Buku Terbitan MUI Dibedah Secara Rahasia dan Eksklusif
Sebuah even unik terjadi pada tanggal 14 Januari 2014 lalu, tepat di hari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Buku terbitan MUI yang berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” (MMPSI), yang diterbitkan November 2013 lalu, dibedah oleh beberapa narasumber. Acara yang berlangsung di Masjid al-Muhajirin, Cilebut, Bogor, itu berlangsung secara rahasia dan eksklusif.
Sejak awal, pembawa acara membacakan peraturan yang intinya menunjukkan bahwa isi acara ini tidak boleh sampai bocor ke pihak di luar peserta acara bedah buku. Pembawa acara melarang peserta meliput, merekam, atau mengambil gambar sepanjang acara berlangsung. Kemudian, pada sesi tanya jawab, segala bentuk pertanyaan hanya boleh diajukan dalam bentuk pertanyaan tertulis. “Bedah buku ini dimaksudkan untuk membina masyarakat, khususnya keluarga, agar selamat dari ajaran Syiah,” ungkap Ustadz Trisugianto dalam kata sambutannya selaku Ketua DKM sekaligus mewakili Panitia.
sebagai pembicara dalam acara ini adalah Ustadz Jazuli, Lc (narasumber di Radio Rodja), dan Ustadz Irfan Hilmi, Lc yang diperkenalkan sebagai wakil MUI Pusat. Ustadz Jazuli menyatakan bahwa Syiah adalah golongan yang tidak selamat. Sementara itu Ustadz Irfan Hilmi menegakan bahwa ribuan santri Indonesia yang dikirim ke Iran kerjanya hanya makan, minum, dan tidur. Mereka tidak belajar, melainkan hanya dicuci otak. “Sepulang dari sana, mereka menyebarkan paham Syiah dan akan menjadi bom waktu karena bermaksud mendirikan Negara Syiah (di Indonesia).”
Negara Syiah di Indonesia?
Menurut buku yang diterbitkan sejak November 2013 itu, pemerintah Iran memfasilitasi para pemuda Indonesia untuk belajar di Qom, Iran. Sepulang dari Iran, orang-orang Indonesia itu difasilitasi oleh pemerintah Iran untuk melakukan berbagai macam aktivitas yang tujuan akhirnya adalah mendirikan Negara Syiah Indonesia.
Beberapa alumnus Iran yang ditemui Liputan Islam menyampaikan sikap prihatin atas penerbitan buku tersebut. “Ini adalah tuduhan yang sangat fatal dan berbahaya bagi hubungan dua negara. Ini sama saja dengan menuduh Iran hendak melakukan makar di wilayah NKRI,” kata sumber yang enggan disebut namanya.
Saat ditanya mengenai validitas buku tersebut, sumber Liputan Islam menyatakan, sebenarnya sejumlah kalangan internal MUI membantah bahwa buku ini merupakan terbitan resmi MUI meskipun ada logo MUI di sampulnya. Akan tetapi, menurut sumber tersebut, sikap MUI yang tidak memberikan klarifikasi resmi mengenai hal ini, sama saja dengan restu dari lembaga tersebut. Padahal, buku itu sudah diedarkan beredar secara luas dan sebagiannya dibagikan secara gratis ke pusat-pusat dakwah Islam seperti masjid dan yayasan dengan diklaim sebagai terbitan resmi MUI.
“Yang dimaksud dengan hadits Nabi kan tidak hanya berupa pernyataan verbal beliau, melainkan juga tindakan dan restu dari beliau. Diamnya Nabi adalah persetujuan, dan itu dianggap valid sebagai sebuah hadits. Ketika ada buku bersampul MUI dan diklaim bahwa itu adalah buku terbitan dari MUI, kemudian setelah beberapa bulan tidak ada klarifikasi bantahan resmi dari lembaga MUI terhadap pencantuman logo, maka masyarakat dipastikan akan memahaminya sebagai persetujuan dari MUI. Jadi, lembaga MUI memang harus bertanggung jawab atas tuduhan makar itu,” tegas sumber Liputan Islam. (wz/ah/by)
Artikel ini dambil dari www.liputanislam.com