Shalat : Wahana Mendekatkan Kepada Allah
Oleh : Irwan Kurniawan, M.A.
Shalat dengan segenap bacaan dan gerakannya serta hal-hal lain yang berkaitan dengannya merupakan kendaraan dalam perjalanan menuju Allah dan tangga untuk naik ke Hadirat-Nya.
Hal ini akan terwujud bila shalat itu dilaksanakan dengan memenuhi seluruh syarat, rukun, fardu dan ruhnya, sehingga shalat dapat menjadi wahana untuk mendekatkan diri kepada Allah, mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar, zikir kepada-Nya, dan meraih pertolongan-Nya.
Nabi Saw. bersabda, “Shalat adalah pendekatan diri setiap Mukmin [kepada Allah].” Tentu saja, pendekatan diri (qurb) di sini artinya pendekatan diri yang bersifat ruhaniah, bukan yang bersifat jasmaniah. Sebagaimana manusia memiliki ruh dan raga, shalat pun demikian; ada ruh dan raganya. Ruh shalat adalah niat, keikhlasan dan kehadiran hati, sedangkan raganya adalah gerakan-gerakan.
Mendekatkan diri kepada Allah di dalam shalat diibarat oleh Ibn al-‘Arabi dengan seorang gadis cantik yang ditawarkan oleh seorang pejabat istana kerajaan (pada zaman dahulu), yang ingin dekat kepada raja, untuk dijadikan istri raja. Niat dan keikhlasan dalam shalat adalah ibarat ruh si gadis cantik itu. Menawarkan seorang gadis cantik yang tidak memiliki ruh dan telah menjadi mayat kepada raja merupakan tindakan yang tidak sopan dan
bahkan sebuah penghinaan, sehingga pejabat istana itu pantas dihukum karenanya. Kehilangan rukuk dan sujud ibarat kehilangan badan, dan kehilangan rukun-rukun ibarat kehilangan kedua mata, hidung, dan kedua telinga dari gadis cantik itu. Ketidakhadiran dan kelalaian hati dari memahami makna-makna bacaan dan zikir-zikir ibarat kehilangan penglihatan dan pendengaran, walaupun biji mata dan daun telinganya masih utuh. Jika ada orang yang menawarkan gadis cantik dengan sifat-sifat seperti ini kepada raja, bagaimana keadaan dan kedudukannya dalam pandangan raja?
Perlu diketahui, shalat yang tidak sempurna tidak bisa menjadi wahana pendekatan diri kepada Allah Swt. Sudah pasti, hal itu dikembalikan kepada orang yang mempersembahkannya. Padahal, prinsip shalat adalah mengagungkan dan menghormati Raja yang hakiki. Sementara itu, mengabaikan adab-adab shalat bertentangan dengan prinsip mengagungkan dan menghormati. Bagaimana mungkin shalat seperti itu akan diterima? Bagaimana mungkin orang yang shalat seperti itu akan memperoleh kedekatan dan kemuliaan?
Orang yang shalat terlebih dahulu menghadap ke kiblat yang hakiki, yaitu hati. Ia harus membersihkan hatinya dari segala sesuatu selain Allah untuk menyambut kehadiran Ilahi. Dalam hadis qudsi, Allah Swt berfirman, “Bumi dan langit-Ku tidak cukup untuk-Ku, tetapi hati hamba-Ku yang Mukmin cukup bagi-Ku.” Nabi Saw. bersabda, “Hati orang Mukmin adalah Rumah Allah.” Keadaan ini bisa tercapai dengan niat yang tulus, keikhlasan yang sempurna, dan kehadiran sepenuh hati. Rasulullah Saw. bersabda, “Shalat tiada lain adalah kehadiran hati.”
