Dari Fatimah (Putri Nabi Saw) Kepada Kartini (Putri Indonesia)
Oleh: (Siti Rabiah Aydiah)
Cita-cita Kartini mewakili harapan wanita nusantara pada masanya dan masa kini. Pada kenyataannya, Kartini hanya salah satu dari wanita di negeri ini yang kemudian menjadi simbol gerakan kemanusiaan untuk menorehkan tinta kemuliaan pada sejarah perempuan. Hampir setiap kota dan pulau di wilayah nusantara memiliki putri-putri terbaik yang berbakti kepada kaumnya untuk kemajuan dan kesejahteraan mereka. Hari ini, setiap kelompok dan lembaga tak lepas dari isu perempuan. Entah itu murni sebagai gerakan atau hanya mengikuti arus utama gender, bahkan sekedar pemanfaatan isu populer.Mengamati keterpurukan posisi wanita di lingkungannya, Kartini mengangkat pena dan menuliskan pemikirannya melalui surat. Surat-surat Kartini kepada para sahabatnya di Belanda kemudian dibukukan. Pertama berjudul Douisternis Tot Licht dalam bahasa Belanda, kemudian di terjemahkan ke bahasa lain, seperti: Inggris, Sunda, Jawa. Judul tersebut diambil dari gagasan Beliau (Kartini) dengan makna Dari Gelap Menuju Terang, yang diambil dari QS Al-Baqarah Ayat 257: “bahwa ALLAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya”. Kartini terkesan dengan frase Min al-Zhulumaati ila al-Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya. Buku tersebut kemudian dicetak kembali oleh Armijn Pane pada tahun 1938 oleh Balai Pustaka dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Peringatan Wiladah Sayyidah Fatimah Az-Zahra tanggal 20 Jumadil Tsani 1435 H mengawali hari Kartini tahun ini. Substansi dari peringatan hari Kartini bukan pada sosok wanita ini saja, tapi lebih kepada refleksi atas kondisi wanita bangsa ini dan menghidupkan kembali kesadaran untuk bekerja mengantarkan kaum ini kepada kedudukan yang selayaknya. Jika tidak kebetulan, momen ini seakan mengajak pengusung icon Kartini menyelami kehidupan putri Nabi Saw dalam perspektif gerakan perempuan.
Kelahiran Fatimah telah memulai lembaran sejarah pemuliaan wanita di alam semesta sejalan dengan titah Sang Penguasa dalam kehendak penciptaan-Nya. Impian Kartini agar wanita juga memiliki akses kepada dunia pendidikan, sudah diretas oleh Fatimah Saw yang bahkan menjadi rujukan dalam tafsir wahyu dan urusan agama lainnya. Lebih dari kesempatan mengetahui makna ayat-ayat Al-Quran seperti yang dikeluhkan Kartini dalam salah satu suratnya. Sayang sekali, waktu itu Kartini belum sempat menapaki jalan kemuliaan Fatimah yang pasti menjawab semua kegelisahannya.
Selayang Pandang Sejarah Perempuan
Sebelum tahun kelahiran Fatimah putri nabi Saw, wanita tidak menempati bagian dari sejarah peradaban manusia. Beberapa kali Allah Swt meninggikan kedudukan wanita sebagaimana yang terekam dalam kisah-kisah Al-Quran sebagai peringatan kepada manusia. Beberapa wanita ikut andil dalam hal kenabian, seperti kisah Ibu Nabi Musa as, Nabi Ibrahim. Sayyidah Maryam binti Imran bahkan telah menjadi martir untuk mukjizat kenabian Isa Al Masih as. Asiah binti Muzahim menjadi contoh atas insan yang menjaga kesucian. Ratu Bilqis menjadi simbol penguasa bijak yang tidak menuhankan dinastinya dengan mengikuti seruan keimanan Nabi Sulaiman as. Namun, catatan sejarah membuktikan bahwa wanita belum berada pada posisi kemanusiaannya.
Nabi Saw melakukan perubahan pemikiran dan budaya berkaitan dengan wanita sekaligus mencontohkan pada putrinya Fatimah salamullah alaiha. Islam mengembalikan martabat wanita pada ketinggian hakikat kemanusiaannya. Fatimah putri Nabi Saw telah menoreh lembaran sejarah bahwa wanita merupakan bagian dari peradaban manusia. Rekonstruksi ini berlaku sejak masa kenabian hingga akhir zaman. Ketika itu, perlakuan masyarakat Arab jahiliyah terhadap wanita ditandai dengan ciri berikut:
1. Menempatkan kedudukan wanita setara dengan hewan dan pada level tertinggi wanita adalah makhluk yang lemah.
2. Perlakuan pria terhadap wanitanya berdasarkan prinsip penguasaan yang kuat terhadap makhluk lemah.
3. Secara sosial, wanita berada di luar anggota masyarakat dan dianggap sebagai tawanan serta budak.
4. Wanita tidak memiliki dan tidak dapat memanfaatkan akses apapun secara individu dan sosial.
Tidak berbeda dengan masyarakat Arab jahiliyah, diskriminasi dan peminggiran perempuan juga dilakukan oleh bangsa lainnya yang justru terkenal dengan peradaban tinggi, seperti: Yunani, Romawi, Iran, Cina dan India. Nilai dan kedudukan wanita dianggap lebih rendah dari pria. Kadang wanita disejajarkan dengan benda/milik yang dapat diperjual belikan. Pria selalu menjadi penguasa dan penentu kehidupan wanita. Misalnya, suami berhak memukul istri dan anak perempuan atau menjualnya sewaktu-waktu.
