Dari Ghadir Sampai Asyura
Oleh ; Ahmad Hafidz Alkaff, MA
Mungkin tak ada hari seindah hari itu, kala seratus ribu orang lebih datang silih barganti untuk membaiat Ali bin Abi Thalib, disaksikan oleh Sang Pemimpin Agung, Rasulullah Saw. Semua datang untuk memenuhi seruan Nabawi, “Man kuntu maulahu fa’aliyyun maulahu”, “Siapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka Ali juga pemimpinnya”. Terasa lega di hati banyak orang yang mempertanyakan nasib Islam dan kepemimpinan umat Islam setelah kepergian Rasul Saw. Umat sudah menunaikan kewajiban yang semestinya mereka laksanakan. Masalah kepemimpinan sudah terselesaikan.Itulah gambaran sederhana dari peristiwa Ghadir Khum yang terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah. Di balik peristiwa Ghadir Khum dan pengangkatan Ali (as) secara resmi sebagai penerus dan ‘calon’ pengganti kepemimpinan Rasulullah ada banyak hakikat yang mesti dicermati.
Pertama, Ghadir menunjukkan pentingnya masalah pemerintahan dan kepemimpinan untuk membimbing umat dan menghadiahkan kesejahteraan di bawah naungan ajaran Ilahi. Dengan menyebut Ali sebagai maula untuk umat Islam berarti Nabi Saw telah menyadarkan mereka bahwa masyarakat tidak mungkin bisa hidup tanpa pemimpin. Kepemimpinan bagi sebuah masyarakat ibarat kepala bagi tubuh. Bahkan, dalam sejumlah riwayat disebutkan jika harus memilih memiliki pemimpin yang bejad atau tidak memiliki pemimpin maka alternatif pertamalah yang mesti dipilih.
Kedua, dengan diangkatnya Ali oleh Rasul Saw sebagai pemimpin umat atas perintah Allah berarti Islam telah menggariskan ketentuan syarat yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin. Tanpa syarat-syarat itu, orang tidak layak duduk sebagai pemimpin umat, apalagi menyandang gelar penerus misi risalah. Keimanan, ketaqwaan, keberanian, ilmu yang dalam, kearifan, keadilan, kejujuran, dan sederet sifat-sifat mulia lain yang ada pada diri Ali adalah sifat-sifat dan karakter yang mesi dimiliki oleh seorang pemimpin bagi masyarakat Muslim.
Ketiga, pengangkatan Ali sebagai pemimpin oleh Nabi Saw di Ghadir Khum menunjukkan bahwa masalah kepemimpinan, pemerintahan, dan kekuasaan tak terpisahkan dari masalah agama. Dengan kata lain, Islam menolak sekularisme dan pemikiran yang memisahkan politik, sosial dan pemerintahan dari agama. Islam bukan agama yang hanya berurusan dengan hubungan manusia dengan Tuhan di sudut mihrab. Dalam Islam, ada serangkaian hukum seperti jihad, qisas, rajam dan lainnya yang tak mungkin dilaksanakan kecuali oleh tangan penguasa. Karena itu, penguasa dalam Islam harus memiliki sederet sifat yang menunjukkan jatidiri keislaman yang sesungguhnya.
Keempat, antusiasme umat untuk membaiat Ali (as) di Ghadir Khum dan menyambut seruan Nabi Saw dengan sepenuh jiwa adalah sebuah kondisi umum kaum muslimin. Sebab, hal itu merupakan bukti keislaman dan kepatuhan mereka kepada agama ini. Mereka cenderung menaati ajaran agama yang sudah mereka terima. Akan tetapi, kondisi ini terkadang redup, terkubur dan tak nampak saat ada suara nyaring yang menggiring ke arah lain. Walaupun, tentunya suara senyaring apapun jika bertentangan dengan apa yang dipandang sebagai inti dari agama, seperti tauhid dan risalah, tak akan pernah didengar.
Tentunya masih banyak hal lain yang bisa dicermati dari balik peristiwa Ghadir Khum. Para sahabat tentunya masih ingat senyum indah yang tersungging di bibir suci beliau kala menyaksikan mereka berbaiat kepada Ali (as). Walaupun dalam hati, beliau sedih karena mengetahui kelak umat akan menyia-nyiakan pemimpin yang telah dipersiapkan ini. Ketika terdengar suara sumbang yang sangat nyaring, umat seakan melupakan bahwa mereka pernah berbaiat kepada Sang Haidar, penakluk benteng Khaibar. Seakan suara Rasul di Ghadir yang memanggil mereka redup di tengah bisingnya suara sumbang, dan Ali-pun dicampakkan.
Berpuluh tahun berlalu, hingga tiba masa ketika suara sumbang itu tak lagi nyaring. Umat tergugah untuk melaksanakan dan kembali kepada apa yang diajarkan oleh Nabi Saw. Itu terjadi saat Muawiyah bin Abi Sufyan menyeru kaum muslimin untuk berbaiat kepada anaknya yang bernama Yazid. Umat sadar, bahwa mereka memerlukan pemimpin. Tapi sosok yang ditawarkan bukanlah pemimpin yang bisa diikuti. Mereka sadar, bahwa khalifah umat Islam harus menghiasi diri dengan ajaran Islam, dan Yazid bukan orangnya. Mereka sadar, bahwa masalah kepemimpinan dan kekuasaan tak bisa dipisahkan dari agama.
Kelompok demi kelompok mengirimkan surat dan kurir kepada Abu Abdillah al-Husain (as) yang berisi pernyataan janji setia jika sang Imam bersedia memimpin mereka. Ribuan surat diterima oleh Imam Husein hanya dalam waktu yang singkat. Beliau lantas mengirim utusannya, Muslim bin Aqil untuk melihat kondisi di Kufah. Antusiasme besar dari masyarakat untuk berbaiat kepada utusan al-Husain menjadi pemandangan yang sangat indah. Ada kemiripan dengan pemandangan yang terjadi di Ghadir Khum 18 Dhulhijjah tahun 10 Hijriyah. Muslim melaporkan apa yang disaksikannya. Imam pun lantas membulatkan tekad untuk menjadikan Kufah sebagai pusat kegiatannya menegakkan kembali ajaran Nabi Saw.
Namun, ketulusan dan keinginan untuk kembali ke jalan Islam yang sesungguhnya terhalang oleh munculnya suara sumbang yang sangat nyaring. Suara Ibnu Ziyad yang beraroma pedang dan darah telah menghalangi kembalinya kekuasaan dan kepemimpinan atas umat ini kepada yang berhak. Dan untuk menyelamatkan agama ini, al-Husain, Sang Pelita Hidayah rela mengorbankan jiwanya.