Setelah itu, ia harus memelihara ruh shalat, yaitu keikhlasan, kehadiran hati dalam shalat, dan menghias hati dengan makna-makna shalat. Sehingga apapun dalam shalatnya dilakukan dengan hati yang khusyuk dan ketawaduan sesuai dengan gerakan lahiriahnya. Itu karena tujuan dan maksud shalat adalah ketundukan hati, bukan ketundukan raga. Dengan demikian, ia tidak akan mengucapkan Allâhu akbar selama dalam hatinya masih ada sesuatu yang dianggap lebih besar daripada Allah Swt. Ketika ia bertakbiratul-ihram, maka ia mengharamkan atas dirinya segala sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah dan menyalahi keridhaan-Nya, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Menurut Abu Thalib al-Makki dalam bukunya Qût al-Qulûb, ketika orang yang hendak shalat mengucapkan takbiratul-ihram dengan penuh keyakinan kepada Allah dan bersiap-siap untuk bertemu dengan-Nya, tabir memisahkan dirinya dari iblis, tirai menutupi pandangan iblis kepadanya, dan ia dapat memandang wajah Tuhan Yang Mahaperkasa. Ketika ia mengucapkan Allâhu akbar, Tuhan Yang Mahakuasa melihat isi hatinya. Jika di dalam hatinya tidak didapati sesuatu pun yang dipandang lebih besar daripada Allah, Dia pun menyaksikan dan berfirman, “Kamu benar. Aku hadir di dalam hatimu seperti yang engkau katakan.” Kemudian, terpancarlah cahaya dari dalam hatinya yang bersambung dengan Kerajaan ‘Arasy. Dengan pancaran cahaya itu, ia dapat melihat kerajaan-kerajaan langit dan bumi, dan dituliskan baginya kebaikan sebanyak benda yang terliput cahaya itu.
Ibn al-‘Arabi dalam al-Futûhât al-Makkiyyah, mengatakan bahwa ketika Rasulullah saw. berdiri hendak mendirikan shalat, Allah Swt berfirman seraya mengajari, “Jika kamu berdiri di hadapan-Ku, bersikaplah seperti orang fakir dan membutuhkan, tanpa memiliki sesuatu apa pun. Segala sesuatu yang telah Aku kuasakan kepadamu, lemparkanlah! Berdirilah dengan tangan kosong, dan letakkan tanganmu dengan membelakang karena Aku ada dalam hatimu.”
Ketika bertakbiratul-ihram, beliau menghadapkan telapak tangannya ke arah kiblat dalam posisi tegak untuk menyatakan bahwa beliau bertangan kosong dari apa pun yang pernah ada dalam genggamannya. Ketika beliau menurunkannya, telapak tangan dihadapkan ke belakang, dan itulah tempat beliau melemparkan apa yang ada di tangannya.
Dengan mengangkat kedua tangan, beliau menyatakan kepada Allah bahwa beliau telah meninggalkannya di tempat yang semestinya untuk ditinggalkan. Beliau telah menghadap kepada-Nya sebagai seseorang yang berharap dan butuh dengan tangan kosong kepada Tuhan Yang Maha Pemberi. Dengan demikian, Allah pun memberikan apa yang diharapkan dan dibutuhkannya.
Selanjutnya, orang yang shalat membaca surah al-Fâtihah. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Ummul Kitab.” Ummul Kitab adalah surah al-Fâtihah.
Ia memulai dengan mengucapkan bismillâhir-rahmânir-rahîm (dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang) sebagai pembuka dialognya dengan Allah dan sekaligus merupakan pernyataan akan kepasrahan diri, ketundukan dan kebutuhannya kepada-Nya. Lalu ia mengucapkan alhamdu lillâhi rabbil-‘âlamîn (segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam) seraya hatinya dipenuhi dengan rasa syukur atas nikmat-nikmat Allah kepadanya. Ia bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya dan menyampaikan pujian yang indah kepada-Nya; menjalankan tugas-tugas peribadahan dalam berbagai bentuknya dan mengakui keesaan-Nya.
Kemudian ia memohon pertolongan dan menyatakan diri sebagai hamba-Nya, yaitu dengan mengucapkan iyyâka na‘budu wa iyyâka nasta‘în (hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu pula aku memohon pertolongan) seraya menyadari kelemahan dan ketidakberdayaannya. Shalatnya ditujukan dengan ikhlas hanya kepada-Nya, tidak kepada yang lain, dan bukan pula untuk mendapatkan pujian orang lain atau mendapatkan kedudukan tertentu. Diriwayatkan bahwa Imam ‘Ali as. pernah ditanya tentang siapa orang yang paling sengsara. Beliau menjawab, “Yaitu orang
yang meninggalkan keduniaan karena keduniaan. Ia kehilangan keduniaan dan merugi di akhirat. Itulah orang yang tidak mendapatkan kelezatan duniawi, dan ia hanya mendapatkan lelah dan letih, padahal sekiranya ia melakukannya dengan ikhlas niscaya ia mendapatkan pahalanya. Kelak ia akan datang di akhirat dengan mengira bahwa ia membawa amal-amal yang akan memberatkan timbangan kebaikannya, tetapi ternyata ia hanya mendapati debu yang beterbangan (haba’an mantsûra).”
Orang yang shalat juga menyatakan bahwa ia tidak akan bergantung dan bersandar kepada siapapun selain kepada Allah. Ia hanya akan memohon pertolongan kepada-Nya. Dengan demikian, ia akan memandang kekuatan penguasa yang zalim dan daya pikat duniawi semuanya kecil dihadapannya.