Agama-agama besar sebelum Islam yang telah diselewengkan juga telah menjadi alat legitimasi dalam penomorduaan keberadaan wanita atas pria. Kisah penciptaan Nabi Adam as dan Hawa dalam Taurat dan Injil menjadi sumber timbulnya keyakinan yang salah tentang wanita. Misalnya, hakikat Hawa berbeda dari manusia karena tercipta dari tulang rusuk Nabi Adam as dan wanita diciptakan untuk mengabdi kepada pria. Dalam Islam, hadis Israiliyat tentang penciptaan bersumber dari cerita di kitab suci yang sudah tidak murni lagi. Selanjutnya keyakinan penguasaan pria atas wanita menjadi dasar dalam interpretasi masalah yang berkaitan dengan syariat. Padahal, Al-Quran menyatakan penciptaan Hawa tidak berbeda dengan penciptaan Nabi Adam as dengan ungkapan min nafsin wahidah.
Sejarah Fatimah salamullah alaiha Dalam Perspektif Gender
Gerakan perubahan budaya sub ordinasi perempuan memang perlu dan masih layak dilakukan hingga sekarang. Gerakan ini memerlukan model yang tentuya tidak sebatas utopia saja, tetapi pernah terwujud di alam nyata. Kepada Kartini dan putri Indonesia hari ini, berikut beberapa konstruksi yang telah dirintis Fatimah salamullah alaiha sebagai koridor gerakan perjuangan perempuan:
1. Penghargaan wanita sebagai eksistensi yang independen.
Fatimah diabadikan dalam Al-Quran surah Al-Kausar sebagai manifestasi dari Al-Kausar itu sendiri. Asbab al-nuzul surah yang terdiri ini sebagai bantahan atas sebutan abtar kepada Nabi Saw karena tidak lagi memiliki anak laki-laki sebagai penerus nasab keluarga. Kelahiran Fatimah menjadi tonggak sejarah pengakuan anak perempuan sebagai penerus nasab keluarga sekaligus penghargaan atas eksistensi kemanusiaannya.
Pada masa itu, masyarakat Arab akan mengubur hidup-hidup jika memiliki anak perempuan. Rasulullah Saw menghapus tradisi jahiliyah dengan memuliakan putrinya dan mengajarkan untuk menghormati anak perempuan. Amirul Mukminin as meriwayatkan bahwa ketika mendengar berita kelahiran anak perempuan, Nabi Saw berkata: “Anak perempuan bagaikan bunga yang harum dan rezekinya ditanggung Allah Swt”.
2. Hak menentukan pilihan pasangan hidup.
Ketika kehendak Allah Swt tentang perkawinan Sayyidah Fatimah dengan Amirul Mukminin Ali as disampaikan melalui malaikat Jibril kepadanya, Rasulullah Saw menanyakan kesediaan putrinya akan hal ini. Rasulullah Saw mengganti tradisi Arab yang sebelumnya dimana para ayah dapat saja mengawinkan anak perempuannya kepada siapa yang dikehendai berdasarkan perjanjian, bahkan sebelum kelahiran anak tersebut. Melalui salah satu sisi kehidupan Fatimah, kita diajarkan bahwa pernikahan tidak akan sah tanpa adanya kesediaan dari pihak wanita. Sementara itu, gerakan perempuan modern masih memperjuangkan hak suara perempuan dalam pemilu.
3. Memiliki akses dalam bidang keilmuwan, hukum, politik dan sosial kemasyarakatan.
Fatimah salamullah alaiha menjadi rujukan bagi orang yang bertanya dalam bidang agama. Putri Nabi Saw berperan dalam pengobatan korban perang, membela wilayah Amirul Mukminin Ali as, ikut dalam peristiwa Mubahalah dan seterusnya. Tidak ada istilah peminggiran peran dan posisi perempuan dalam sejarah kehidupan wanita teladan ini.
4. Pengakuan kemampuan mencapai ketinggian kedudukan spiritual.
Dalam riwayat kehidupannya yang singkat, Fatimah meraih berbagai ketinggian posisi spiritual. Derajat ma’shum yang dimilikinya menunjukkan bahwa wanita tidak berbeda dengan pria dalam hal kemampuan menjaga diri dari maksiat. Fatimah salamullah alaiha menjadi ummul aimmah dan hujjjah bagi para Imam as. Berbanding terbalik dengan keyakinan bahwa wanita adalah penggoda dan penyebab dosa pada manusia.
5. Memiliki hak ekonomi dan menerima warisan.
Catatan sejarah tentang peristiwa Fadak menunjukkan hak waris yang diperoleh Fatimah dari ayahandanya. Hal ini terjadi ketika tradisi pada saat itu menjadikan wanita sebagai warisan ketika suaminya meninggal.
Penggiat gerakan keadilan berbasis gender berharap gerakan Kartini tidak hanya tertuang pada sanggul dan kebaya saja. Begitu juga penerus jalan suci Fatimah salamullah alaiha sebagai icon ahlul bayt Nabi Saw hendaknya tidak cukup men-Fatimah-kan dirinya pada ritual dan simbol saja! Ya Fatimah…Ya Binta Rasulullah, Isyafa’I lana indallah.
Daftar Bacaan:
– Nur Muhammadi, Ghulam Reza, Nafi-e Khusyunat Khanegi Alaihi Zanan az Negah-e Ilm wa Din, Markaz Umur-e Zan wa Khanewadeh Riyasat Jumhuri, Tehran, 1389
– http://kartinisologalery.blogdetik.com/index.php/surat-kartini/
– Majlisi, Allamah Taqi, Bihar al-Anwar, jil. 101, http://lib.eshia.ir/11008/1/97