tidak berada dalam kekuasaan dirinya, bukan pilihan dan kemauan subjektif dirinya. Beriman dan menjadi muslim hanya akan terjadi pada seseorang setelah menunggu kedatangan intervensi pihak lain, yaitu Allah SWT.
Karena itu, sebagian orang, atas dasar ini, menyimpulkan bahwa seorang muslim tidak benar berdakwah, bertabligh, dan mengajak non-muslim agar menjadi muslim, berusaha memuslimkan orang yang tidak seiman-Islam dengannya.
Boleh jadi, ada teks-teks agama yang bisa dibawakan untuk mendukung kesimpulan tadi. Di antaranya, keinginan Nabi agar orang-orang yang dicintainya menjadi beriman dan muslim, lalu Allah SWT mengingatkan, “Sesungguhnya kamu tidak memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki” (QS. Al-Qashash [28]: 56). Tampak jelas bahwa mendapat petunjuk dan menjadi muslim adalah kehendak Allah kepada siapa saja Dia akan memberikan hidayah dan iman kepada orang-orang yang Dia kehendaki.
Dapat disimpulkan bahwa, mengenai menjadi muslim dan beriman pada Islam, ayat ini mengafirmasi intervensi kehendak Allah pada keimanan orang dan menegasikan intervensi nabi atau pihak lain dari berimannya orang itu. Tetapi, perlu dicatat tebal selanjutnya bahwa ayat ini juga tidak menegasikan intervensi kehendak orang itu sendiri untuk menjadi beriman-muslim atau tidak. Ayat ini jelas sekali menegasikan intervensi pihak lain, termasuk kehendak nabi, dari perubahan hati seseorang untuk menjadi muslim.
Iman bertempat di hati, bukan di otak, bukan pula di akal pikiran. Beriman dan menetapkan diri menjadi muslim adalah ketetapan hati seseorang. Tidak seperti kandungan akal, yakni pengetahuan, yang bersifat objektif, kandungan hati sangat personal dan subjektif sehingga tidak ada yang bisa menjangkau dan membaca hati seseorang kecuali orang ini sendiri dan pencipta hatinya, yakni Allah. Selanjutnya, perubahan dan keputusan hati pun tidak terjadi karena kekuatan orang lain, bahkan nabi sekalipun. Itu semua berada di tangan orang itu dan penciptanya.
Maka, menjadi muslim adalah ketetapan dan kehendak Allah SWT, yakni takdir Allah, pada seseorang. Di sini muncul isu Kalam Klasik, bagaimana Tuhan dan manusia sama-sama menentukan suatu kejadian seperti perubahan seseorang menjadi muslim dan beriman? Apakah kehendak manusia menggeser atau membatasi kehendak Tuhan?
Singkat saja, dua kehendak ini, Tuhan dan manusia, tidak sejajar, tidak berada sebagai dua kekuatan kehendak yang saling berhadapan. Dua kehendak ini berada sejulur; yang satu di atas yang lain. Dalam kejadian apa pun, pasti ada kehendak atau takdir Tuhan. Namun, kehendak Tuhan Yang Maha Bijaksana tidak sama berlaku pada setiap kejadian. Seperti kita, manusia, memperlakukan tidak sama segala sesuatu. Sebagai manusia bijaksana, kita akan memperlakukan segala sesuatu sesuai kapasitasnya masing-masing. Pada kasus kecil, misalnya, cara kita jadi berbeda dalam mengubah posisi batu sebagai benda mati dan posisi anak remaja sebagai makhluk hidup dan akil baligh.
Demikian pula dalam memberlakukan takdir dan kehendak-Nya pada segala sesuatu, Allah tidak melakukan dengan cara yang sama. Kehendak Allah agar terjadinya peristiwa alami suatu benda yang mati akan berbeda dengan kehendak-Nya agar terjadinya peristiwa, yakni perbuatan, yang berasal dari makhluk hidup yang berkehendak bebas. Maka, takdir Allah dalam peristiwa (perbuatan bebas) ini yaitu Dia menghendaki terjadinya perbuatan bebas itu dengan kehendak bebas pelakunya (manusia). Dan beriman atau mengubah iman (dari luar Islam ke Islam atau sebaliknya) adalah perbuatan bebas seseorang yang bergantung sepenuhnya pada kehendak dan takdir Allah bahwa perbuatan bebas (beriman dan mengubah iman) itu hanya akan terjadi bila melibatkan kehendak pelakunya. Maka, menjadi muslim atau menjadi kafir adalah pilihan dan ketetapan dari kehendak bebas manusia, dan demikian inilah takdir dan kehendak Allah dalam cara seseorang menjadi muslim dan menentukan imannya.
Karena itu, ayat di atas pada dasarnya bukan hanya tidak mendukung kesimpulan itu, tetapi justru menegaskan bahwa menjadi muslim merupakan kehendak dan takdir Allah bahwa perbuatan bebas itu (menjadi muslim) hanya terjadi beserta kehendak orang yang ingin menjadi muslim. Selama hati orang itu tidak menginginkan menjadi menjadi muslim, maka dia tidak akan menjadi muslim. Bersambung.