Apabila Allah melihat dalam hati orang itu masih terselip niat dan tujuan yang lain dalam shalatnya, masih berharap kepada sesama makhluk, dan pikirannya masih disibukkan urusan-urusan duniawi, sementara ia mengucapkan Iyyâka na‘budu …, maka ia dipandang telah berdusta. Oleh karena itu, Allah berfirman kepadanya, “Engkau berdusta dalam beribadah kepada-Ku. Bukankah dalam hatimu masih ada tujuan lain dalam shalatmu?Bukankah engkau masih berharap kepada makhluk-Ku? Bukankah engkau memikirkan hal lain selain Aku? Padahal engkau mengucapkan Iyyâka na‘budu…”
Seorang arif menyadari hal ini semua dalam pikirannya, sehingga ia merasa malu untuk mengucapkan Iyyâka na‘budu ketika bermunajat dalam shalatnya. Oleh karena itu, ia berusaha sekuat tenaga untuk mengontrol semua anggota badannya dan memusatkan seluruh konsentrasinya pada shalat yang sedang dikerjakannya agar tidak dikatakan kepadanya, “Engkau berdusta!”
Berkenaan dengan ini, al-Muqrî Abû Bakar Muhammad bin Khalaf bin Shâf al-Lakhmî—salah seorang guru Ibn al-‘Arabi—mengutip sebuah kisah dari seorang guru yang salih, bahwa ada seorang anak muda yang ketika dibacakan Al-Quran di hadapannya, wajahnya berubah menjadi pucat. Ketika gurunya bertanya kepada orang dekatnya tentang apa penyebabnya, diperoleh jawaban bahwa anak muda itu telah mendirikan shalat malam dengan membaca seluruh Al-Quran. Kemudian, sang guru bertanya langsung kepada anak muda itu, “Anakku, aku diberi tahu bahwa malam tadi engkau
mendirikan shalat dengan membaca seluruh Al-Quran. Benarkah itu?”
“Apa yang dikatakan itu benar adanya,” jawab anak muda.“Anakku, nanti malam hadirkanlah aku di arah kiblatmu, lalu bacakan Al-Quran kepadaku dalam shalatmu, dan jangan lupa kepadaku.”“Baiklah, Guru.” Keesokan harinya, sang guru bertanya, “Sudahkah engkau melaksanakan apa yang telah aku perintahkan kepadamu?”“Sudah, Guru.”“Apakah engkau mengkhatamkan Al-Quran malam tadi?”“Tidak. Aku tidak sanggup membaca lebih dari separo AlQuran.”
“Anakku, ini sudah bagus. Pada malam nanti, hadirkanlah di hadapanmu siapa saja di antara para sahabat Rasulullah saw. yang engkau sukai. Tetapi engkau harus waspada, karena mereka telah mendengar Al-Quran langsung dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, engkau tidak boleh keliru dalam bacaanmu.”
“Insya Allah, Guru. Aku akan melaksanakannya.”
Keesokan harinya, sang guru bertanya kepada muridnya tentang apa yang telah dilakukannya pada malam hari. Anak muda itu menjawab, “Guru, aku tidak sanggup membaca lebih dari seperempat Al-Quran.”“Anakku, nanti malam hadirkanlah Rasulullah saw. yang kepadanya Al-Quran diturunkan, dan bacakanlah Al-Quran itu di hadapannya. Dan harus selalu kau ingat, di hadapan siapa engkau membaca Al-Quran.”“Baiklah, Guru!”Keesokan harinya, ketika sang guru bertanya tentang apa yang dilakukan muridnya malam tadi, anak muda itu menjawab, “Guru, pada malam tadi aku hanya sanggup membaca satu juz Al-Quran saja.”
“Anakku, pada malam nanti, hadirkan di hadapanmu malaikat Jibril yang telah membawa turun Al-Quran ke dalam hati Muhammad saw. Waspadalah dan harus selalu ingat kadar yang engkau bacakan kepadanya.”
“Baiklah, Guru! ”Keesokan harinya, seperti biasa sang guru menanyakan keadaan muridnya pada malam yang telah dilaluinya. Anak muda
itu menjawab, “Guru, aku hanya sanggup membaca beberapa ayat Al-Quran saja.”
“Anakku, pada malam nanti, bertobatlah kepada Allah dan bersiap-siaplah. Ketahuilah bahwa orang yang shalat itu bermunajat kepada Tuhannya, dan engkau berdiri di hadapan-Nya sambil membacakan kalam-Nya kepada-Nya. Oleh karena itu, perhatikanlah mana bagianmu dari Al-Quran itu dan mana bagian-Nya. Kaji dan hayatilah apa yang engkau baca. Tujuan membaca Al-Quran bukan sekadar membaca huruf-huruf dan susunan kata-katanya. Tetapi tujuannya adalah mengkaji dan menghayati makna ayat-ayat yang engkau baca sehingga engkau tidak menjadi orang bodoh.”
Keesokan harinya, sang guru menunggu muridnya, tetapi anak muda itu tak kunjung datang. Oleh karena itu, ia mengutus seseorang untuk menanyakan keadaannya. Kemudian, diperolehlah kabar bahwa anak muda itu jatuh sakit. Sang guru pun menjenguknya. Namun, ketika anak muda itu melihat gurunya, ia menangis dan berkata, “Semoga Allah membalas kebaikanmu kepadaku. Aku tidak pernah menyadari bahwa diriku telah berdusta kecuali pada malam tadi. Aku berdiri dalam shalat, menghadirkan al-Haqq dan berdiri di hadapan-Nya. Ketika aku mulai membaca surah al-Fâtihah dan sampai pada Iyyâka na‘budu (hanya kepada-Mu kami menyembah),
kupandang diriku sendiri, tetapi tak kulihat ia membenarkan apa yang kubaca. Oleh karena itu, aku merasa malu untuk mengucapkan Iyyâka na‘budu di hadapan-Nya, sementara Dia mengetahui bahwa aku telah mendustakan ucapanku sendiri. Kulihat diriku lalai dengan pikiran-pikirannya sendiri terhadap ibadah yang dilakukannya. Aku terus mengulang-ulang bacaan dari awal surah al-Fâtihah hingga Mâliki yaumiddîn, dan aku tidak sanggup mengucapkan Iyyâka na‘budu. Aku malu untuk berdusta di hadapan-Nya karena Dia akan membenci-Ku. Oleh karena itu, aku tidak sanggup melakukan
rukuk hingga terbit fajar. Aku pergi kepada-Nya dalam keadaan diriku yang tidak diridhai-Nya.”
Tiga hari kemudian, anak muda itu meninggal. Setelah dikuburkan, gurunya mendatangi kuburannya. Ia mendengar suara anak muda itu dari kuburnya, “Guruku, aku hidup di sisi Yang Mahahidup. Dia tidak menghisabku sedikit pun.”
Sang guru pulang ke rumahnya. Ia berbaring di tempat tidurnya. Ia jatuh sakit karena sangat terkesan oleh keadaan muridnya. Tak lama kemudian, ia pun menyusul muridnya ke alam baka.Selanjutnya, orang yang shalat memohon petunjuk kepada Allah dengan mengucapkan ihdinâsh shirâthal-mustaqîm shirâthalladzîna an‘amta ‘alaihim (tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat), yaitu menisbatkan hidayah dan tambahan kenikmatan atas para nabi dan para wali kepada-Nya. Artinya, teguhkanlah kami di atas jalan yang sedang kami tempuh ini, yaitu sikap istiqamah di atas jalan yang lurus ini, karena itu merupakan jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat dari kalangan para nabi dan para rasul. Shirâth (jalan) itu ditegaskan dengan sifat mustaqîm (yang lurus) untuk membedakannya dari ghairil-maghdhûbi ‘alaihim wa lâdhdhâllîn (bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat) karena merupakan jalan yang tidak lurus.
Ihdinâ bisa juga berarti “teguhkanlah kami di atas jalan yang sedang kami tempuh”, khususnya bagi para nabi dan para wali, karena para nabi dan para wali telah berada di atas jalan yang lurus ini. Demikian pula, para pengikut setia mereka dari kalangan Mukmin dan Muslim. Allah Swt. berfirman, Dan Kami telah memilih mereka (para nabi dan rasul) dan Kami telah menunjuki mereka ke jalan yang lurus (QS al-An‘âm [6]: 87).
Kemudian, orang yang shalat melakukan rukuk, yaitu merendahkan diri kepada Allah Swt. dan merasakan dalam dirinya kehancuran, kehinaan dan kebergantungan yang merupakan konsekuensi dari keberadaannya sebagai makhluk Allah di muka bumi ini. Rukuk berarti kembali ke ketiadaan asal dan esensi yang bersifat mungkin. Allah Swt. berfirman, … dan sesungguhnya Aku telah menciptakanmu sebelum itu, padahal kamu belum ada sama
sekali (QS Maryam [19]: 9). Dalam posisi ini, ia menyaksikan keagungan Sang Pencipta, di satu sisi, dan kehinaan dirinya, di sisi
lain, sehingga ia mengagungkan dan memuliakan Allah sampai puncak keagungan dan kemuliaan. Oleh karena itu, ia mengucapkan, “Subhâna rabbiyal-‘azhîm wa bi hamdih (Mahasuci Tuhanku Yang Mahaagung dan Maha Terpuji).”
Setelah mengagungkan dan memuliakan Allah dan menyaksikan kehinaan dan kehancuran diri serta kembali ke ketiadaan asal, ia berdiri tegak atau i‘tidal. Di sini ia menyaksikan keadaannya sendiri, keadaan Allah, dan keadaan Allah bersama dirinya dengan meniru sifat-sifat Allah dan memperbaiki akhlak. Ia pun mengucapkan, “Sami‘allâhu liman hamidah (Allah Maha Mendengar siapa yang memuji-Nya).” Dengan cara ini, ia menyatakan bahwa ia telah menyaksikan Allah bersama segala sesuatu dan segala sesuatu bersama-Nya. Imam ‘Alî as. berkata, “Aku mengulang-ulang satu ayat sehingga aku dapat mendengar [seakan-akan] Tuhan yang memfirmankannya [kepadaku].” Dalam hadis qudsi, Allah Swt. berfirman, “… Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, menjadi lidahnya yang dengannya ia berbicara, menjadi tangannya yang dengannya ia berbuat, dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan.” Rasulullah Saw. juga bersabda, “Barangsiapa melihatku, dia melihat al-Haqq.”
Setelah itu, ia bersujud, kembali ke asal kejadian, yaitu tanah, dengan menyembunyikan kemuliaan dalam diri dan menampakkan kehinaan dalam eksistensi. Inilah penghancuran nafsu dan penghinaan diri orang yang bersujud, yang menunjukkan kefanaan setelah kefanaan; yang pertama adalah kefanaan sifat dan yang kedua adalah kefanaan eksistensi dan diri. Itu karena kedekatan hakiki bergantung pada kefanaan sifat, sedangkan kesampaian hakiki bergantung pada kefanaan diri. Dalam posisi ini, ia mengucapkan, “Subhâna rabbiyal-a‘lâ wa bi hamdih (Mahasuci Tuhanku Yang
Mahatinggi dan Maha Terpuji).”
Selanjutnya, ia mengucapkan salam. Artinya, ia menyerahkan seluruh urusannya hanya kepada Allah dan kembali dari perjalanan spiritual dengan dirinya ke perjalanan spiritual di dalam diriNya, yang merupakan maqam kekekalan sebagai konsekuensi dari keridhaan dan penyerahan diri. Hal itu ditunjukkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya, Maka demi Tuhanmu, mereka [pada hakikatnya] tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS al-Nisâ’ [4]: 65); Dan tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan tidak [pula] bagi perempuan Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang lain] tentang urusan mereka (QS al-Ahzâb [33]: 36).
Dalam al-Futûhât al-Makkiyyah, Muhyiddin Ibn al-‘Arabi menyebutkan bahwa salam orang yang shalat tidak sah kecuali ia gaib di dalam shalatnya dari segala sesuatu selain Allah, dan hanya bermunajat kepada-Nya. Ketika itu, ia beranjak dari kondisi shalat menuju suatu kondisi di mana ia menyaksikan segenap makhluk. Ia bersalam kepada mereka karena sebelumnya ia gaib dari mereka. Tetapi jika orang yang shalat itu terus-menerus memperhatikan mereka dengan seluruh inderanya ketika sedang shalat, bagaimana ia bisa dikatakan memberi salam kepada mereka? Orang yang selalu hadir di tengah kumpulan manusia tidak perlu memberi salam kepada mereka.
Sementara itu, seperti diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Fadhl al-Hasyimi, Ja‘far ash-Shâdiq as. berkata, “Salam merupakan tanda keamanan dari seorang Muslim dan juga dari orang yang menjawabnya. Tanda ini telah ditempatkan pada akhir shalat sebagai isyarat bahwa ia telah boleh berbicara kepada sesama makhluk—yang sebelumnya telah diharamkan dengan takbiratul-ihram—dan dengan maksud agar shalat menjadi pelindung dari sesuatu yang akan menyesatkannya. Salam—salah satu nama Allah, yaitu alSalâm—juga adalah dari pihak orang yang shalat disampaikan
kepada dua malaikat yang mewakili-Nya.”
DISKUSI: