Cinta Vertikal dan Cinta Horizontal
Oleh : Mahbib Khoiron*
Fakta kehidupan mendedahkan bahwa pengejawentahan cinta tidak selalu berlangsung utuh. Klaim ‘cinta sejati yang dinisbahkan secara transenden’ oleh sebagian kelompok tak jarang membuahkan kebingungan bagi khalayak lantaran ekspresi dari cinta itu justru bertentangan dengan nilai-nilai trensenden itu sendiri.
Keyakinan kuat akan pengamalan norma-norma ketuhanan justru berjalin kelindan dengan penegasian realitas yang imanen. Kebimbangan pada klaim ‘transenden’ akhirnya tak terelakkan. Konsekuensi lanjutannya adalah sikap ekstra hati-hati—bahkan cenderung menghindar dari cinta yang ‘melangit’ menuju cinta yang ‘membumi’. Di sinilah titik awal pergeseran nilai dari ‘teosentrisme’ menuju antroposentrisme yang jamak berkumandang di abad modern.
Dari mana ketidakutuhan pengejawentahan cinta terlihat? Tentu saja kala manusia memendam dan mengekspresikan cinta dalam kadarnya yang parsial, yakni memberatkan diri pada salah satu dari dua kutub ekstrem: Tuhan atau alam semesta. Pengertian cinta Tuhan dalam konteks ini adalah gejolak fanatisme ajaran agama yang lebih bersifat emosional daripada spiritual, dimana religuisitas berpotensi menjelma sebagai ‘sosok bertaring’ yang siap menerkam siapapun yang tak sepaham dengan ego pribadinya. Sikap ini sama buruknya dengan sikap kedua, yang memosisikan manusia sebagai pusat cinta tanpa terlalu fokus pada cinta Tuhan. Peminggiran ini tidak terlalu mengherankan jika mengacu pada pandangan mereka semula bahwa Tuhan terlalu abstrak, sukar untuk dijangkau, dan rentan dimanipulasi otoritas-Nya.
Pada titik ini, kita perlu mendudukkan secara tepat antara cinta Tuhan (vertical love) dan cinta semesta, termasuk di dalamnya manusia, (horizontal love) dalam pengertiannya yang lebih hakiki. Hal demikian untuk menghindari jebakan dikotomi antara yang transenden dan yang imanen. Dalam istilah tasawuf menghadapkan keduanya secara dikotomis tidaklah benar. Pemahaman yang harus dikembangkan justru adalah keterpaduan keduanya dalam kesatuan realitas yang tak terpisahkan.
Asumsi Ketunggalan
Memang, kerangka pokok memahami sebuah isu dari sudut pandang tasawuf adalah mengembalikannya terlebih dahulu pada doktrin metafisiknya yang paling fundamental, “there is no reality save the One Reality”. Realitas dalam keseluruhannya dimaknai sebagai ketunggalan. Jagat raya beserta isinya karenanya tak lain merupakan manifestasi belaka dari Realitas Sejati. Di Islam, pandangan ini terangkum dalam dua kalimat syahadat (syahâdatayn); di satu sisi menyadari secara penuh bahwa realitas bersifat tunggal dengan menafikan realitas-realitas lain selain Allah (tanzîh), namun di sisi lain mengakui adanya realitas yang lain sebagai cerminan dari Dia (tasybîh). Ini mirip sekali dengan apa yang dijelaskan kaum Vedantis bahwa dunia bersifat palsu dan Brahma-lah yang sejati. Dan, di saat yang sama menyatakan pula bahwa semua ini tiada lain adalah Atma.
Sadar akan ketunggalan memang hanya menyediakan dua pilihan: mengakui semua realitas imanen sebagai Tuhan namun dengan derajat yang berbeda, atau menganggap semua realitas imanen sebagai yang ‘palsu’ karena sekadar menjadi bayanganTuhan. Itu artinya dalam disiplin tasawuf pengingkaran atas realitas imanen tidak ditemukan. Istilah ‘bayangan’ yang disematkan pada realitas selain Tuhan hanyalah hendak memberi pemahaman bahwa kenyataan yang paling hakiki adalah mutlak milik-Nya.
Jika demikian, cinta kemudian menempati posisinya sendiri sebagai realitas. Menurut Seyyed Hossein Nasr, dalam The Garden of Truth, secara metafisik cinta bersifat integral dalam satu paket realitas. Ia tersebar rata di antara cinta-cinta lain dan Sumber dari cinta itu sendiri. Bahkan ia adalah ‘ruh’ penggerak dari semua kegiatan realitas yang ada. Dengan dibekali asumsi ini, kita terbantu untuk menerka jangkauan, arah, wilayah dan sifat cinta.
Ketersebaran Cinta
Jalan menuju Kebenaran dapat mengantarkan pada penemuan akan Kebenaran, yang berarti mengetahui-Nya. Pengetahuan tersebut tidak akan lepas begitu saja dari keikutsertaan kegiatan mencintai-Nya. Cinta inilah yang nantinya menuntun kita semua kepada pelukan Tuhan.
Usaha apa yang harus dilakukan untuk dapat memahami cinta? Jalan terbaik mengerti tentang cinta seseorang harus lebih dulu mengalaminya. Tanpa begitu, seseorang akan banyak jatuh dalam penjelasan hampa nan sia-sia yang kian menjauhkan cinta dari makna sesungguhnya. Kerumitan sekaligus kebenderangan cinta sangat sukar disampaikan dengan rangkaian bahasa. Jadi sangat aneh jika seseorang mengaku paham makna cinta secara sempurna hanya dari uraian kata-kata orang lain mengenai cinta. Padahal Rumi sendiri pernah bertutur, saat orang-orang berupaya mendeskripsikan tentang alam cinta, pena-pena mereka putus dan berhenti mengguratkan tulisan.
Ketidakmampuan rangkaian kata-kata dan konsep menjelaskan cinta secara penuh bukan berarti menghilangkan relevansinya untuk diekspresikan. Betapapun, bahasa bermanfaat untuk membangkitkan kesadaran intelek dan jiwa untuk menyambut kesiapan mengalami cinta dalam berbagai tingkatanya. Ulasan-ulasan naratif dalam bentuk puisi, simbol, dan analogi-analogi, sanggup menggugah seseorang untuk bisa menyelami hingga ke titik paling dasar makna hakiki cinta.
Kita berangkat dari ketunggalan realitas. Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa ontologi cinta telah terangkum dalam kesatuan paket realitas. Di samping itu, cinta juga mengalir di setiap lekuk dan aktifitas kosmos. Cinta dapat ditemukan di eksistensi manapun, kecuali pada level manusia, di mana Tuhan telah megaruniakannya sebuah kebebasan kehendak (free will) untuk mencintai atau tidak mencintai. Itupun masih bisa dikatakan,
kalaupun manusia sudah tak sanggup lagi mencintai Tuhan atau sesamanya, paling tidak ia akan konsisten mencintai dirinya.
Nasr menjelaskan bahwa cinta tak lain adalah api yang mempunyai pancaran cahaya dan daya panas yang mendamaikan hati dan memberikan hidup. Cinta pula yang menjelma bak badai yang membolak-balikkan eksistensi biasa. Sifat cinta adalah hidup namun berpotensi untuk mati juga. Tidak hanya di Kristen Tuhan dianggap sebagai Cinta tetapi juga di Islam. Salah satu nama-Nya yang dituturkan al-Qur’an adalah Cinta atau al-Wadûd. Itu artinya
cinta sejatinya punya karakter ilahiah.
Relasi Vertikal-Horisontal
Selama cinta diakui sebagai bagian dari Devine Nature maka seluruh keberadaan didahului oleh cinta. Dalam kaca mata metafisika, cinta dari Tuhan selalu datang lebih dulu daripada cinta dari manusia. Maka, doktrin Kritiani memerintahkan para pengikutnya untuk pertama kali mencintai Tuhannya yang telah mencintai ciptaan-Nya, baru kemudian mencitai sesamanya. Surah al-Mâ’idah pun menegaskan landasan metafisika cinta ini dengan
menyatakan bahwa Allah akan membawa sebuah kaum “yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya”.
Hal ini bisa dirujukkan kepada aspek ontologis semua realitas dalam pandangan tasawuf yang ternyata adalah manifestasi dari Realitas Hakiki. Pemilahan antara Yang Hakiki dan yang nisbi mengarahkan kita pada upaya konsentrasi secara murni pada Ketunggalan (tawhîd). Objeknya pun juga jelas, yakni tak menyempitkan diri pada manusia belaka, sebagaimana modernisme, tetapi juga alam semesta secara keseluruhan baik binatang, hutan, gunung, laut, gurun dan seterusnya.
Pada titik ini, suatu hal yang niscaya Yang Hakiki selalu menduduki singgasana tertinggi dalam konteks percintaan. Tuhan adalah sandaran utama bagi segenap cinta yang dinisbahkan kepada selain-Nya. Kaum sufi berpendapat, secara hirarkis pertama kali yang paling layak dicintai adalah Tuhan sendiri, baru kemudian seluruh ciptaanya. Bukankah Tuhan berfirman bahwa kecintaan kepada-Nya harus didahulukan dari kecintaan kepada selain-Nya (alTawbah [9]:24)? Dengan demikian, pemahaman spiritual tentang cinta berarti mentransendensikan cinta yang dimunculkan oleh ego individu. Cinta egoistik merupakan sebuah kepicikan karena sang pelaku tidak mampu naik pada tataran hakikat, lalu melihat realitas dalam kesatuan yang utuh. Praktik salah semacam ini kerap kali terjadi pada kebanyakan manusia. Orang boleh saja bersuara lantang melakukan pembelaan atas nama Tuhan—yang dengan demikian merasa sangat mencintai Tuhan—tapi di saat yang berlaku kontradiktif dengan klaim yang diusung. Hal demikian lantaran
cinta yang timbul bukan dari kedalaman spirit ilahi melainkan ego pribadi yang bersembunyi di balik ‘topeng ilahi’. Wa-Llâhu a‘lam bi al-Shawâb
DISKUSI: